Saat Paling Tepat Cerai

Saat paling tepat untuk cerai. Tuhan benci perceraian, namun cerai bukan sesuatu yang dilarang. Kapan saat tepat putuskan cerai?
Ilustrasi. (Foto: Lawyer Monthly)

Jakarta, (Tagar 24/7/2018) - Dua perempuan itu juru masak di sebuah kafe di bilangan Jakarta Timur. Keduanya tersenyum ramah seperti tak punya masalah. Menyapa hangat orang-orang yang datang. Nama mereka, panggil saja NN usia 34 tahun dan HN usia 38 tahun. Semua tampak baik-baik saja sampai kemudian mereka membuka sebuah tabir sebagian dari masa lalunya.

Ternyata NN ibu dua anak, dan HN ibu satu anak, sama-sama pernah mengalami prahara rumah tangga hingga berujung perceraian.

Ini kesaksian mereka.

Dua Kali Menikahi Satu Lelaki

Aku NN, waktu aku masih duduk di bangku sekolah menengah atas, aku bertemu laki-laki itu. Dia kos dekat rumah orangtuaku di Rawa Bunga, Jakarta Timur. Pekerjaannya pengemudi bus pariwisata. Pacaran enam bulan kuputuskan dia karena aku memergokinya sedang bersama perempuan lain di dekat rumah temannya.

Dua tahun kemudian kami bertemu lagi, dia statusnya sudah duda tanpa anak. Delapan bulan pendekatan, dia mengajakku menikah. Akhirnya kami menikah pada 2006. Ibunya menunjukkan rasa tidak suka padaku, sempat berusaha menjodohkan anaknya dengan perempuan lain.

Walaupun demikian ketika aku dan suami mengontrak rumah di Cipinang, ibu mertuaku itu ikut kami.

Aku menjalani hidup mengikuti aturan suami, termasuk dia tidak memperbolehkanku bertemu keluargaku, bahkan saat aku hamil. Dulu dia cerai karena istrinya tidak menurut, jadi dia ingin istrinya menurut dan disukai ibunya.

Ibu mertua banyak mengaturku, aku bukan pembangkang, aku mengiyakan, dan ia tak pernah puas.

Tahun 2007 anak pertama kami lahir. Pekerjaan suami sebagai pengemudi bus pariwisata penghasilannya tidak menentu, kadang dapat uang kadang tidak. Kalau pulang, ibunya yang dikasih. Aku harus nagih, minta-minta dulu baru dikasih. Kadang ia bilang tidak ada uang. Untuk beli susu, ia bilang tak ada. Padahal aku tahu ia punya tabungan.

Ibunya terus saja menunjukkan rasa tidak suka padaku. Puncaknya ia meminta anaknya menceraikanku. Aku mencintai suamiku dan tak ingin cerai. Ia mengatakan bahwa cerai itu permintaan ibunya. Itu terjadi pada 2008.

Dia menjemputku untuk pergi ke pengadilan untuk mengurus surat cerai. Satu kali mediasi dan tiga kali sidang. Surat nikah kami ditarik, digantikan surat cerai.

Pada 2010 ia datang padaku dan mengajakku menikah. Untuk kedua kalinya aku menikah dengan laki-laki yang sama. Karena waktu itu ibunya yang meminta cerai, aku mau diajak nikah lagi. Kami menikah resmi untuk kedua kali dan dapat surat nikah baru. Setahun kemudian anak kedua kami lahir.

Setelah itu kejadian demi kejadian sangat menyakitkan. Empat kali aku memergokinya dengan perempuan lain. Ada yang kuketahui melalui obrolan mereka di sms, dua perempuan berbeda kuketahui melalui sms, perempuan ketiga kulihat langsung, perempuan keempat kuketahui ia mengirim foto tanpa busana ke ponsel suamiku.

Aku tidak percaya lagi padanya, tapi ia menyangkal. Sejak kasus ini kami tidak bertegur sapa, tapi aku tetap melayaninya, menyiapkan makan, minum, baju, walau dia acuh.

Dia bilang, 'Kamu minta maaf dulu sama saya.'

Itu karena sebelumnya kalau dia mau pergi, aku mohon-mohon agak ia tidak pergi sampai aku bersujud di kakinya. Aku melakukan itu demi anak.

Aku bilang aku tidak mau minta maaf karena aku tidak salah.

Ia marah dan pergi dari rumah. 'Ingat ya, saya pergi dari sini dan saya tidak akan pernah kembali sama kamu,' katanya.

Ya sudah. Aku tidak menanggapi. Ia keluar pintu.

Statusku sekarang dalam keadaan menggantung, tapi suatu hari nanti aku akan urus surat cerai resmi. Ia sudah menikah dengan perempuan lain lagi, dan pasti menikah siri, karena ia belum punya surat cerai.

Ilustrasi BerceraiIlustrasi. (Foto: Snoring Devices Australia)

Hari Dimana Aku Melahirkan Anakku

Aku HN, aku mencintainya, ia mencintaiku, namun aku muslim, dia kristiani. Sejak awal kami sama-sama tahu perbedaan agama adalah ganjalan terbesar, namun kami tak kuasa mengingkari kata hati.

Kami bertemu saat sama-sama masih berstatus mahasiswa. Ia kuliah di Universitas Atmajaya, sedang menyelesaikan tugas skripsi, aku mahasiswi di Universitas Persada Indonesia masih tingkat tiga.

Dua tahun pacaran, aku dan dia sama-sama minta izin untuk menikah pada orangtua kami masing-masing. Seperti kami sudah duga sebelumnya, kedua orangtua kami menentang keinginan kami.

Satu hal yang membuatku menerima ajakannya untuk menikah adalah, ia berjanji setelah menikah nanti ia akan menganut agama yang kuanut. Janjinya ini pula yang membuat orangtuaku melunak.

Pada hari itu tahun 2003 di suatu tempat di Bogor, kami mencari jalan sendiri untuk menikah. Kami dinikahkan seorang ustaz, tak ada buku nikah, hanya ada selembar surat pernyataan bahwa kami menikah. Orangtuanya di Flores tidak datang, hanya orangtuaku yang datang.

Setelah menikah, kami tinggal di kos dan kuliah seperti biasa. Ia belum bekerja, aku belum bekerja. Orangtuanya mengirimkan uang untuk biaya hidup kami.

Sebulan kemudian aku mengandung, terpikir kami tak punya buku nikah, bagaimana nanti membuat akte kelahiran buat anak kami. Akte kelahiran sangat penting untuk masuk sekolah nanti. Berulang kali aku mendesak dia untuk segera menepati janjinya, memeluk agamaku, namun ia hanya berkata nanti dan nanti.

Sampai hari itu tiba, aku melahirkan anak kami di Rumah Sakit Persahabatan, Jakarta Timur. Beberapa jam kemudian aku serasa disambar petir, ketika ia mengatakan, "Saya mau pisah sama kamu kalau kamu tetap bertahan dengan agama kamu."

Ia mengingkari janjinya. Ia seperti lupa telah berjanji apa. Hari itu pula dengan menekan segala perasaan, aku membawa bayiku pulang ke rumah orangtuaku. Dia sama sekali tak pernah datang untuk mengunjungi anak kami.

Suatu hari anak kami sakit parah sampai harus dirawat di Rumah Sakit Saint Carolus. Aku menghubunginya, memintanya datang, tapi dia tidak datang. Kubawa anakku ke tempat kosnya, ia malah mengusir kami.

Orangtuanya pernah menemuiku, melihatku belum bekerja mereka menawarkan untuk mengasuh bayiku dengan cara mereka. Aku menolak tawaran itu. Mereka kemudian menawarkan akan mengirimiku uang untuk biaya hidup anakku, tapi aku juga menolaknya, karena aku tak mau berutang budi.

Sepuluh tahun aku berharap ia kembali padaku dan menepati janjinya, namun harapan itu tetap menjadi harapan. Sampai aku berjanji pada diri sendiri, aku tidak akan menemuinya, insya Allah rezeki ada.

Tahun 2013 aku menikah dengan orang lain, sementara dia baru tiga tahun lalu menikah. Aku tahu kami selama ini saling menunggu dan bertahan pada harapan masing-masing.

Anak kami, aku memberinya nama Zidane, ia lahir 2004 bertepatan Piala Dunia yang dimenangkan Prancis dengan Zidane sebagai bintangnya.

Zidane saat ini kelas tiga sekolah menengah pertama. Ia masih anak semata wayang dalam keluargaku hingga saat ini.

Ia tahu tentang ayahnya, aku memberitahunya. Ayahnya kini pegawai negeri di Dinas Pariwisata Flores. Kalau ayahnya mau, ia bisa mengirimkan biaya hidup untuk Zidane, namun ia tak pernah melakukannya.

Zidane dan ayahnya berteman di Facebook, namun ayahnya tidak menyadarinya. Suatu hari Zidane mengomentari foto pernikahan ayahnya di Facebook. Zidane mengucapkan selamat dan mendoakan semoga langgeng. Ayahnya membalas komentarnya itu, 'Makasih ya, Dik'.

Zidane menulis lagi di kolom komentar, 'Bapak tahu nggak siapa saya? Saya Zidane anak Bapak, kelas enam SD, mau SMP, doakan masuk negeri supaya nggak membebani ibu.'

Komentar Zidane dibalas dengan pemblokiran Facebook. Zidane sakit hati. Tadinya ia masih berharap suatu hari nanti bertemu ayahnya, namun sejak peristiwa di Facebook itu ia mengubur harapannya dalam-dalam.

Dari peristiwa pahit itu aku memetik pelajaran, jangan mudah percaya pada laki-laki, hindari pacaran beda agama, kalau bisa jangan mengandalkan laki-laki, harus mencari pekerjaan sendiri.

Ilustrasi BerceraiIlustrasi. (Foto: Kane County Divorce Attorneys)

Pernikahanku dengan suami kedua, seorang security, kandas setelah jalan selama setahun dua bulan, pemicunya karena dia terlalu sering membanding-bandingkan anaknya dengan anakku. Ia mengaku duda waktu bertemu denganku, punya satu anak dari istri terdahulu. Setelah menikah ternyata ia belum punya surat cerai resmi. Anaknya ikut istrinya.

Ia tidak senang aku memberikan perhatian pada anakku sendiri. Ia melarangku membangunkan anakku pada pagi hari. Ia bilang aku tak perlu melakukan itu, biar anak bangun sendiri, kalau tidak bangun, telat sekolah risiko sendiri.

Kami sering bertengkar dan dalam setiap pertengkaran nyaris selalu keluar dari mulutnya kata-kata cerai.

Kami tinggal di rumah orangtuaku di Utan Kayu. Suatu hari ia menemui ayahku, mengatakan bahwa ia sudah tidak bisa lagi denganku. Ayahku bilang, 'Yang kalian hadapi itu masalah rumah tangga biasa, janganlah buru-buru ambil keputusan pisah'. Tapi dia ambil bajunya dan pergi.

Sebulan kemudian ia datang dan berkata, 'Kamu kok nggak suruh aku pulang?'

Aku jawab, 'Kan kamu yang pergi, bukan aku yang suruh. Mau pulang ya pulang aja.'

Perasaanku sudah datar padanya. Waktu itu aku tidak bekerja, terpikir untuk bekerja dan hidup sendiri lagi.

Karena dia terlalu sering mengucap kata cerai, aku merasa ditantang, aku mengurus cerai ke pengadilan, dari daftar sampai putusan memerlukan waktu enam bulan, dengan biaya Rp 1,2 juta. Dia tidak pernah datang ke sidang dan tidak memberikan biaya sama sekali. 'Kamu yang minta cerai, kamu yang urus,' katanya.

Di ruang sidang Pak Hakim bertanya apa alasanku menggugat cerai. Aku katakan bahwa sudah tidak ada kecocokan di antara kami.

Tahun 2017 aku menikah dengan pria ketiga, mantan pacar yang kemudian bertemu. Ia bekerja sebagai pengendara ojek online, duda satu anak.

Aku berharap pernikahan ketigaku ini langgeng, bertahan saja walau ada masalah, hadapi. Menuruti nafsu, emosi, tidak ada habisnya.

Tuhan Benci Perceraian

Tuhan membenci perceraian, namun perceraian bukan sesuatu yang dilarang. Ketika tak ada jalan keluar dalam peliknya rumah tangga, bisa jadi cerai adalah jalan keluar terakhir yang awalnya terasa sangat menyakitkan.

Bercerai bukan suatu keputusan yang mudah diambil, membutuhkan waktu lama dan proses panjang untuk berpikir.

Saat tepat untuk memutuskan cerai, dilansir Our Everyday Life terdapat beberapa cara mengetahuinya. Berikut di antaranya.

1. Kesehatan emosional

Lihat kembali ikatan emosional antara Anda dan pasangan. Jika memang ikatan emosional tersebut sudah pudar, mungkin tanda-tandanya akan seperti pasangan yang tidak lagi peduli, selalu mengkritik, berdebat tentang hal-hal sepele, Anda selalu ingin pergi, dan adanya perlakuan kasar.

Hal lain untuk mengetahui ikatan emosional adalah dengan mengenang memori, pikirkan tentang masa lalu. Jika ingatannya bahagia, mungkin Anda sebaiknya bertahan, namun jika hal yang dikenang justru pahit, cerai adalah pilihan.

2. Yang Membuat Anda Bahagia

Sebuah pernikahan bahagia tidak berarti Anda akan gembira setiap detiknya. Namun, jika berada di dalam sebuah hubungan rumah tangga yang justru membuat Anda lebih sangsara, lantas mengapa dipertahankan?

3. Konflik Praktis

Mungkin hal-hal yang selalu membuat Anda tidak bahagia atau bersedih adalah sesuatu yang praktis, seperti uang dan waktu. Jika Anda dan pasangan masih saling mencinta, seharusnya hal ini tidak pernah menjadi konflik yang besar.

4. Tekanan dari Luar

Jika Anda sudah merasa tidak bahagia, tanyakan kepada diri sendiri apa yang mengharuskan Anda untuk bertahan? Terkadang, banyak orang mempertahankan sebuah hubungan hanya karena takut akan konsekuensi.

5. Pertimbangkan alternatif

Jika Anda memutuskan untuk tidak cerai, maka jangan hanya puas dengan hubungan yang sekarang terjalin. Cari akar masalahnya, maka Anda dapat lebih mudah untuk memperbaikinya.

Perceraian di Indonesia

Berikut terperinci data cerai dari berbagai daerah di Tanah Air periode 2012-2015  (data terperinci periode 2016 belum ditampilkan).

Data CeraiAngka perceraian di Indonesia kurun waktu 2012-2015. (Sumber: Badan Pusat Statistik)

Dilansir laman resmi Badan Pusat Statistik, data dari Dirjen Badan Peradilan Agama, Mahkamah Agung kurun waktu lima tahun yaitu 2012-2016 angka perceraian di Indonesia sempat mengalami penurunan, namun kemudian mengalami peningkatan.

Pada 2012 angka cerai yang tercatat di seluruh Tanah Air sebanyak 346.480. Pada 2013 angkanya turun jadi 324.247. Pada 2014 angkanya meningkat jadi 344.237. Pada 2015 meningkat lagi jadi 347.256. Pada 2016 meningkat lagi jadi 365.633.

Jumlah perkara perceraian merupakan kumulatif dari cerai gugat dan cerai talak yang dikabulkan oleh Pengadilan Agama.

Rata-rata angka perceraian naik 3 persen per tahun. (af)

Berita terkait
0
Hasil Pertemuan AHY dan Surya Paloh di Nasdem Tower
AHY atau Agus Harimurti Yudhoyono mengaku sudah tiga kali ke Nasdem Tower kantor Surya Paloh. Kesepakatan apa dicapai di pertemuan ketiga mereka.