Imlek dari Era Kolonial Hingga Jadi Hari Libur Nasional

Sejarawan Bonnie Triyana mengulas tentang sejarah singkat perayaan Imlek di Indonesia.
Tina Toon, host Imlekan Bareng Banteng yang disiarkan lewat YouTube, Jumat, 12 Februari 2021. Salah satu pembicaranya adalah sejarwan Bonnie Triyana. (Foto: Tagar/Instagram)

Jakarta - Sejarawan Bonnie Triyana mengulas tentang sejarah singkat perayaan Imlek di Indonesia saat berbicara dalam acara Imlekan Bareng Banteng yang disiarkan live YouTube dan dipandu Tina Toon pada Jumat, 12 Februari 2021.

Bonnie membagi perayaan Imlek dalam enam waktu berbeda, yakni zaman Belanda, Jepang, Soekarno, Soeharto, Gus Dur, dan Megawati.

Bonnie menyebut, saat pemerintahan kolonial Belanda yang berkuasa ratusan tahun di Indonesia, ada terjadi kerusuhan rasial yang juga mengorbankan warga Tionghoa.

Hingga tahun 1911, perayaan Imlek itu tidak seleluasa saat sekarang. Meski dirayakan di Klenteng atau di rumah ada, tetapi tidak bebas.

Kemudian pada masa penjajahan Jepang, perayaan Imlek sempat dibolehkan, demikian juga pada masa Presiden Soekarno bisa dirayakan.

Namun pada masa Orde Baru, pemerintahan Presiden Soeharto melarang perayaan Imlek melalui Inpres Nomor 14 Tahun 1967 dan itu berlangsung selama hampir 30 tahun.

Hingga kemudian di era Presiden Abdurrahman Wahid atau Gus Dur melalui Keppres Nomor 6 Tahun 2000 larangan yang dibuat Soeharto tersebut dicabut.

Dan masa Presiden Megawati Soekarnoputri, pada tahun 2002 ditetapkan sebagai hari libur nasional.

"Sehingga tidak hanya dirayakan warga Tionghoa tetapi juga warga non-Tionghoa, sebagai sebuah satu kebersamaan, sebagai satu bangsa yang tidak lagi membeda-bedakan ras dan etnis," tutur Bonnie.

Peran Warga Tionghoa

Berbicara soal keberadaan warga Tionghoa di Indonesia, Bonnie merunut sejarah di mana sebetulnya Indonesia atau Nusantara yang dulu, adalah tempat pertemuan berbagai macam ras, dan etnis di mana orang bercampur baur.

Baca juga:

Menurut dia, dilihat dari teorinya manusia modern, homo sapiens itu sejak 150 ribu tahun lalu sudah menyebar. Kemudian 4.000 tahun lalu juga ada masuk ke Nusantara, sebagian dari Yunan, Taiwan dan bermukim di Kepulauan Nusantara.

"Jadi kalau ditest DNA, kita pasti punya sisi genetik dari Taiwan. Kalau ada pertanyaan kemudian apa Tionghoa itu punya peranan, jelas punya peranan," katanya.

Kalau masih ada yang rasial, itu masih berada pada kesadaran pra Indonesia atau pengaruh kolonialisme. Uda gak keren

Hanya saja, sambung Bonnie, pada masa kolonial, Hindia Belanda atau orang Indonesia yang ada sekarang dibagi dalam tiga bagian.

"Pertama orang kulit putih, Eropa. Kedua orang timur asing, Cina. Ketiga orang inlander. Dan ini sangat diskriminatif, politik rasial yang sangat diskriminatif," terangnya.

Sejarawan Bonnie TriyanaSejarawan Bonnie Triyana. (Foto: Tagar/YouTube)

Lalu pada tahun 1932 ada sebuah Partai Tionghoa Indonesia yang didirikan oleh Liem Koen Hian, seorang pria etnis Tionghoa tapi berwawasan nasionalis Indonesia dan dia berkawan dengan Soekarno dan tokoh-tokoh lainnya.

Selain itu, ada pula tokoh dalam masa perjuangan, yakni John Lie yang sudah menjadi pahlawan nasional. 

"Jadi sebetulnya tidak ada perbedaan. Mereka semua punya peran, punya posisi penting di dalam sejarah kita," tandasnya.

Bonnie lalu mengurai soal kesadaran keindonesiaan, yang dibagi dalam dua fase. Kesadaran pra-keindonesiaan itu sebelum awal abad ke-20.

Tonggak berikutnya adalah tahun 1928 saat Sumpah Pemuda, di mana orang menyatakan satu bahasa, satu tanah dan dan satu bangsa Indonesia.

"Waktu itu kan ada wakil-wakilnya dari Tionghoa, Ambon, Sumatra, mewakili daerahnya. Tapi kemudian berikrar menjadi satu bangsa. Jadi meninggalkan kesadaran pra-Indonesia, yang sebetulnya disekat-sekat secara sempit berdasarkan rasial, sehingga orang merasa kedaerahannya lebih kuat," ujarnya.

Dan tahun 1928 diperkuat lagi pidato Bung Karno tahun 1945 yang mengatakan bahwa Indonesia adalah negara oleh semua dan untuk semua.

Terciptalah kemudian nasionalisme modern yang tidak tersekat latar belakang agama, etnis atau ras.

"Jadi kita bangsa yang setara. Selama orang punya cita-cita hidup sebagai sebuah bangsa Indonesia, kedudukannya setara di depan hukum," tukas Bonnie. 

Menurut Bonnie, jika saat ini masih ada yang bersikap rasis, bisa kategorikan orang yang masih berada pada kesadaran pra-Indonesia atau pengaruh kolonialisme. "Uda gak keren," tandas Bonnie.[]

Berita terkait
Rayakan Imlek 2021, Presiden Korsel Video Call Aktor Drakor
Presiden Korea Selatan, Moon Jae In, melanjutkan tradisi perayaan Imlek dengan menghubungi warganya melalui sambungan video call.
Imlek Dirayakan Sederhana, Wakot Semarang Ucap Terima Kasih
Perayaan Tahun Baru Imlek diadakan sederhana, Hendrar Prihadi ucapkan rasa terima kasihnya dan apresiasinya kepada masyarakat.
Empat Makanan Wajib Sajian Tahun Baru Imlek
Merayakan Tahun Baru Imlek rasanya tidak lengkap jika beberapa makanan ini tidak disajikan di rumah. Berikut sajian makanan khas Imlek.
0
Surya Paloh Sebut Nasdem Tidak Membajak Ganjar Pranowo
Bagi Nasdem, calon pemimpin tak harus dari internal partai. Ganjar Pranowo kader PDIP itu baik, harus didukung. Tidak ada membajak. Surya Paloh.