Oleh: Syaiful W. Harahap*
Catatan: Artikel ini pertama kali diyangkan di Tagar.id pada tanggal 4 September 2024. Redaksi.
TAGAR.id – Tampaknya, kita tidak belajar dari pengalaman ketika meteri komunikasi, informasi dan edukasi (KIE) terkait dengan epidemi HIV/AIDS yang dibalut dengan norma, moral dan agama akhirnya menyuburkan mitos (anggapan yang salah) sehingga menenggelamkan fakta medis tentang HIV/AIDS.
Indonesia sendiri baru mengakui ada HIV/AIDS di Indonesia setelah kematian turis Belanda, laki-laki gay, di RS Sanglah, Denpasar, Bali, pada tahun 1987.
Pada tahun 1988 seorang penduduk asli Indonesia juga meninggal di tempat yang sama dengan penyebab yang sama pula. Tapi, tidak ada riwayat pertemuan keduanya. Penduduk asli Indonesia itu tinggal di luar Pulau Bali dengan jarak ribuan kilometer.
Baca juga: Menelusuri Akar Kasus HIV/AIDS Pertama di Indonesia
Pernyataan banyak kalangan, terutama pemerintah, mulai dari penggiringan opini publik di awal epidemi (1981) bahkan sampai sekarang, seperti HIV/AIDS penyakit orang bule, penyakit gay, akibat zina, akibat ‘seks bebas’ dan seterusnya.
Padahal, secara empiris penularan HIV/AIDS melalui hubungan seksual bukan karena sifat hubungan seksual (zina, seks bebas dan seterusnya), tapi karen kondisi saat terjadi hubungan seksual (salah satu atau keduanya mengidap HIV/AIDS dan laki-laki tidak memakai kondom). Ini fakta!
1. Covid-19 Akhirnya Terdeteksi di Indonesia
Begitu juga ketika dunia digemparkan dengan pandemi virus corona, belakangan Organisasi Kesehatan Dunia PBB (WHO) menyebutnya dengan Covid-19 (Coronavirus Disease 2019), di akhir tahun 2019 Indonesia juga mati-matian mengatakan bahwa Covid-19 tidak ada di Indonesia. Bahkan dikatikan pula dengan agama sebagai penangkal Covid-19 di Indonesia.
Baca juga: Renungan 2 Tahun Pandemi Covid-19 di Indonesia
Padahal, beberapa negara di ASEAN sudah melaporkan kasus Covid-19. Indonesia sendiri jadi salah satu tujuan utama wisatawan dari China yang merupakan negara pertama yang mengidentifikasi Covid-19. Pakar dari luar negeri juga tida percaya kalau di Indonesia tidak ada kasus Covid-19 karena menurut pakar tersebut hal itu terjadi karena tidak ada survailans tes Covid-19. Kematian karena penyakit terkait Covid-19 yang pertama di Indonesia juga terjadi di Bali.
Benar saja 2 Maret 2020 pemerintah mengumumkan sudah ada kasus Covid-19 di Indonesia. Satu demi satu kasus terdeteksi yang akhirnya menempatkan Indonesia pada peringkat ke-20 dalam jumlah kasus Covid-19 secara global. Sampai 13/4/2024 jumlah kasus 6.829.221 dan 162.063 kematian. Kasus global 704.753.890 dengan 7.010.681 kematian (worldometers).
Sama seperti HIV/AIDS upaya memutus mata rantai penyebaran Covid-19 juga hanya bisa dilakukan oleh masyarakat melalui orang per orang.
Baca juga: Hanya Masyarakat yang Bisa Putus Mata Rantai Penularan Virus Corona
Tampaknya, pernyataan-pernyataan yang tidak akurat tentang penyakit merebak terus saja terjadi. Kini pada cacar monyet (Mpox), pernyataan Menteri Kesehatan (Menkes), Budi Gunadi Sadikin ini juga bisa mendorong mitos: Penularan cacar monyet ini katanya 95 persen disebabkan oleh kontak seksual dan umumnya terjadi di kelompok tertentu saja (Menkes: Kasus Cacar Monyet Varian 1B Belum Terdeteksi di Indonesia, VOA (28/8/2024).
Penyebutan ‘umumnya terjadi di kelompok tertentu saja’ merupakan pernyataan yang konotatif karena bisa menimbulkan penafsiran yang tidak objektif. Lagi pula kasus-kasus Mpox ditemukan di semua kelangan mulai dari anak-anak sampai dewasa laki-laki dan perempuan yang tidak hanya pada kalangan homoseksual.
2. Pernyataan yang Konotatif Menggiring Opini Negatif
Agaknya, ada penggringan global dengan nuansa moralitas seperti pada kasus HIV/AIDS. Kasus penurunan sistem kekebalan tubuh pertama terdeteksi pada kalangan laki-laki gay di San Fransisco, California, di pantai barat Amerika Serikat (AS) di tahun 1981. Padahal, pada waktu yang sama kasus penurunan sistem kekebalan tubuh juga terdeteksi pada kalangan pekerja seks komersial (PSK) di pantai timur AS. Tapi, media hanya mem-blow up kasus pada gay sehingga menggiring opini global bahwa AIDS penyakit gay.
Baca juga: Stigma Covid-19 Kita Tidak Belajar dari Pengalaman
Belakangan kasus-kasus Mpox (Monkeypox Virus) juga dikaitkan dengan penularan melalui kontak seksual pada homoseksualitas, tanpa memberikan gambaran yang utuh tentang kasus serupa pada kalangan heteroseksual.
Padalah, penularan Mpox bukan termasuk penyakit infeksi menular seksual (PIMS). Penularan Mpox melalui kontak seksual terjadi karena ada kontak badan, yaitu dari kulit seseorang yang mengandung lesi (luka pada permukaan kulit) akibat virus cacar monyet ke kulit orang lain dalam berbagai bentuk kegiatan.
Baca juga: Kematian Pertama Terkait AIDS dan Covid19 Terjadi di Bali, Bagaimana dengan Cacar Monyet?
Penularan Mpox bukan karena ada kontak hubungan seksual semata, yang selalu dikaitkan dengan homoseksualitas, terutama gay. Penularan Mpox bisa terjadi pada semua kalangan orientasi seksual sehingga bukan karena sifat hubungan seksual, tapi karena kondisi saat terjadi hubungan seksual yaitu salah satu mengidap Mpox dan terjadi pergesekan kulit yang mempunyai lesi akibat Mpox.
Mpox dapat menular melalui kontak fisik yang dekat dalam bentuk apa pun, seperti pelukan, ciuman, sentuhan, kontak melalui pembicaraan berhadap-hadapan yang lama karena bersin dan batuk. Begitu juga pada seks oral serta seks penetrasi melalui vagina atau anal dengan seseorang yang mengidap cacar monyet karena terjadi kontak fisik.
3. Ciri-ciri Mpox Tidak Otomatis Terkait dengan Infeksi Mpox
Maka, jangan seperti artikel dan berita HIV/AIDS yang menyamaratakan perilaku seksual semua orang di negeri ini dengan mengatakan: Jika ada gejala ini itu terkait AIDS, maka tes HIV! Artikel dan berita seperti itu hoaks jika tidak menyebut faktor penyebabnya yaitu pernah atau sering melakukan perilaku seksual dan nonseksual berisiko tertular HIV/AIDS.
Baca juga: Masih Saja Ada Artikel dan Berita tentang Ciri-ciri HIV/AIDS yang Menyesatkan
Maka, biarpun banyak gejala terkait AIDS, tapi kalau tidak pernah melakukan perilaku seksual dan nonseksual berisiko tertular HIV/AIDS, maka gejala-gejala tersebut tidak terkait dengan infeksi HIV/AIDS!
Begitu juga dengan lesi pada tubuh seseorang tidak terkait dengan Mpox jika kulit tidak pernah bersentuhan dalam berbagai kegiatan dengan seseorang yang mempunya lesi yang disebabkan virus cacar monyet. Ini penting disebarluaskan agar masyarakat tidak panik.
WHO sendiri telah menyatakan Mpox sebagai “darurat kesehatan masyarakat yang menjadi perhatian internasional” (public health emergency of international concern" (PHEIC). (weforum.org).
Baca juga: Siapkah Indonesia Menghadapi Epidemi dan Pandemi di Masa Depan?
Tampanya, kita memang tidak belajar dari pengalaman sehingga hal yang tidak diinginkan terus terulang. WHO sendiri mengatakan epidemi dan pandemi akan terus muncul, maka sudah saatnya Indonesia berpikir jernih dengan mengedepankan nalar berpijak pada fakta medis dalam menanggapi epidemi atau pandemi yang akan menyerang (lagi). []
* Syaiful W. Harahap adalah Redaktur di Tagar.id