How Democracies Die, Presiden Pembunuh Demokrasi atau Anies?

How Democracies Die yang dibaca Gubernur Anies Baswedan mengungkap demokrasi mati secara perlahan di tangan pejabat terpilih atau bahkan presiden.
Demokrasi bisa mati secara perlahan di tangan pejabat terpilih atau bahkan presiden, tertulis dalam Buku How Democracies Die. Ilustrasi Pemilu di Amerika Serikat. (Foto: Tagar/AP/Reuters)

Jakarta - Buku How Democracies Die yang dibaca Anies Baswedan menceritakan bagaimana sistem demokrasi di Amerika Serikat dan sejumlah negara. Kata penulisnya, demokrasi mati secara perlahan di tangan pejabat terpilih atau bahkan presiden. 

Dikarang oleh profesor Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt, buku ini diperkenalkan tahun 2018. Di Universitas Harvard, kedua penulis dikenal sebagai profesor ilmu pemerintahan. 

Selama bertahun-tahun keduanya meneliti terkait demokrasi, apa yang membuat demokrasi menjadi sehat dan kuat serta apa yang dapat menghancurkan demokrasi di suatu negara. 

How Democracies Die menjelaskan bagaimana demokrasi mati secara perlahan di tangan pejabat terpilih atau presiden. Bagi Levitsky dan Ziblatt, kemunduran demokrasi hari ini dimulai dari kotak suara alias sebuah pemilihan umum.

Menurut buku ini, matinya sebuah demokrasi suatu negara dapat diukur dari empat indikator utama. Yaitu adanya penolakan atau komitmen yang lemah terhadap aturan main demokrasi, penolakan legitimasi lawan politik, toleransi atau dorongan aksi kekerasan, serta pembatasan pada kebebasan sipil. 

Diberitakan Tirto, selain melalui kotak suara, dalam buku How Democracies Die, terdapat satu bab yang membahas tentang "Fateful Alliances." Levitsky dan Ziblatt menulis dalam bukunya bahwa terdapat cara lain yang digunakan untuk berkuasa, selain melalui pemilu yakni bersekutu dengan politikus mapan. 

Dalam buku How Democracies Die, keduanya memperingatkan bahwa demokrasi di Amerika Serikat dalam "masalah". Selain itu, politikus di Amerika juga membuang norma lama yang telah menjaga keseimbangan politik Amerika dan mencegah jenis konflik yang dapat mengarah pada situasi negara yang represif. 

Dalam wawancara khusus dengan Dave Daview dari NPR, Steven Levitsky mengatakan demokrasi telah mati sejak 30 tahun yang lalu usai Perang Dingin. 

"Pemerintah terpilih menggunakan lembaga demokrasi untuk melemahkan dan menghancurkan demokrasi. Kami berharap lembaga demokrasi Amerika akan selamat dalam proses ini," kata Levitsky.

Penggunaan kekuasaan dan lembaga demokrasi untuk menghancurkan demokrasi bukanlah produk satu atau dua hari, tetapi bertahun-tahun dan dilakukan secara bertahap. 

"Itulah salah satu hal yang membuatnya sangat sulit, baik untuk pelajari maupun sebagai warga negara untuk mengenali apa yang terjadi," kata Daniel Ziblatt. 

Ia mengatakan otoritas pemilu berkuasa secara demokratis. Mereka seringkali memiliki legitimasi demokratis sebagai hasil dari pemilihan. Ada semacam pemotongan bertahap di lembaga-lembaga demokrasi, semacam memiringkan "lapangan bermain" untuk keuntungan petahana, sehingga menjadi semakin sulit untuk menyingkirkan petahana melalui cara-cara demokratis. 

"Di akhir proses yang mungkin butuh waktu bertahun-tahun, mungkin butuh satu dekade.... Di akhir proses itu, petahana memiliki kekuasaan yang kuat," kata Ziblatt.

Buku Levitsky dan Ziblatt yang diterbitkan di awal Januari 2018 ini melihat bagaimana institusi Demokrasi dapat dirongrong oleh tokoh otoriter. Dan itu menimbulkan pertanyaan apakah Presiden Trump adalah ancaman bagi demokrasi Amerika? 

Amerika Serikat dikenal memiliki konstitusi yang dihormati secara luas. Ada seperangkat aturan yang harus dipatuhi, tetapi Levitsky dan Ziblatt menegaskan bahwa seperangkat aturan saja tidak cukup untuk memastikan bahwa institusi demokrasi menjadi kuat. 

"Aturan itu sendiri, terutama dalam Konstitusi yang sangat sederhana dan pendek seperti yang berlaku di Amerika Serikat, tidak akan pernah bisa - tidak pernah bisa sepenuhnya memandu perilaku. Jadi perilaku kita perlu dipandu oleh aturan informal, oleh norma," kata Levitsky.

"Dan kami fokus pada dua di antaranya secara khusus - apa yang kami sebut saling toleransi, yang benar-benar fundamental dalam demokrasi mana pun," tambahnya. 

"Mereka memberi contoh sederhana yakni menerima kekalahan saat pemilu. Bahwa meski Anda tidak sepakat atau setuju dalam beberapa hal, Anda harus tetap mengakui bahwa dialah pemenang pemilu. Pada akhirnya, mengakui secara terbuka, mengatakan kepada pengikutnya bahwa pihak lain sama-sama patriotik, dan dapat memerintah secara sah," sambung Levitsky. 

Selain toleransi, Steve mengatakan unsur penting yakni kesabaran. Meski hal ini sedikit berlawanan dengan intuisi, katanya, tetapi kesabaran itu penting. 

"Presiden bisa mengemas Mahkamah Agung. Jika presiden memiliki mayoritas di Kongres dan presiden tidak menyukai susunan Mahkamah Agung, dia dapat mengesahkan undang-undang yang memperluas pengadilan menjadi 11 atau 13 dan diisi dengan sekutunya," kata Levitsky. 

Jika Kongres menghalangi agenda Presiden, dia dapat menggunakan serangkaian perintah eksekutif untuk melemahkan keputusan Kongres. "Apa yang diperlukan agar lembaga-lembaga tersebut berfungsi dengan baik adalah menahan diri. Ini tidak tertulis dalam Konstitusi," kata Levitsky.[]

Berita terkait
Ketua KPK Diledek, How Democracies Die Dibaca Anies Baswedan
Ketua KPK Firli Bahuri menjadi objek ledekan warganet karena mengomentari buku How Democracies Die yang dibaca Gubernur DKI Anies Baswedan.
Anies Baca How Democracies Die, Gerindra: Mungkin Santai
Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan menggunggah foto dirinya membaca buku How Democracies Die. Kata politisi Gerindra itu santai di hari Minggu.
Firli Bahuri Singgung Anies Baswedan Baru Baca How Democracies Die
Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Firli Bahuri menyinggung unggahan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan baca buku How Democracies Die.