Jakarta - Staf Khusus Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Irwandy Arif mengungkapkan bahwa berdasarkan data tahun 2020, impor Liquefied Petroleum Gas (LPG) Indonesia bahkan berada di kisaran 76% atau sebesar 6,1 juta ton.
Ia mengakui kebutuhan impor terkait hal ini masih besar karena seiring dengan kebutuhan LPG terus mengalami peningkatan.
"Kebutuhan LPG terus meningkat, di mana 75-78% berasal dari impor menguasai 6,1 juta ton," ujar Irwandy dalam acara 'Tambang dan Energi Bakti untuk Negeri' secara virtual, Senin, 16 Agustus 2021.
Irwandy menjelaskan, konsumsi LPG pada 2020 mencapai 8 juta ton. Sebesar 6,1 juta ton atau 76%-nya berasal dari impor. Impor ini menurutnya setara dengan biaya Rp 55,7 triliun.
Sementara hanya 1,9 juta ton atau 24% pemenuhan LPG berasal dari kilang dalam negeri.
Oleh karena itu, upaya menekan impor LPG masih menjadi pekerjaan rumah RI saat ini. Salah satu langkah yang diambil untuk menekan impor LPG adalah dengan melakukan gasifikasi batu bara yakni mengubah batu bara kalori rendah menjadi produk berupa Dimethyl Ether (DME) yang bisa digunakan untuk substitusi LPG.
Kebutuhan LPG terus meningkat, di mana 75-78% berasal dari impor menguasai 6,1 juta ton.
Dia menambahkan, hilirisasi batu bara akan segera dilakukan untuk mengurangi defisit LPG. Saat ini PT Pertamina (Persero) sedang melakukan kerja sama dengan PT Bukit Asam dan perusahaan asal Amerika Serikat Air Products untuk mengembangkan DME dengan kapasitas 1,4 juta metrik ton per tahun atau setara dengan 1 juta LPG.
"Hilirisasi batu bara harus segera dilaksanakan, untuk mengurangi defisit. Pertamina kerja sama dengan PTBA kembangkan DME. 1 ton batu bara dapat menghasilkan 0,72 ton metanol atau 0,36 ton DME," katanya. []
Baca Juga: PT Pertamina Pastikan Stok LPG 3 Kg di Tasikmalaya Lancar