Kaleidoskop – Pemimpin Pujaan Bisa Juga Dikalahkan

Pemimpin pujaan bisa juga dikalahkan. Kekalahan Ahok harus menjadi pelajaran bagi petahana-petahana di daerah manapun.
Basuki Tjahaja Purnama (Ahok). (Foto: Ant/Sigid-Kurniawan)

Kekalahan Ahok harus menjadi pelajaran bagi petahana-petahana di daerah manapun. Penampilan heroik tidak selalu secara otomatis membuat para calon pemilih langsung mencoblos lagi nama kepala daerah petahana.

Tahun 2017 sebentar lagi berakhir dan segera memasuki 2018. Saat seperti ini rakyat Indonesia bukannya semakin tenang dan senang melihat tingkah laku para pejabat negara, malah justru merasakan kebencian atau kemuakan terhadap segelintir "oknum" pejabat.

Lihat saja! Setya Novanto (Setnov) yang pasti harus merelakan "kursi empuknya" di Dewan Perwakilan Rakyat karena Ketua DPR ini dituduh dan disangkakan terlibat dalam dugaan kasus korupsi pembuatan E-KTP yang nilai penyelewengannya diduga mencapai Rp 2,3 triliun.

Setnov yang pada sekitar tahun 2011-2012 menjadi ketua Fraksi Partai Golkar di DPR didakwa secara aktif merencanakan korupsi besar-besaran itu yakni Rp 2,3 triliun dari total nilai proyek tak kurang dari Rp 5,9 triliun.

Tokoh partai ini tak hanya menyeret segelintir pejabat Kementerian Dalam Negeri, anggota DPR tapi juga disebut-sebut "mengajak" secara aktif anggota keluarganya mulai dari istri, anak hingga keponakannya.

Lantaran dia merupakan politisi yang berpengalaman dan bahkan bisa disebut "licin" maka setelah didakwa KPK masih juga berusaha "menghindari" tuduhan dengan dua kali mengajukan praperadilan.

Pada praperadilan pertama, dia lolos sehingga untuk sementara bisa tenang. Namun pada praperadilan kedua dia "mentok", permintaannya untuk dibebaskan ditolak yang mengakibatkan komisi antirasuah KPK bisa dengan tenang menyeretnya ke pengadilan tindak pidana korupsi atau Tipikor.

Akibat ulah Setnov itu, Partai Golkar kelabakan, banyak tokoh senior partai ini mengincar-incar posisi ketua umum DPP Partai Golkar. Karena dia juga Ketua DPR, posisi ini pun juga menjadi incaran para anggota DPR dan partai-partai politik yang pada tahun 2019 akan berlangsung pemilihan anggota legislatif mulai dari DPR, DPD hingga DPRD tingkat satu dan dua.

Karena itu, masyarakat menanti-nanti babak akhir proses pengadilan yakni apakah Setnov akhirnya benar-benar dinyatakan bersalah dalam kasus E-KTP ini ataukah tidak. Kalau dinyatakan bersalah, maka berapa tahun putusan atau amar hukumnya yang bisa mengakibatkan tokoh partai ini bisa kehilangan "pamornya" di bidang politik dan dunia usaha, karena jauh sebelum menjadi wakil rakyat yang "terhormat" dia merupakan pengusaha yang "sangat sukses".

Sementara itu, saat ini, KPK sedang menangani kasus seorang pejabat bernama Tubagus Iman Hariyadi yang terpaksa dinonaktifkan dari jabatannya sebagai Wali Kota Cilegon, Banten karena diduga kuat terlibat dalam pembangunan sebuah mal "Transmart di Cilegon.

Kisah lainnya, Rita Widyasari diturunkan dari jabatannya sebagai Bupati Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur lagi-lagi karena soal duit.

Selain Rita dan Tubagus Iman, masih ada setumpuk nama pejabat lagi yang terpaksa diseret KPK karena urusan korupsi mulai dari gubernur hingga bupati dan wali kota serta wakil-wakil rakyat di DPR, DPRD tingkat satu dan dua.

Berbagai kasus penyelewengan itu akhirnya menimbulkan pertanyaan, kenapa sih sejak era reformasi yang dimulai tahun 1998 hingga detik ini masih saja ada pejabat negara di bidang eksekutif, legislatif hingga yudikatif tega-teganya "makan" uang rakyat yang sama sekali bukan hak mereka.

Apalagi para pejabat itu pada umumnya sudah menandatangani surat pernyataan yang diberi nama "pakta integritas" yang menyatakan kesiapannya untuk "tidak macam-macam" tapi toh pada kenyataannya tetap saja korupsi muncul di sana-sini.

Masihkan rakyat boleh percaya kepada semua pejabat trutama jika dikaitkan dengan posisi mereka terutama yang mengendalikan "pundi-pundi" negara ataukah pemerintah?

Panglima TNI

Belasan hari lalu, masyarakat Indonesia di dalam negeri maupun luar negeri menyaksikan pengucapan sumpah jabatan Panglima Tentara Nasional Indonesia (TNI) yang baru, yakni Marsekal TNI Hadi Tjahjanto untuk menggantikan Jenderal TNI Gatot Nurmantyo.

Pengangkatan Marsekal Hadi Tjahjanto amat menarik karena pada awal tahun 2017 dia baru saja diangkat menjadi Kepala Staf TNI Angkatan Udara (TNI-AU).

Hadi mempunyai hubungan dekat dengan Presiden Joko Widodo antara lain karena pernah menjadi komandan Pangkalan Udara Adisumarno, Solo dan orang tahu bahwa Joko Widodo pernah menjadi Wali Kota Solo.

Hal menarik dari pengangkatan Marsekal Hadi ini adalah karena yang digantikannya, Jenderal Gatot Nurmanto baru akan pensiun akhir Maret atau awal April tahun 2018, sehingga adalah wajar jika dia baru diganti satu atau dua bulan sebelum pensiun.

Tentu Presiden mempunyai alasan-alasan tersendiri kenapa harus "buru-buru" mengganti Gatot yang sering disebut-sebut ingin juga atau berminat menjadi bakal calon presiden atau sedikitnya bakal calon wakil presiden walaupun Gatot belum menjadi anggota satu partai politik apapun juga.

Akan tetapi rakyat terutama para politisi serta pengamat pasti tidak akan melupakan salah satu pernyataan kontroversial Gatot saat bertemu para jenderal purnawirawan TNI termasuk Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan Jenderal TNI Purnawirawan Wiranto.

Pada saat itu disebut-sebut pernyataan Gatot Nurmanto sama sekali bukan untuk disiarkan alias off the record bagi wartawan. Namun akhirnya "bocor" juga.

Dalam pertemuan itu, Jenderal Gatot menyebut-nyebut ada sebuah instansi yang mengimpor senjata-senjata tanpa mendapat izin Markas Besar TNI. Untung saja Kepala Polri Jenderal Polisi Tito Karnavian dan Kepala Badan Intelijen Negara atau BIN Jenderal Polisi Budi Gunawan tidak memberi penjelasan kepada rakyat mengenai "tuduhan" itu.

"Debat kusir" ini disebut-sebut telah membuat marah Kepala Negara dan juga Wakil Presiden Muhammad Jusuf Kalla.

Pertanyaan yang pantas diajukan adalah apakah mungkin pemberhentian Gatot Nurmantyo ini yang lebih cepat dari waktu pensiunnya itu akibat "rasa tidak senang" pimpinan pemerintah ataukah ada faktor-faktor penyebab lainnya misalnya kemungkinan adanya "dosa" yang tak bisa "dimaafkan.

Menjelang pemilihan kepala daerah di 171 daerah mulai dari provinsi, kabupaten dan kota akan mengakibatkan peranan prajurit TNI menjadi sangat penting, karena sekalipun Kepolisian Republik Indonesia merupakan instansi di bidang keamanan, tetap saja fungsi dan peranan TNI tetap diperlukan sebagai alat pertahanan.

Jadi Sorotan

Selama 2017 ini, begitu banyak peristiwa di bidang politik, ekonomi dan keuangan, sosial budaya, keamanan dan pertahanan yang menjadi sorotan dan perhatian.

Di Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta misalnya, dikalahkannya Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok dan wakilnya Djarot Saiful Hidayat oleh pasangan Anies Baswedan-Sandiaga Uno menjadi kejutan karena Ahok yang "dipuja-puja" atau didukung oleh sejumlah pejabat dan pengusaha ternyata bisa juga dikalahkan oleh Anies-Sandiaga setelah pada babak pertama Pilkada juga ada nama pasangan Agus Harimurti-Sylviana Murni.

Kekalahan Ahok itu harus dijadikan pelajaran oleh petahana-petahana di daerah manapun karena tidak selalu penampilan yang "gagah-gagahan" atau omongan yang "menggebu-gebu" secara otomatis akan mengakibatkan para calon pemilih langsung mencoblos lagi nama kepala daerah petahana itu.

Pejabat dan semua calon kepala daerah di 171 provinsi, kabupaten dan kota harus benar-benar jeli untuk menyusun dan melaksanakan berbagai strategi, program kampanye hingga jika terpilih menjadi pemimpin di daerahnya masing-masing.

Apabila pada masa lalu, calon pemilih cukup diberi "amplop", beras, gula, kaos maka kini rakyat benar-benar ingin menyaksikan bahwa calon pemimpin mereka adalah benar-benar tokoh yang bakal menjadi abdi rakyatnya, bersifat amanah, matanya tidak "hijau" jika mendapat tawaran setumpuk uang yang menggoda dompet dari pengusaha-pengusaha yang ingin mendapat berbagai proyek pembangunan ataupun janji "upeti" dari bakal calon anak buahnya yang "gila jabatan atau kursi pejabat".

Calon pejabat perlu menyadari bahwa mata rakyat akan semakin terbuka jika melihat ada pejabatnya atau bakal calon penyelenggara negara yang cuma ingin coba-coba menikmati empuknya kursi jabatan tanpa mau mengabdi kepada rakyat.

Pejabat itu hanyalah abdi rakyat sehingga yang sebetulnya berkuasa adalah rakyat, sehingga pada tahun 2018 seharusnya jangan ada lagi pejabat yang diseret ke meja hijau oleh KPK yang urusannya pasti akan berkepanjangan dan bisa merugikan keluarga mulai dari istri atau suami, anak-anak hingga keluarga besarnya. (Arnaz Firman/ant/yps)

Berita terkait
0
Nathalie Holscher Terang-terangan Ungkap Pernah Kecewa dengan Sule
Perceraian Sule dan Nathalie Holscher terus menjadi topik yang menarik untuk dibahas, lantaran publik juga terus-menerus menyorot permasalahnya.