Ini Prediksi Jumlah Kasus HIV pada Saat “Indonesia Emas” Tahun 2045

Jumlah kasus HIV pada saat “Indonesia Emas” di tahun 2045 bisa mencapai 1.827.285 jika tidak ada program penanggulangan
Ilustrasi (Sumber: sykepleien.no/Colourbox)

Oleh: Syaiful W. Harahap*

TAGAR.id - Jika dihitung-hitung jumlah kasus HIV pada saat “Indonesia Emas” di tahun 2045 bisa mencapai 1.827.285 jika tidak ada program pemerintah yang konkret untuk menanggulangi insiden infeksi HIV baru, terutama pasa laki-laki dewasa melalui hubungan seksual dengan pekerja seks komersial (PSK langsung) dan PSK tidak langsung serta penyebaran HIV/AIDS di masyarakat.

Dampak dari jumlah kasus HIV-positif yang besar itu adalah kebutuhan dana yang besar untuk membeli obat antiretroviral (ARV) karena Indonesia memberikan obat ARV secara gratis kepada pengidap HIV/AIDS. Selama ini ada dana bantuan dari Global Fund, tapi jika kelak tidak ada dana hibah maka biaya sepenuhnya ditanggung oleh APBN.

Selain itu sebagian besar kasus HIV-positif, terutama yang tidak menjalani pengobatan dengan ARV (ART) akan masuk ke tahap AIDS yang bisa menimbulkan penyakit pada pengidap HIV/AIDS. Ini juga memerlukan dana untuk dokter, obat dan perawatan.

Pertama, Indonesia memiliki jumlah infeksi HIV baru terbesar keempat per tahun di dunia, perkiraan Organisasi Kesehatan Dunia PBB (WHO) ada 73.000 kasus infeksi HIV baru per tahun. Angka ini hanya tertinggal dari China, India, dan Rusia (aidsmap.com, 4/9/2018).

Laporan “Website HIV PIMS Indonesia” menunjukkan jumlah kasus infeksi HIV baru di tahun 2023 mencapai 57.299. Ini tidak jauh dari prediksi WHO karena ada kasus HIV yang tidak terdeteksi. Sedangkan jumlah kasus HIV dari tahun 1987 – 2023 sebanyak 566.707.

Nah, kalau jumlah kasus tahun 2023 dipakai jadi acuan, maka di tahun 2045 ada 1.827.285 kasus HIV [1.260.578 (22 tahun x 57.299) + 566.707 (kasus HIV 1987-2023)].

Namun, perlu diingat bahwa kasus HIV ini tidak menggambarkan jumlah kasus HIV yang sebenarnya di masyarakat karena epidemi HIV/AIDS erat kaitannya dengan fenomena gunung es.

Kasus HIV/AIDS yang dilaporkan atau terdeteksi digambarkan sebagai puncak gunung es yang muncul ke atas permukaan air laut, sedangkan kasus HIV/AIDS yang tidak terdeteksi di masyarakat digambarkan sebagai bongkahan gunung es di bawah permukaan air laut (Lihat Gambar).

Fenomena Gn Es Epidemi HIVGambar: Fenomena Gunung Es pada epidemi HV/AIDS. (Foto: Dok Pribadi/AIDS Watch Indonesia/Syaiful W. Harahap)

Maka, kasus HIV yang ada di masyarakat tapi tidak terdeteksi jadi masalah besar karena pengidapnya jadi mata rantai penyebaran HIV tanpa mereka sadari. Soalnya, orang-orang yang tertular HIV tidak ototmatis menunjukkan gejala-gejala, tanda-tanda atau ciri-ciri yang khas AIDS pada fisik dan keluhan kesehatan. Tapi, tanpa gejala-gejala, tanda-tanda atau ciri-ciri pun seorang pengidap HIV bisa menularkan HIV ke orang lain terutama melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah.

Kedua, sejak pemerintah Indonesia mengakui ada epidemi HIV/AIDS di Indonesia pada tahun 1987, sedangkan epidemi global diakui dunia tahun 1981, sampai Januari 2025 sama sekali tidak ada program pemerintah, dalam hal ini Kementerian Kesehatan (Kemkes) dan jajarannya, yang konkret [KBBI: nyata; benar-benar ada (berwujud, dapat dilihat, diraba, dan sebagainya)] untuk menanggulangi HIV/AIDS.

“Angin sorga” yang merupakan PHP (pemberi harapan palsu) yang didengung-dengungkan adalah three zero HIV/AIDS tahun 2030, yaitu: nol kasus baru, nol kematian terkait AIDS serta nol stigma dan diskriminasi.

Terkait dengan nol kasus baru tidak ada langkah konkret sebagai program untuk mencapai nol kasus baru. Lagi pula secara empiris adalah hal yang hampir mustahil pemerintah bisa menghentikan penularan HIV/AIDS di masyarakat.

Yang bisa dilakukan dan sudah terbukti di beberapa negara adalah menurunkan, sekali lagi hanya menurunkan jumlah insiden kasus infeksi HIV baru, terutama pada laki-laki dewasa melalui hubungan seksual dengan pekerja seks komersial (PSK) langsung.

PSK sendiri dikenal ada dua tipe, yaitu:

(1). PSK langsung adalah PSK yang kasat mata yaitu PSK yang ada di lokasi atau lokalisasi pelacuran atau di jalanan.

(2). PSK tidak langsung adalah PSK yang tidak kasat mata yaitu PSK yang menyaru sebagai cewek pemijat, cewek kafe, cewek pub, cewek disko, anak sekolah, ayam kampus, cewek gratifikasi seks (sebagai imbalan untuk rekan bisnis atau pemegang kekuasaan), PSK high class, cewek prostitusi online, PSK online (Daring), dll.

Hanya saja hal itu bisa dilakukan jika praktek PSK dilokalisir di rumah bordil atau lokalisasi pelacuran sehingga bisa diintervensi yaitu memaksa laki-laki memakai kondom ketika melakukan hubungan seksual dengan PSK.

Pengelola rumah bordil dan lokalisasi pelacuran diberikan izin usaha. Jika ada PSK yang terdeteksi mengidap PIMS (penyakit infeksi menular seksual, seperti kencing nanah/GO, raja singa/sifilis, klamidia, virus hepatitis B dan lain-lain) atau HIV/AIDS atau keduanya sekaligus, maka pengelola diberikan teguran sampai pencabutan izin usaha.

Nah, peraturan daerah (Perda) yang jumlahnya puluhan di Indonesia yang mengekor ke ekor program AIDS Thailand justru terbalik yaitu menghukum PSK yang terdeteksi mengidap PIMS atau HIV/AIDS.

Cara itu sama sekali tidak ada gunanya karena 1 PSK masuk bui ratusan PSK antre menggantikan PSK yang masuk bui. Tapi, kalau pengelola yang kena sanksi hukum, maka mereka akan memaksa laki-laki memakai kondom ketika melakukan hubungan seksual dengan PSK di tempat usahanya.

Kasus baru di Thailand menunjukkan terjadi penurunan kasus dengan indikator penurunan jumlah kasus HIV/AIDS pada calon taruna militer.

Studi Kemenkes mencatat hingga akhir tahun 2012 ada 6,7 juta pria Indonesia yang menjadi pelanggan PSK, sehingga pria menjadi kelompok yang paling berisiko tinggi untuk menyebarkan HIV/AIDS (bali.antaranews.com, 9/4/2013). Yang bikin miris 4,9 juta di antara 6,7 pria itu mempunyai istri. Itu artinya ada 4,9 juta istri yang berisiko tertular HIV/AIDS dari suaminya.

Maka, yang bisa dilakukan bukan ‘non infeksi baru HIV,’ tapi menurunkan jumlah insiden infeksi HIV baru pada laki-laki dewasa yaitu dengan memaksa laki-laki memakai kondom setiap kali melakukan hubungan seksual dengan PSK.

Pesoalan besar di Indonesia adalah lokalisasi pelacuran sudah pindah ke media sosial yaitu dalam jaringan (Daring) yang mustahil untuk diintervensi (Lihat matriks).

Matriks Mata Rantai Kasus Infeksi HIV Baru di IndonesiaMatriks: Mata Rantai Kasus Infeksi HIV Baru di Indonesia (Dok/Syaiful W. Harahap/AIDS Watch Indonesia, I/MMXXV)

Pertambahan kasus HIV baru di masyarakat juga datang dari ulah suami-suami ibu hamil (Bumil) yang tidak menjalani tes HIV ketika istri mereka terdeteksi HIV-positif.

Suami-suami Bumil yang terdeteksi HIV-positif jadi mata rantai penyebaran HIV/AIDS di masyarakat, terutama melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah (Lihat matriks)

Matriks Penyebaran HIVAIDS di Masyarakat Jika Suami Bumil Tidak Jalani Tes HIMatriks: Penyebaran HIV/AIDS di Masyarakat Jika Suami Bumil Tidak Jalani Tes HIV (Dok/Syaiful W. Harahap/AIDS Watch Indonesia, I/MMXXV)

Jumlah Bumil yang terdeteksi HIV-positif dan positif sifilis tidak bisa dipandang dengan sebelah mata (Lihat tabel)

TABE  Ibu Hamil yang Tes HIV dan Sifilis serta yang Jalani ART dan Pengobatan SifilisTABEL: Ibu Hamil yang Tes HIV dan Sifilis serta yang Jalani ART dan Pengobatan Sifilis (Diolah: Syaiful W. HARAHAP - XII/MMXXIV)

Kondisi Bumil yang HIV-positif atau positif sifilis atau keduanya sekaligus berdampak buruk terhadap bayi yang mereka lahirkan, terutaman jika tidak ditangani secara medis.

Untuk itulah selain program yang konkret juga diperlukan informasi tentang cara-cara penularan dan pencegahan HIV/AIDS dalam komunikasi, informasi dan edukasi (KIE) dengan materi yang akurat berpijak pada fakta medis.

Celakanya, selama ini KIE hanya berisi mitos yaitu informasi HIV/AIDS yang dibumbui dan dibalut dengan norma, moral dan agama.

Disebut-sebut HIV/AIDS jadi masalah besar dalam aspek kesehatan masyarakat, tapi warga tetap tidak takut melakukan perilaku seksual atau nonseksual yang berisiko tinggi tertular HIV/AIDS.

Tampaknya, belakangan ini tidak sedikit warga yang tidak takut tertular HIV/AIDS karena selalu disebarluaskan informasi bahwa pemerintah menyediakan obat AIDS secara gratis seumur hidup.

Berita dan artikel tentang HIV/AIDS juga tidak secara utuh menggambarkan akibat langsung yang harus ditanggung seseorang jika tertular HIV terhadap masalah sosial, ekonomi dan kesehatan di ranah privat dan publik.

Tanpa program penanggulangan yang komprehensif, maka insiden infeksi HIV baru dan penyebaran HIV/AIDS terjadi bagaikan silent disaster (bencara terselubung) sebagai ‘bom waktu’ yang kelak bermuara pada ‘ledakan AIDS’ atau negeri ini jadi ‘afrika kedua’ dalam jumlah kasus HIV/AIDS. []

* Syaiful W. Harahap adalah Redaktur di Tagar.id juga penulis buku: (1) PERS meliput AIDS, Pustaka Sinar Harapan dan The Ford Foundation, Jakarta, 2000; (2) Kapan Anda Harus Tes HIV?, LSM InfoKespro, Jakarta, 2002; (3) AIDS dan Kita, Mengasah Nurani, Menumbuhkan Empati, tim editor, BPK Gunung Mulia, Jakarta, 2014; (4) Menggugat Peran Media dalam Penanggulangan HIV/AIDS di Indonesia, YPTD, Jakarta, 2022.

Berita terkait
HIV/AIDS Mengintai di Ibu Kota Baru
Data Kemensos menunjukkan lokalisasi pelacuran terbanyak di Indonesia ada di wilayah Kaltim, termasuk di Penajam Paser Utara dan Kutai Kartanegara