Kasandra: Tak Ada Waktu Tepat Cerai

Kasandra: tak ada waktu tepat cerai. Perceraian apakah bentuk kegagalan atau keberanian mengambil risiko. Ini jawaban Kasandra.
Kasandra: Tak Ada Waktu Tepat Cerai | Ilustrasi. (Foto: Kane County Divorce Attorneys)

Jakarta, (Tagar 24/7/2018) - Orang menikah tak ada yang bercita-cita kelak suatu hari akan bercerai. Tuhan membenci perceraian walau tidak melarang cerai. Juga ada yang mengharamkan perceraian karena apa yang dipersatukan Tuhan tak boleh dipisahkan manusia. Namun realitas berkata lain, tidak semua pernikahan berjalan sesuai harapan. Perceraian terjadi di mana-mana, trennya meningkat dari tahun ke tahun.

Psikolog Kasandra Putranto mengatakan bahwa tak ada waktu paling tepat untuk memutuskan cerai, kecuali ada kondisi-kondisi khusus.

Ulasan sebelumnya: Saat Paling Tepat Cerai

Berikut tanya jawab tertulis Tagar News dengan Kasandra Putranto, Selasa sore (24/7).

Kapan saat tepat memutuskan cerai?

Menurut saya tidak pernah ada satu waktu yang paling tepat untuk memutuskan bercerai kecuali bila terbukti ada kekerasan fisik atau psikologis atau sosial yang sudah mengganggu fungsi kehidupan dan kesehatan mental seseorang.

Kesalahan apa yang tidak bisa dimaafkan dalam pernikahan?

Kesalahan dalam pernikahan sifatnya relatif, bisa jadi fatal untuk seseorang, tetapi tidak fatal buat orang lain.

Data Badan Pusat Statistik (BPS) lima tahun terakhir tren perceraian meningkat di Indonesia. Apa artinya?

Artinya memang jumlah orang yang melakukan perceraian semakin banyak setiap tahunnya. Dan hal ini tentu saja terkait dengan teori dasar mengapa perceraian terjadi. Pertama, karena profil psikologis suami-istri, tekanan teman, keluarga, atau situasi lain seperti ekonomi, sosial budaya, dan lain-lain.

Kedua, fakta bahwa pernikahan dini juga ternyata menyumbang data perceraian yang cukup besar ketika pasangan suami-istri belum matang. Belum siap menjalankan pernikahan ternyata menjadi salah satu alasan utama untuk bercerai.

Ketiga, perceraian lebih banyak terjadi karena perempuan zaman sekarang sudah maju dan sudah mengetahui lebih banyak tentang haknya dan berani menolak diperlakukan tidak sesuai dengan harkat dan martabatnya.

Apakah perceraian selalu identik dengan kegagalan?

Tergantung kondisinya dan sudut pandangnya. Apabila ternyata perceraian bisa membuat kehidupan lebih baik tentu sebuah perceraian tidak identik dengan kegagalan. Sayangnya harapan untuk membuat hidup lebih baik seringkali justru tidak terpenuhi.

Apakah perceraian identik dengan keberanian mengambil risiko?

Menurut saya tidak, walaupun banyak orang beranggapan bahwa ketika perempuan memiliki kemandirian finansial dianggap lebih berani mengajukan cerai. Menurut saya persepsi ini adalah persepsi yang tidak tepat.

Setelah cerai pada umumnya laki-laki Indonesia tidak peduli pada anaknya, tidak memberikan biaya hidup buat anaknya. Benarkah? Kenapa?

Tergantung orangnya.

Bagaimana menciptakan perceraian yang damai? Agar setelah cerai bisa tetap berkomunikasi setidaknya untuk kepentingan anak?

Sebaiknya sebelum menikah melibatkan konsultan pernikahan untuk bisa mengetahui perbedaan dan hambatan yang berpotensi menjadi risiko di masa depan.

Sementara selama menikah juga mungkin dalam proses penyesuaian diri membutuhkan bantuan konselor pernikahan.

Yang juga ketika bercerai juga sebaiknya mendapatkan pendampingan dari konselor pernikahan agar bisa menyelesaikan perkawinan dengan cara damai dan tetap memberikan manfaat maksimal kepada pasangan dan anak-anak.

Kuncinya adalah kualitas mental. (af)

Berita terkait
0
Video Jokowi 'Menghadap' Megawati Sangat Tidak Elok Dipertontonkan
Tontonan video Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) yang sedang bertemu dengan Ketua Umum PDIP, Megawati Soekarno Putri, sangat tidak elok.