Kampanye Politik Olok-Olok Tidak Efektif untuk Pilpres 2019

Kampanye Nyinyir dan Politisi Olok-Olok menunjukkan kemunduran demokrasi
Diskusi Kampanye Nyinyir dan Gugat-Menggugat Tidak Efektif dalam Pilpres 2019 (Foto: Tagar/Santi Sitorus)

Jakarta, (Tagar 21/11/2018) - Pengamat politik Arif Susanto mengatakan durasi kampanye pemilu presiden dan pemilu legislatif yang sangat panjang saat ini rentan menimbulkan suasana yang tak kondusif di masyarakat. Politik olok-olok menjadi kebiasaan.

Dia meminta agar KPU dan Bawaslu harus lebih maksimal dalam mengatur peraturan pemilu, untuk menghindari kampanye politik olok-olok. Pilpres tahun ini dianggap lebih mengutamakan sensasi di tengah masyarakat yang rasional.

Hal ini disampaikan Arif Susanto diskusi bertema "Kampanye Nyinyir dan Gugat-Menggugat di Tahun Politik: Apa Motifnya?" di D Hotel, Jalan Sultan Agung,  Setia Budi, Menteng, Jakarta Pusat, rabu (21/11). Selain Arif, pembicara lainnya dalam diskusi ini antara lain Bivitri Susanti (Pengamat Hukum), Jeirry Sumampow (Komite Pemilih Indonesia), Lucius Karus (Peneliti Formappi), Yusfitriadi (Direktur Demoracy Electoral Empowerment Partnership), dan Ray Rangkuti (Direktur LIMA Indonesia).

Arif mengatakan politik saat ini disibukkan dengan politisasi SARA dan hukum. Pernyataan untuk memilih suatu pilihan itu adalah hak setiap individu dan harus saling menghargai. "Namun berbeda dengan apa yang terlihat masyarakat, agama dan hukum dijadikan sebagai alat politik," katanya.

Ia menambahkan dengan masa panjang tujuh bulan kampanye akan membuka peluang kepada masyarakat untuk mendapat asupan informasi hoaks yang menyesatkan. 

"Dan bahkan lahir politik olok-olok seperti yang terjadi saat ini. Para elit politik lebih sering mengekploitasi emosi massa lewat pernyataan-pernyataan menohok ketimbang keunggulan tawaran program mereka," ujarnya. 

Menurutnya, hal ini menunjukkan dangkalnya gagasan politik dan cenderung membodohi dan memecah-belah. 

"Dengan demikian kandidat akan mengada-ada, menyatakan tanpa data yang akurat, menyampaikan pesan yang emosional yang menunjukkan kegeraman sehingga muncul pesan-pesan yang multitafsir. Hal ini pula yang membuat suasana politik menjadi keruh." 

"Apa belum capek 30 tahun di zaman Soeharto, ketika hukum dijadikan sebagai alat politik, kita tidak memiliki kebebasan. Jangan membawa demokrasi kita kembali mundur, jangan main-main dengan agama dan hukum, karena masalah tidak akan selesai," ujar Arif,  analisis politik dari exposit strategic ini.

Lebih jauh Arif mengatakan lebih dari 40% pemilih saat ini berasal dari golongan milenial dan mereka itu dididik dengan sistem demokratis. 

"Jadi politik olok-olok tidak akan masuk akal dan tidak berlaku bagi kaum milenial, karena kaum ini jauh lebih pluralis," tutupnya. []





Berita terkait
0
Video Jokowi 'Menghadap' Megawati Sangat Tidak Elok Dipertontonkan
Tontonan video Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) yang sedang bertemu dengan Ketua Umum PDIP, Megawati Soekarno Putri, sangat tidak elok.