Kabareskrim Polri, Komjen Polisi Ari Dono: Berhukum Harus Dengan Hati Nurani

Kabareskrim Mabes Polri, Komisaris Jenderal (Komjen) Polisi Ari Dono Sukmanto menegaskan, berhukum itu harus dengan hati nurani.
Kepala Badan Reserse dan Kriminal (Kabareskrim) Mabes Polri, Komisaris Jenderal (Komjen) Polisi Ari Dono Sukmanto., mengungkap kan pola pembelian narkotika jaringan Indonesia - Malaysia dimana sindikat asal Indonesia membeli “barang” dari Malaysia dengan pembayaran 30% terlebih dahulu, baru “diselesaikan” setelah barangnya datang (Foto:Ist)

Jakarta, (Tagar 4/10/2017) - Kepala Badan Reserse dan Kriminal (Kabareskrim) Mabes Polri, Komisaris Jenderal (Komjen) Polisi Ari Dono Sukmanto, menegaskan bahwa kualitas hukum ditentukan atas dasar mengabdi kepada kesejahteraan manusia.

“Tujuan hukum untuk mencapai ‘the greatest happiness for the greatest number of people. Berhukum itu harus dengan hati nurani,“ jelas Komjen Pol Ari Dono Sukmanto di Jakarta, Selasa (03/10).

Maksud hati nurani menurut Ari adalah paradigma terhadap hukum sosial kemasyarakatan di Indonesia. Ari menjelaskan, Indonesia telah memiliki ekstraksi kearifan lokal yang terumuskan oleh pendiri bangsa yaitu Pancasila.

Di dalamnya terwujud fakta bahwa Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia terikat dengan Kemanusiaan yang Adil dan Beradab serta Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan dan Perwakilan. Ekstraksi musyawarah untuk mufakat ini sebenarnya yang menjadi ruh dari diskresi kepolisian.

Selanjutnya Ari menyebut, diskresi kepolisian sebenarnya bukan sekadar pandangan negatif. Dia bertumpu pada peristiwa kasus Polantas yang berhasil melumpuhkan penyandera di angkot beberapa waktu lalu, atau penyelesaian konflik di masyarakat oleh Babinkamtibmas yang selama ini hampir kurang mendapat porsi, padahal selalu berlangsung dan menuntaskan permasalahan meski tanpa ekspos dari media massa.

“Itu muncul sebagai akibat cara kita berhukum yang masih terpenjara oleh ritual-ritual legalitas formal yang mengunggulkan cara kerja “discriminate, measure, categorize” yang menghasilkan gambar hukum yang berkeping-keping (fragmented),” ujarnya

Selebihnya Ari mengatakan, penegakan hukum menemui kebuntuan legalitas formalnya untuk melahirkan keadilan substantif. Hal ini disebabkan oleh karena penegak hukum terpenjara oleh ‘ritual’ penegakan hukum yang mengandalkan materi, kelembagaan serta prosedur yang kaku.

“Hukum progresif memang lahir akibat kekecewaan kepada penegak hukum yang kerap berperspektif positivis. Yakni, hanya terpaku pada teks dalam undang-undang tanpa mau menggali lebih dalam keadilan yang ada di masyarakat. Para penganut paham positivisme kerap berdalih paham civil law yang dianut Indonesia ‘mengharuskan’ hakim sebagai corong undang-undang,” tambahnya.

Karena itu, Ari mengimplementasikan regulasi diskresi Polri ke depan untuk tetap mengacu pada Pancasila dan UUD 1945. “Karena mau tidak mau kita harus mempelajari hukum dan cara berhukum kita dengan berani keluar dari alur tradisi penegakan hukum yang hanya bersandarkan kepada peraturan perundang-undangan. Diskresi kepolisian adalah keniscayaan,” tutupnya.(ard/DBS)

Berita terkait
0
Serangan ke Suharso Monoarfa Upaya Politik Lemahkan PPP
Ahmad Rijal Ilyas menyebut munculnya serangan yang ditujukan kepada Suharso Manoarfa merupakan upaya politik untuk melemahkan PPP.