Karena Indonesia Hanya Jakarta

Persoalan sekecil apa pun di Jakarta berubah menjadi masalah nasional negeri ini. Juga persoalan di Jakarta seakan masalah seluruh Indonesia.
Monumen Nasional. (Foto: Tagar/Nurul Yaqin)

BEBERAPA  waktu lalu berita tentang pencopotan atap Jembatan Penyeberangan Orang (JPO) di kawasan Sudirman, Jakarta Pusat, oleh Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta menyedot perhatian publik.

Jembatan itu milik warga Jakarta, tapi seolah semua warga Indonesia ikut pusing karenanya. Saya yakin beritanya tidak akan seheboh itu apabila kasus yang sama terjadi di daerah lain di luar Jakarta. Indonesia seolah direduksi dengan hanya satu kota yakni Jakarta. Apa pun tentang Jakarta adalah persoalan pelik bagi segenap rakyat Indonesia. Atau, setiap tahun kita akan disuguhi berita tentang banjir dan macet di Jakarta.

Masalah sekecil apa pun di Jakarta berubah menjadi masalah nasional negeri ini. Manusia Indonesiapun seolah sepakat hanya punya satu gubernur yakni Anies, hanya punya satu monumen yakni Monas, juga hanya punya satu transportasi bernama Trans Jakarta.

Hampir semua persoalan di Jakarta adalah masalah yang dibebankan pada semua manusia di Indonesia, walaupun kebanyakan dari mereka tak pernah singgah dan hidup di Jakarta. Kita mengenal Jakarta lewat berita koran, televisi dan internet. Jakarta adalah kota yang eksklusif di negeri ini. Gedung-gedung bertingkat tinggi menjulang, mobil-mobil bagus lalu lalang, artis-artis dan para pejabat bergumul di Jakarta. Harapan hidup rakyat Indonesia pun bergantung dari Jakarta. Jakarta menyedot perhatian karena ia juga adalah Ibu kota negara.

Akan tetapi, Jakarta seringkali menjadi sesak dengan pemberitaan-pemberitaan yang tak penting dan tak membawa dampak atau manfaat apapun bagi kehidupan negeri. Kesenangan dan kemegahan di Jakarta semata hanya menjadi imajinasi dan mimpi bagi manusia Indonesia seluruhnya.

Mereka tak hidup di Jakarta namun bertanggung jawab atas Jakarta. Dengan demikian, memandang Jakarta sebagai sebuah kota dan jantung negeri mengandung dua konsekuensi. Pertama, Jakarta adalah etalase yang menggambarkan Indonesia secara utuh. Atau miniatur yang melukiskan kisah-kisah Indonesia terkini. Hal remeh bisa menjadi isu nasional, sementara persoalan penting di daerah lain hanya menjadi pelengkap dari kisah tentang Jakarta.

Hidup di Jakarta menandakan keniscayaan sebagai manusia Indonesia terkini, ter-uptodate, dan ter-modern.

Kedua, dominasi Jakarta atas kota dan provinsi lain menjadi catatan penting tentang posisi dan kedudukannya. Jakarta seoalah diaklamasikan sebagai puncak-puncak dari segala peradaban kota dan kampung di Indonesia. Sementara daerah dan wilayah lain semata pelengkap dalam menyertai eksistensi Jakarta. Jejak telisik riwayat Jakarta tidak lagi dibangun dari kesadaran dan kemandirian sosial. Padahal hidup di Jakarta kini membawa beban-beban makna. Beban itu berupa “modernisme.” Hidup di Jakarta, seberapa pun kolot dan kumuhnya suatu permukiman, tetaplah bangga sebagai representasi orang kota yang tak lagi udik apalagi kolot. Mereka memisahkan diri dengan sekat-sekat di wilayah kampung atau desa. Hidup di Jakarta menandakan keniscayaan sebagai manusia Indonesia terkini, ter-uptodate, dan ter-modern. Kita menganggap Jakarta sebagai tempat menjual mimpi sekaligus tragedi.

Akibatnya, persaingan, kontestasi dan kejahatan setiap saat seringkali berlangsung di Jakarta. Kohesi sosial, kerukunan dan sikap saling menghargai sesama semakin hilang terkikis waktu dan zaman. Pagar-pagar rumah semakin ditinggikan, keamanan ditingkatkan dengan memperbanyak CCTV dan anjing penjaga, anak-anak tak lagi bebas bermain karena kejahatan setiap saat bisa datang.

Gaya hidup di Jakarta menjadi acuan. Ketakutan merajalela. Iklan-iklan televisi kemudian menawarkan permukiman elite yang dilengkapi dengan fasilitas terbaru. Semua demi kenyamanan dan ketentraman hidup untuk tinggal di Jakarta. Tak peduli, banyak warga miskin masih hidup di pinggir kali demi bertahan hidup di kota itu. Mereka malu untuk kembali ke kampung asal karena kadung menggandrungi Jakarta sebagai kota dan tempat tinggal penebar impian. Hidup di Jakarta membawa satu kebanggaan, tak peduli walau dalam dilema kemlaratan.

Manusia di Jakarta kemudian mendudukkan dirinya sebagai artis yang setiap saat siap untuk diberitakan dan diwacanakan. Sementara manusia-manusia di luar Jakarta adalah penonton yang setiap saat siap bertepuk tangan tertawa dan sedih-menangis atas apa pun yang terjadi di Jakarta. Jakarta layaknya pertunjukan opera, kadang membawa banyolan lucu tapi seringkali membawa kepedihan. Oleh karena itu, kita sadar bahwa setiap detik memori otak kita akan senantiasa dibanjiri tentang berita-berita remeh dari Jakarta. Kemudian mempengaruhi cara berfikir kita menjadi “ala orang Jakarta.”

Jika tak ingin disebut ketinggalan zaman, ndeso atau udik dalam membaca Indonesia, maka ikutilah berita-berita tentang Jakarta di televisi atau media kita di hari ini.

Penulis: Esais, tinggal di Solo

Berita terkait
Guntur Romli: Anies Jadikan TIM Pusat Rebahan
Politikus PSI Mohamad Guntur Romli memandang Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan bakal menyulap lokasi kesenian di TIM, menjadi tempat rebahan.
Mundur Pencalonan, Bamsoet 'Dihadiahi' Ketua Harian?
Mundurnya Bambang Soesatyo alias Bamsoet disebut bakal dihadiahi posisi ketua harian Partai Golkar setelah mundur dari bursa pencalonan ketum.
Profil Gibran Rakabuming Raka Calon Wali Kota Surakarta
Gibrang Rakabuming, putra sulung Presiden Joko Widodo, diperbincangkan karena masuk bursa Pemilihan Wali Kota Surakarta 2020-2025.
0
Video Jokowi 'Menghadap' Megawati Sangat Tidak Elok Dipertontonkan
Tontonan video Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) yang sedang bertemu dengan Ketua Umum PDIP, Megawati Soekarno Putri, sangat tidak elok.