Yogyakarta - Masyarakat yang tinggal di sepanjang pantai selatan Pulau Jawa tidak perlu panik berlebihan menyikapi isu potensi gempa megathrust dan tsunami setinggi 20 meter. Hal itu disampaikan geolog dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, Gayatri Indah Marliyani.
Ramai dibicarakan di media massa dan forum diskusi tentang potensi gempa besar berkekuatan 9,1 skala richter di selatan Jawa yang bisa memicu tsunami setinggi 20 meter. Ini setelah ada penelitian dari tim Institut Teknologi Bandung (ITB).
Gayatri menyatakan yang perlu digarisbawahi dari hasil-hasil studi itu adalah masih berupa skenario kejadian gempa dan tsunami. Sehingga masih berupa potensi bukan prediksi.
“Untuk menjadi prediksi, informasi yang disampaikan harus meliputi waktu, besaran magnitudo, dan lokasi kejadian. Potensi terjadinya tsunami memang ada di selatan Jawa, tapi kapan terjadinya kita belum tahu," ujarnya, Selasa, 29 September 2020.
Meski kajian penelitian mengungkap potensi tersebut namun Gayatri meminta masyarakat tidak anik. Sebab skenario yang disampaikan tidak serta merta memberikan informasi kejadian gempa dan tsunami di selatan Jawa akan terjadi besok atau lusa.
Jika berada jauh dari pantai (lebih dari 20 kilometer), atau berada pada daerah dengan ketinggian lebih dari 30 m dari permukaan laut, tidak perlu khawatir, tsunami tidak akan mencapai area tersebut.
Menurutnya, hingga saat ini masih belum ada teknologi yang terbukti bisa memprediksi dengan akurasi tinggi. Upaya penting yang bisa dilakukan masyarakat adalah mempersiapkan diri untuk menghadapi segala bencana yang mungkin terjadi, termasuk bencana gempa bumi dan tsunami.
Misal terjadi tsunami, setidaknya masyarakat harus mengetahui harus ke mana. Jika berada di tepi pantai, lantas merasakan gempa besar dan melihat air laut surut maka harus segera menjauh dan menuju tempat yang tinggi, seperti bukit atau gedung-gedung yang tinggi.
“Jika berada jauh dari pantai (lebih dari 20 kilometer), atau berada pada daerah dengan ketinggian lebih dari 30 m dari permukaan laut, tidak perlu khawatir, tsunami tidak akan mencapai area tersebut," katanya.
Gayatri mengakui, riset-riset terkait dengan prediksi gempa bumi mulai dikembangkan lebih serius dengan berbagai pendekatan. Di antaranya dengan analisis seismisitas, gangguan pada gelombang elektromagnetik, adanya anomali emisi gas Radon, serta perubahan muka air tanah.
Baca juga:
- Museum Tsunami Aceh Masuk Nominasi API 2020
- WRS NewGen, Alat Mutakhir Info Gempa dan Tsunami
- Keindahan Puncak Keutapang Aceh Jaya Setelah Tsunami
Berbagai parameter mulai dimonitor di lokasi-lokasi yang dicurigai aktif secara tektonik oleh peneliti untuk mengetahui adanya keterkaitan antara pola anomali dan kejadian gempa bumi.
Namun ada keterbatasan dalam menerapkan metode-metode ini, antara lain sensor harus berada dekat dengan sumber gempa bumi dan yang terpenting adalah melakukan validasi data secara global.
“Sampai saat ini penelitian mengenai prediksi gempa bumi dengan pendekatan-pendekatan ini masih belum menghasilkan prediksi yang secara konsisten memberikan korelasi yang positif. Untuk bisa dikatakan indikatif maka hasil pantauan harus secara statistik menunjukkan bahwa ada korelasi yang signifikan antara kejadian dan anomali," imbuh dia. []