Keajaiban Gempa Lombok, Rumah Adat Tetap Utuh Berdiri

Keajaiban gempa Lombok, rumah adat tetap utuh berdiri, tak bergeser sedikit pun walau berulang diguncang gempa. Rumah dengan kearifan lokal.
Keajaiban Gempa Lombok, Rumah Adat Tetap Utuh Berdiri | Rumat adat atau juga disebut rumah tradisi di Desa Gumantar, Kecamatan Kayangan, Lombok Utara, NTB. Tetap berdiri utuh, tak bergeser sedikit pun walau berulang diguncang gempa. Foto diambil Kamis 23/8/2018. (Foto: Tagar/Harianto Nukman)

Lombok Utara, NTB, (Tagar 23/8/2018) - Gempa bumi berkekuatan 7,0 skala richter yang berpusat di Lombok Utara meluluhlantakkan hampir seluruh bangunan yang ada. Hanya rumah tradisional dengan kearifan lokal di perkampungan adat yang masih kokoh berdiri.

Rumah warga berdinding batu bata hampir semua rata dengan tanah. Beda halnya dengan rumah-rumah tradisional yang ada di perkampungan adat, sedikit pun tak terdampak oleh guncangan gempa. Meski diterjang terus-menerus oleh gempa bumi berskala 6,4 pada Minggu 29 Juli, skala 7,0 pada Minggu 5 Agustus dan terakhir 6,9 skala richter pada Minggu (19/8) lalu.

Berjarak sekitar 80 kilometer dari Kota Mataram dengan waktu tempuh 2,5 jam, Desa Gumantar, Kecamatan Kayangan, satu dari sekian desa yang ada di Kabupaten Lombok Utara luluh lantak akibat gempa bumi berkekuatan 7,0 skala richter pada Minggu malam (5/8) lalu. Selain jatuhnya korban jiwa yang jumlahnya 50an orang itu tak ada satu pun bangunan yang konstruksinya dari batu bata mampu bertahan dari guncangan gempa.

Rumah Batako HancurRumah modern dengan bangunan batako tidak sanggup bertahan saat diguncang gempa. Rumah di Desa Gumantar, Kecamatan Kayangan, Lombok Utara, Nusa Tenggara Barat (NTB). Foto diambil Kamis 23/8/2018. (Foto: Tagar/Harianto Nukman)

Reruntuhan dinding bangunan yang terbuat dari batako dan puing-puing potongan kayu atap rumah tampak terserak sepanjang jalan ketika hendak memasuki wilayah Desa Gumantar.

Kiri dan kanan jalan terlihat deretan tiang tenda tertancap di sela reruntuhan rumah warga. Tenda-tenda itu seperti tak mampu menampung kesedihan warga akibat rumahnya habis porak poranda diguncang gempa. Tenda-tenda itu didirikan untuk menampung warga pengungsi yang rumahnya hancur.

Setiap tenda pengungsian ditandai dengan papan bertuliskan "korban gempa."

"Enam belas dusun yang ada di Desa Gumantar ini, hampir rata dengan tanah. Pokoknya semua rumah yang terbuat dari dinding batako, roboh, hancur semua, ndak ada yang tersisa," ungkap Supri (35) warga Dusun Boyotan Asli.

Rumah Batu Bata HancurRumah modern dengan bangunan batu bata tidak sanggup bertahan saat diguncang gempa. Rumah di Desa Gumantar, Kecamatan Kayangan, Lombok Utara, Nusa Tenggara Barat (NTB). Hanya menyisakan parabola yang masih berdiri tegak. Foto diambil Kamis 23/8/2018. (Foto: Tagar/Harianto Nukman)

Ditemui di tenda pengungsiannya, kepada Tagar News, Kamis (23/8) sembari bercerita tentang bencana gempa yang menimpa kampungnya, Supri menunjukkan hanya ada satu rumah yang masih berdiri kokoh di Dusun Boyotan

"Hanya ada satu rumah yang tidak ikut roboh. Itu ada di sana, di tengah-tengah itu," tuturnya. Ia menunjuk sebuah rumah yang letaknya berada di tengah puing-puing reruntuhan. Satu rumah warga tersebut berdinding bedek, terbuat dari gulatan bilah bambu dan beratap alang-alang.

"Jika nanti pemerintah jadi membantu kami bangun rumah, walaupun saya dikasih kunci dan tinggal menempati saja, saya akan menolaknya kalau rumah yang dibuat dari dinding batako. Bukan hanya saya, mungkin semua warga di sini, banyak yang sudah bilang begitu. Warga maunya kembali bangun rumah tradisi saja," ungkapnya.

Warga Lombok UtaraWarga di Desa Gumantar, Kecamatan Kayangan, Lombok Utara, Nusa Tenggara Barat (NTB). Warga yang tinggal di rumah adat dengan kearifan lokal, selamat dari guncangan gempa. Foto diambil Kamis 23/8/2018. (Foto: Tagar/Harianto Nukman)

Supri juga menceritakan rumah warga di dusunnya awalnya terbuat dari dinding anyaman bambu dan beratap ilalang, namun sejak adanya program perumahan rakyat yang dicanangkan pemerintah di beberapa kecamatan di Lombok Utara, membuat warga lainnya ikut mengganti konstruksi rumahnya berdinding batako dan beratap genting.

"Mungkin ini juga akibat kami mengingkari warisan tradisi leluhur. Dulu ndak ada rumah batu, semua rumah tradisi nenek moyang," ungkap Marni (50) warga di Dusun Boyotan.

Rumah tradisional yang dimaksud warga setempat disebut Bale Balaq, yakni rumah yang dindingnya dari gulatan bambu. Sementara Bale Mengina adalah sebutan untuk rumah tradisional yang ada di kampung adat setempat. Dindingnya terbuat dari anyaman pagar bambu, beratap ilalang, berlantai tanah, dan hanya memiliki satu pintu di bagian depan, sebagai pintu utama berukuran tinggi 1,5 meter. Bale Mengina tidak memiliki jendela. Lubang-lubang kecil di sela dinding bambu berfungsi sebagai fentilasi untuk keluar masuknya udara.

Rumah Adat LombokRumah adat atau rumah tradisi dengan kearifan lokal, berdinding bedek, terbuat dari gulatan bilah bambu dan beratap alang-alang. Zaman berganti, terbukti rumah tipikal ini yang paling cocok dibangun di daerah rawan gempa, tetap kokoh berdiri, tidak bergeser sedikit pun saat diguncang gempa. Rumah adat di Desa Gumantar, Kecamatan Kayangan, Lombok Utara, Nusa Tenggara Barat (NTB). Foto diambil Kamis 23/8/2018. (Foto: Tagar/Harianto Nukman)

Ukuran Bale Mengina di Desa Beleq sekitar 7x5 dan ada yang berukuran 3x4 meter. Hampir setiap Bale Mengina biasanya memiliki Berugaq atau gazebo berfungsi sebagai tempat menerima tamu. Letaknya biasa di depan halaman rumah berukuran segi empat memanjang. Berugaq bertiang empat disebut Sekepat. Sedangkan yang bertiang enam disebut Sekenam. Selain berugaq, Bale Mengina juga biasanya dilengkapi dengan bangunan lumbung untuk menyimpan stok makanan hasil pertanian.

Sementara itu, di dusun yang berbeda, masih dalam satu Desa Gumantar, sekitar 32 unit rumah warga yang terbuat dari dinding bata merah dan batako yang ada di Dusun Desa Beleq seluruhnya roboh akibat terjangan gempa 7,0 SR. Sementara 36 unit Bale Mengina tetap kokoh berdiri tanpa sedikit pun bergeser dari posisinya semula.

"Satu pun rumah adat di Desa Beleq ini ndak ada yang roboh. Jangankan roboh, bergeser sekalipun ndak ada, tetap utuh, kokoh pada posisi semula," tutur salah seorang tokoh pemuda setempat, Jumayar (40) warga Dusun Desa Beleq.

Rumat Adat vs Rumah ModernRumah modern dengan bangunan batu bata yang hancur, yang ada parabolanya itu milik Jumayar. Lihat rumah tetangganya yang rumah adat masih berdiri tegak. Jumayar sebenarnya punya rumah adat warisan orangtua, tapi ia memilih tinggal di rumah modern yang akhirnya hancur diguncang gempa. Foto diambil Kamis 23/8/2018. (Foto: Tagar/Harianto Nukman)

Jumayar sebenarnya memiliki rumah adat peninggalan orangtua, namun ia lebih memilih rumah modern dengan bangunan batu bata. Rumah modernnya itu hancur berkeping-keping. Sementara rumah adat milik orangtuanya yang kosong tak berpenghuni masih utuh berdiri hingga kini.

Ia menceritakan pengalamannya selamat dari ancaman kematian. Saat peristiwa gempa 7,0 SR Minggu malam (5/8), ia bersama keluarga dan 15 orang tetangganya sedang menonton acara balapan moto gp di salah satu saluran stasiun tv swasta. Ketika sedang ramai-ramai menikmati tayangan, tiba-tiba bumi berguncang keras. Lampu seketika padam total, tak ada penerangan. Warga berhamburan keluar rumah sambil berteriak histeris.

Rumah Jumayar yang dindingnya terbuat dari bata merah, seketika roboh. Ia, istri dan anaknya tertimbun di dalam reruntuhan bata bercampur genting dan puing pilar kayu atap rumah. Cukup lama ia dan keluarganya tertimbun dan tak sadarkan diri akibat terkena hantaman bata dan potongan kayu. Sementara warga lainnya masih sibuk di tengah kepanikannya menyelamatkan diri sambil berlarian masuk areal kampung adat untuk menghindarkan diri dari terpaan dinding tembok rumah yang runtuh.

Rumah Adat LombokRumah adat (berdinding bedek, terbuat dari gulatan bilah bambu dan beratap alang-alang) sebelah kanan itu milik Jumayar, warisan orangtuanya, kosong tak berpenghuni. Foto diambil Kamis 23/8/2018. (Foto: Tagar/Harianto Nukman)

Selang sekitar 20 menit, Jumayar sadarkan diri. Reruntuhan batu bata menghimpit tubuhnya. Setelah tersadar dengan sisa kekuatannya yang ada, ia berhasil keluar dari timbunan reruntuhan. Darah mengucur deras dari kepalanya, namun tak dihiraukannya. Ia berhasil menyibak puing-puing bangunan untuk menyelamatkan istri dan anaknya yang masih berada dalam timbunan batu bata.

"Kuasa Allah, alhamdulillah saya dan keluarga berhasil  diselamatkan. Semuanya berhasil keluar, warga yang lain datang menolong kami," ungkapnya dengan binar mata berkaca-kaca.

Pengalaman itu membuat Jumayar dan warga lain yang rumahnya roboh memutuskan tidak akan membangun rumah yang konstruksinya terbuat dari dinding batu bata atau batako.

"Kalau kami jadi dibantu, biar kami bangun sendiri rumah kami. Jika mungkin kami mau kembali bangun rumah adat, minimal rumah yang terbuat dari kayu. Selain murah juga aman dari guncangan gempa," ungkapnya.

Rumah Adat LombokRumah adat dengan model panggung juga terbukti aman, tak berpengaruh oleh guncangan gempa berulang. Rumah di Desa Gumantar, Kecamatan Kayangan, Lombok Utara, Nusa Tenggara Barat (NTB). Foto diambil Kamis 23/8/2018. (Foto: Tagar/Harianto Nukman)

Berbeda dengan dusun lain, warga yang rumahnya hancur akibat gempa di Desa Beleq tak membangun tenda pengungsian. Mereka kembali masuk dan bergabung ke rumah keluarganya di areal perumahan kampung adat.

Luas areal rumah adat ini sekitar 80 meter persegi. Sebanyak 36 unit rumah adat di dalamnya. Pelataran kampung dibatasi oleh pagar dari tetumbuhan hidup. Awik-awik dan aturan adat  atas kesepakatan bersama masyarakat tak membolehkan rumah modern dibangun di dalamnya. Rumah-rumah batu hanya boleh didirikan di luar areal perkampungan adat.

Warga Dusun Desa Beleq terdiri dari tiga rukun tetangga. Jumlah kepala keluarga 115 dan 510 jiwa orang. Untuk sementara waktu, perkampungan rumah adat ini dijadikan sebagai posko pengungsian sembari menunggu bantuan untuk membangun rumah mereka yang baru. Bukan rumah batu, tapi model rumah warisan dari tradisi leluhur. []

Berita terkait