Untuk Indonesia

Ijtimak Para Ulama Politik

Denny Siregar: 'Ijtimak para ulama politik ini alarm bagi rakyat Indonesia. Situasi akan semakin berbahaya manakala mereka berkuasa.'
Ketua Gerakan Nasional Pengawal Fatwa Ulama (GNPF-U) Yusuf Muhammad Martak (tengah) bersama bakal calon presiden Prabowo Subianto (kanan) didampingi Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Fadli Zon (kiri) menunjukkan naskah pakta intregitas yang telah ditandatangani dalam acara Ijtimak Ulama II dan Tokoh Nasional di Jakarta, Minggu (16/9/2018). Ijtimak Ulama II yang digelar GNPF-U menyepakati dukungan kepada pasangan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno pada Pilpres 2019. (Foto: Antara/Nando)

Oleh: Denny Siregar*

Entah apa yang diinginkan pihak oposisi dengan konsep ijtimak ulama itu.

Ijtimak ulama kedua yang baru saja diselenggarakan itu akhirnya memilih Prabowo-Sandi sebagai Capres dan Cawapres.

Mungkin baru kali ini yang namanya ulama berijtimak atau bertemu dengan menghasilkan keputusan (atau ijma) berdasarkan politik praktis, memilih siapa Presiden dan wakilnya.

Biasanya ijtimak ulama digunakan untuk hal-hal yang bersifat untuk kemaslahatan umatnya.

Seperti contohnya NU mengadakan pertemuan (ijtimak) untuk menentukan kapan Ramadhan dimulai. Ini berkaitan dengan kebutuhan umat akan penentuan kapan memulai puasa. Ada nilai kebutuhan di situ yang diselesaikan dengan pertemuan para ulama yang menghasilkan keputusan (fatwa) demi kepentingan bersama.

Dan ulama yang mengadakan pertemuan tentu bukan sembarang ulama. Seperti contoh pemerintah mengumpulkan 65 ulama ahli falak (astronomi) untuk menentukan hari pertama bulan suci Ramadhan. Catat ya, ulama ahli falak. Jadi mereka sudah diidentifikasi sebagai orang yang ahli dalam bidang astronomi.

Nah, ijtimak ulama yang diselenggarakan untuk memilih Prabowo-Sandi itu ahli apa ya? Ulama ahli politik? Memang ada ya ulama yang ahli politik di negeri ini?

Permasalahan di Indonesia sekarang ini adalah ada sekelompok orang yang dengan entengnya mengatas-namakan Islam, mencatut gelar ustaz dan mengambil brand ulama untuk kepentingan mereka sendiri. Mereka sendiri tidak jelas berasal dari kelompok mana, hanya kumpulan orang-orang yang menggelari diri mereka sendiri sebagai ulama.

Mereka rapat-rapat sendiri, ambil-ambil keputusan sendiri, umum-umumkan sendiri, dengan tidak lupa membawa nama Tuhan sebagai pemanis bibir. Sungguh mengibakan.

Ini sebenarnya alarm bagi rakyat Indonesia. Situasi akan semakin berbahaya manakala mereka kelak berkuasa atas negeri ini.

Mereka dengan mudahnya akan mengatasnamakan agama, ulama dan Tuhan demi kepentingan kelompok yang mereka bela. Dan ini akan mengakibatkan perpecahan di seluruh negeri, dimana keputusan mereka yang mengatasnamakan ulama ini didasarkan pada kepentingan pribadi, dengan membawa-bawa umat mayoritas.

"Ulama-ulama" politik inilah yang akan merusak tatanan berdemokrasi, dimana nanti keputusan politik akan terus didasari hasil pertimbangan ulama. Sekali mereka berhasil, maka mereka akan kecanduan untuk melakukan hal yang sama. Mereka akan menguasai ruang-ruang keputusan pemerintahan dan berasumsi bahwa ini adalah kehendak umat agama mayoritas.

Kasihan sebenarnya ulama beneran yang sungguh-sungguh berbuat untuk umatnya. Mereka terfitnah dengan model-model ulama politik seperti ini, yang nafsu berkuasanya masih sangat kental dan cenderung menghalalkan segala cara untuk kepentingan dunianya.

Semoga kita semua dihindarkan dari ulama-ulama jenis ini dan ditemukan dengan ulama-ulama benar dalam perjalanan kita di dunia.

Seruput dulu kopinya, kawan....

* Artikel ini disajikan oleh Denny Siregar penulis buku Tuhan dalam Secangkir Kopi

Berita terkait
0
Sejarah Ulang Tahun Jakarta yang Diperingati Setiap 22 Juni
Dalam sejarah Hari Ulang Tahun Jakarta 2022 jatuh pada Rabu, 22 Juni 2022. Tahun ini, Jakarta berusia 495 tahun. Simak sejarah singkatnya.