Jaya Suprana: Tata Krama Ungkap Pendapat

Mengungkap pendapat mutlak wajib dikendalikan tata krama "ngono yo ngono, ning ojo ngono".
Jaya Suprana. (Foto: Ist)

Di tengah suasana politik mulai memanas kembali menjelang penyelenggaraan pemilihan kepala daerah pada tahun 2018 sebagai persiapan Pilpres 2019, berbagai isu temasuk yang sebenarnya tidak perlu digaduhkan kembali ternyata digaduhkan lagi.

Satu di antaranya adalah isu polemik nonton bareng pemutaran ulang film G-30-S/PKI yang meruncing menjadi adu pendapat bahkan adu keyakinan secara terbuka di media sosial yang memang lebih terbuka ketimbang media formal.

Meski terkesan mubazir, terbukti bahwa polemik film G-30-S/PKI memang berhasil menguras energi lahir batin mereka yang masing-masing gigih mengungkap serta mempertahankan pendapat masing-masing.

Sebenarnya, adalah wajar di alam demokrasi setiap warga Indonesia memiliki hak untuk berpendapat dan mengungkap pendapatnya, termasuk pendapat tentang film G-30-S versi Orde Baru.

Setiap warga berhak mengungkap pendapat positif maupun negatif terhadap film tersebut.

Setiap warga berhak percaya atau tidak percaya terhadap kisah yang dikisahkan oleh film G-30-S, termasuk kekejaman yang dilakukan terhadap para pahlawan nasional Indonesia oleh sesama warga Indonesia.

Tata Krama

Namun, di balik hak, ada kewajiban. Maka, mengungkap pendapat tidak layak diumbar begitu saja akibat wajib menghormati pagar-pagar tata krama sesuai falsafah etika Jawa: "ngono yo ngono, ning ojo ngono".

Mengungkap pendapat mutlak wajib dikendalikan tata krama "ngono yo ngono, ning ojo ngono", termasuk mengungkap pendapat tidak percaya atas kebenaran kisah kekejaman yang dilakukan terhadap para pahlawan nasional Indonesia oleh sesama warga Indonesia yang sebenarnya telah dibenarkan kebenarannya oleh kesaksian para anggota keluarga para pahlawan nasional Indonesia.

Dapat dibayangkan betapa pedih rasa kita apabila ada pihak yang tidak percaya bahwa anggota keluarga kita jatuh sebagai korban penganiayaan dan pembunuhan yang kita saksikan dengan mata kepala kita sendiri.

Apalagi, apabila ungkapan tidak percaya itu dinyatakan hanya atas pertimbangan keberpihakan politis oleh pihak yang sama sekali tidak menyaksikan kenyataan penganiayaan dan pembinasaan.

Saksi

Saya pribadi tidak menyaksikan peristiwa-peristiwa kebengisan yang dilakukan pada tanggal 30 September 1965 terhadap para pahlawan nasional. Namun, kebetulan saya bersahabat dengan Letjen TNI Agus Widjojo yang pada usia masih sangat muda terpaksa menyaksikan dengan mata kepala sendiri bagaimana ayah beliau, Mayjen Sutoyo, diculik oleh para pembunuh 30 September 1965.

Kebetulan saya juga mengenal para anggota keluarga besar almarhum Jenderal Besar TNI Dr Abdul Haris Nasution yang pada tanggal 30 September 1965 kehilangan putri bungsu Pak Nas, Ade Irma Suryani, yang pada usia masih 5 tahun ikut jatuh sebagai korban keganasan kaum pembunuh G-30-S.

Saya juga bersahabat dengan Soebronto Laras, suami Herlia Emmi Yani, putri almarhum Jenderal Ahmad Yani yang menyaksikan ayahanda beliau diculik para jahanam pada tanggal 30 September 1965. Maka, saya pribadi memang percaya sepenuhnya bahwa para pahlawan nasional memang merupakan para korban pembinasaan keji pada tanggal 30 September 1965 seperti yang dikisahkan pada film G-30-S.

Tidak Lukai Perasaan

Andai kata saya tidak mengenal para anggota keluarga yang ditinggalkan para pahlawan nasional tersebut, saya juga tetap percaya kebenaran kisah pengorbanan para pahlawan nasional.

Bahkan, andai kata saya tidak percaya pun, saya memilih sikap untuk tidak mengungkap pendapat saya demi tidak melukai perasaan para anggota keluarga yang ditinggalkan oleh para pahlawan nasional.

Silakan hujat saya sebagai munafik atau apa pun. Namun, apa boleh buat saya memang senantiasa tidak sampai hati untuk melukai perasaan sesama manusia, apalagi para anggota keluarga pahlawan nasional bangsa, negara, dan rakyat Indonesia.

Lebih baik saya merelakan diri saya dihujat munafik ketimbang tega hati melukai perasaan sesama manusia, apalagi para anggota keluarga pahlawan nasional Indonesia yang seharusnya wajib saya hormati.

Mohon dimaafkan apabila keyakinan saya atas kemutlakan tata krama ungkap pendapat ternyata melukai perasaan sesama warga Indonesia yang beda keyakinan dengan diri saya.

Mohon dimaafkan bahwa beda keyakinan memang merupakan bagian hakiki alam demokrasi selaras dengan Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika sebagai jati diri peradaban bangsa, negara, dan rakyat Indonesia. (Jaya Suprana/Penulis adalah seniman dan budayawan, pembelajar Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika)

Berita terkait