Jokowi Tanggapi Rencana Impor Beras yang Banyak Diprotes

Jokowi menanggapi rencana impor satu juta ton beras yang diprotes banyak pihak sebab dinilai hanya menguntungkan petani asing. Simak penjelasannya.
Jokowi. (Foto: Tagar/Facebook Presiden Joko Widodo)

Jakarta - Presiden Joko Widodo memastikan tidak ada impor beras sampai bulan Juni 2021. Kesepakatan impor beras dengan Thailand dan Vietnam untuk berjaga-jaga. Jokowi mengatakan ini dalam video di kanal YouTube Sekretariat Presiden, Jumat, 26 Maret 2021, di tengah banyak suara yang memprotes rencana impor satu juta ton beras yang disampaikan Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi.

"Saya pastikan bahwa sampai bulan Juni 2021 tidak ada beras impor yang masuk ke negara kita Indonesia. Kita tahu sudah hampir tiga tahun ini kita tidak mengimpor beras. Kesepakatan dengan Thailand dan Vietnam itu hanya untuk berjaga-jaga mengingat situasi pandemi yang penuh ketidakpastian. Saya tegaskan sekali lagi berasnya belum masuk," tutur Jokowi.

Banyak pihak termasuk Sekretaris Jenderal PDI Perjuangan Hasto Kristiyanto menentang rencana pemerintah mengimpor satu juta ton beras. Impor beras dinilai hanya akan menguntungkan petani asing.

Presiden Jokowi juga memastikan beras petani akan diserap Perusahaan Umum Badan Urusan Logistik (Bulog) dan akan memerintahkan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati untuk membantu mengatur anggarannya.

"Saya tahu kita sedang memasuki masa panen dan harga beras di tingkat petani belum sesuai yang diharapkan, oleh sebab itu saya minta segera perdebatan yang berkaitan dengan impor beras, ini malah justru bisa membuat harga jual gabah di tingkat petani turun atau anjlok," ujar Presiden.

Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi mengatakan rencana impor satu juta ton beras pada tahun 2021 sudah diputuskan dalam rapat tingkat kementerian koordinator pada 2020, sebelum ia diangkat jadi menteri. Lutfi tinggal menghitung jumlah. Ia siap mundur apabila kebijakannya ini salah.

Kesepakatan dengan Thailand dan Vietnam itu hanya untuk berjaga-jaga.


Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan rencana impor beras sebesar 1 juta ton pada 2021, terbagi 500 ribu ton untuk Cadangan Beras Pemerintah (CBP) dan 500 ribu ton sesuai kebutuhan Bulog.

Stok beras, kata Airlangga, perlu dijaga karena pemerintah perlu melakukan pengadaan beras besar-besaran untuk pasokan beras bansos atau bantuan sosial selama masa pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM).

Alasan lain impor beras adalah karena adanya bencana di beberapa tempat menurutnya mengancam ketersediaan pasokan beras nasional.

Upaya lain untuk menjaga ketersediaan stok beras tersebut dilakukan melalui penyerapan gabah oleh Bulog dengan target setara beras 900 ribu ton pada saat panen raya Maret hingga Mei 2021 dan 500 ribu ton pada Juni hingga September 2021.

Beras impor yang disebut berasal dari Vietnam, dijual dengan harga Rp 9.000 per kilogram, lebih rendah dibandingkan dengan harga eceran tertinggi (HET) beras medium dan premium yang masing-masing dipatok Rp 9.450 dan Rp12.800 per kilogram untuk wilayah Jawa, Lampung, dan Sumatera Selatan.

Pada Februari 2021, harga gabah kering panen (GKP) di sentra produksi sudah mencapai Rp 3.995 per kilogram, turun dari Januari yang sebesar Rp 4.600 per kilogram dan bahkan diperkirakan akan turun lagi pada Maret-April karena adanya panen raya.



Berita terkait
Impor Garam, Penjelasan Menteri Trenggono dan Berbagai Penolakan
Menteri Trenggono menjelaskan impor garam untuk kebutuhan industri manufaktur 3,9 juta ton, aneka pangan 1,3 juta ton, dan lainnya 2,4 juta ton.
Bela Petani, DPP GAMKI Kritik Keras Wacana Impor Beras
DPP GAMKI kritik keras rencana impor beras yang digelontorkan pemerintah melalui Menko Perekonomian Airlangga Hartanto dan Mendag M Lutfi.
Impor Beras, Penjelasan Menteri Perdagangan dan Penolakan PDIP
Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi sudah menjelaskan alasan kenapa harus impor beras. PDIP partai pemerintah tidak setuju. Ini alasan PDIP.
0
Elon Musk Sebut Pabrik Mobil Baru Tesla Rugi Miliaran Dolar
Pabrik mobil baru Tesla di Texas dan Berlin alami "kerugian miliaran dolar" di saat dua pabrik kesulitan untuk meningkatkan jumlah produksi