Indonesia Bisa Menjadi Suriah? Ini Kata Istana

Suriah, dalam sekejap hancur. Perang saudara ditambah perang dengan ISIS membuat negara ini semakin hancur.
Beberapa orangtua menyelamatkan para bayinya setelah sebuah serangan udara yang melanda Distrik Aleppo di Suriah dalam perang saudara yang masih terus berlangsung. (Foto: News.sky.com)

Yogyakarta, (Tagar 25/3/2019) - Suriah, sebuah negara di Timur Tengah, dalam sekejap hancur. Perang saudara ditambah perang dengan ISIS membuat negara ini semakin hancur. Banyak kalangan tidak membayangkan Suriah begitu cepat berantakan seperti sekarang ini.

Suriah muncul dari dikotomi, yang kafir dan enggak kafir, Islami dan tidak

Banyak orang kemudian mencoba membayangkan Indonesia dengan Suriah. Tidak jarang dari mereka berpendapat, Indonesia bisa hancur seperti Suriah. Mungkinkah?

Staf Khusus Presiden Bidang Keagamaan Internasional Siti Ruhaini Dzuhayatin dalam diskusi terbatas di Yogyakarta, Senin (24/3), mengatakan suasana batin yang gundah terhadap konstestasi politik yang sekarang ini sedang berlangsung, wajar ada orang yang beranggapan atas potensi perpecahan di Indonesia. 

"Itu sangat mungkin terjadi jika semua pihak tidak bisa menjaga dan merawat keberagaaman dengan baik," kata dia.

Kehancuran Kota di SuriahSeoarng perempuan Kurdi bersama bayinya berjalan menelusuri Kota Kobane yang tinggal puing akibat perang saudara di Suriah. (foto: Newsweek)

Dia lalu menyontohkan tentang Suriah, salah satu negara anggota Organisasi Kerjasama Islam (OKI). Indonesia juga bergabung di dalamnya. "Saya selama aktif di OKI, sebelumnya anggota OKI tidak pernah membayangkan jika Suriah akan cepat menjadi negara yang hancur seperti sekarang ini akibat perpecahan," jelasnya.

Baca Juga: Foto: Relawan Aceh Say Goodbye Prabowo-Sandi, Dukung Jokowi-Amin

Apa alasannya? Suriah termasuk negara moderat. Termasuk negara yang tidak berkeinginan menjadi negara industri, masyarakatnya cenderung merasa cukup hidup dengan santai dari hasil bidang agraris.

"Suriah ini juga tidak melakukan invasi kemana pun selain membela Palestina. Namun karena perpecahan, Suriah habis dalam setahun," ujarnya.

Ruhaini tidak menyangkal, apa yang terjadi di Suriah bisa terjadi di Indonesia. Negara NKRI ini bisa pecah jika semua pihak tidak bisa merawat kebangsaan dan keberagaman. Embrio terhadap  potensi perpecahan itu sudah ada. Indonesia sangat bisa terjadi dengan konflik berbasis agama.

Selain itu, kata dia, Indonesia negara kepulauan dengan 714 suku. Kondisi ini jika tidak dirawat gampang pecah. Orang seringkali membicarakan politik dengan memunculkan primordialisme atau kedaerahan seperti sebutan putra daerah. 

Indonesia adalah surga bagi semua kelompok, termasuk kelompok trans-nasional yang mengarah pada radikalisme

"Saya yakin bisa (Indonesia seperti Suriah) karena potensinya sudah ada. Suriah muncul dari dikotomi, yang kafir dan enggak kafir, Islami dan tidak," katanya.

Dosen UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta ini mengungkapkan, di Indonesia sekarang sudah ada dikotomi ulama. "Ya, itu (dikotomi ulama) sudah mulai di Indonesia.  Eksklusivitas akan dibangun seperti itu, dipakai untuk dagang politik, (menuduh) kriminalisasi ulama,” tegasnya.

Ledakan SuriahLedakan terlihat di Quneitra, sisi Suriah pada perbatasan Suriah-Israel dilihat dari wilayah pendudukan Israel, Golan Heights, Israel, Minggu (22/7). (Foto: Ant/Reuters/Ronen Zvulun)

Apa lagi potensi perpecahan itu? Saat ini harus diakui, kelompok yang tidak moderat tumbuh dan berkembang di Indonesia. Mereka melakukan mobilisasi massa yang tidak tampak. Mereka menggunakan kecanggihan teknologi, seperti medsos. 

"Model ini berbeda dengan zaman dahulu. Revolusi bisa diketahui lebih awal karena ada mobilisasi massa yang terlihat, terjadi lebih dari satu titik," paparnya.

Selain itu, kata Ruhaini, Indonesia adalah surga bagi semua kelompok, termasuk kelompok trans-nasional yang mengarah pada radikalisme. Kelompok radikalisme dari negara lain, yang sudah tidak mendapatkan ruang di negara asalnya, berpindah ke Indonesia. 

"Kenapa pindah ke Indonesia, karena Indonesia negara demokratis," tegasnya.

Dengan kata lain, kelompok trans-nasional yang sudah tidak ditoleransi di negaranya,  bergerak ke negara demokratis seperti Indonesia. "Di negara demokratis seperti Indonesia ini, mereka punya ruang untuk berkembang," imbuhnya.

Untuk itu, kata dia, perlu mengantisipasi perpecahan itu, penting bagi negara menguatkan kembali khazanah yang sudah terbukti mampu memberikan konsep dasar tentang pemahaman perbedaan. Tujuannya agar masyarakat bisa saling memahami perbedaan dan karakter masing-masing tanpa ada yang mempersoalkan perbedaan.

Baca Juga: GP Ansor Serukan Gerakan "Rabu Putih" Pemilu 17 April 2019

Ruhaini mengungkapkan, dalam kondisi apa pun Indonesia memiliki kewajiban tetap menjaga. Secara keagamaan harus moderat dan stabil. Namun dalam pertemuan dengan banyak kalangan, kontestasi politik acap kali agama menjadi bahan. "Pemerintah (Kementerian Agama), ormas Islam perlu membicarakan hal substantif daripada ideologi semata. Itu cara agar kebangsaan dan keberagaman kita bisa terawat dengan baik,” jelasnya.

Sebagai bangsa Indonesia, masih ada kebanggaan. Setidaknya, dalam kondisi Indonesia seperti ini, banyak negara yang menaruh harapan besar terhadap Indonesia dalam penanganan manajemen perbedaan. 

"Indonesia masih menjadi representasi masyarakat muslim yang demokratis dibandingkan negara-negara Arab," papar dia.

Sampai saat ini, kata dia, masih banyak permintaan dialog bilateral dengan Indonesia dari sejumlah negara. Jumlahnya masih banyak, ada 45 negara  yang mengajukan ke Indonesia untuk membahas tentang bagaimana cara menyelesaikan persoalan perbedaan dalam agama agar tidak memunculkan perpecahan yang lebih luas. []


Berita terkait
0
Penduduk Asli Pertama Amerika Jadi Bendahara Negara AS
Niat Presiden Joe Biden untuk menunjuk Marilynn “Lynn” Malerba sebagai bendahara negara, yang pertama dalam sejarah Amerika Serikat (AS)