Oleh: Syaiful W. Harahap*
Catatan: Artikel ini pertama kali ditayangkan di Tagar.id pada tanggal 26 November 2022. Redaksi.
TAGAR.id – Sampai hari keenam, Sabtu, 26 November 2022, setelah gempa bumi di Kabupaen Cianjur, Jawa Barat (Jabar), liputan wartawan media massa dan media online, bahkan media sosial, tidak ada yang menampilkan nasib hewan piaraan dan ternak.
Padahal, tidak sedikit warga yang memelihara hewan piaraan, seperti kucing, anjing dan burung. Tidak jelas nasib hewan piaraan dan juga ternak, seperti ayam, itik, bebek, kambing dan sapi yang terdampak gempa bumi Cianjur dengan kekuatan 5,6 Skala Richter yang memorakporandakan bangunan di puluhan desa yang ada di 15 kecamatan.
Di beberapa negara jika ada bencana alam ada institusi atau pribadi-pribadi yang memilih menyelamatkan hewan piaraan dan ternak karena mereka tidak bisa menyelamatkan diri sendiri.
Dengan kondisi cuaca yang sering turun hujan di Cianjur tentulah malapetaka bagi kucing karena mereka tidak kuat menghadapi air. Kondisi kucing akan kian parah karena mereka tidak mendapatkan makanan.
Kucing-kucing piaraan tidak bisa mencari makan di alam terbuka karena sudah terbiasa diberikan makanan rumahan. Itu artinya kucing warga yang terdampak gempa akan menghadapi masalah di alam bebas terkait dengan makanan dan keselamatan karena bisa saja kucing-kucing itu jadi mangsa predator alami, seperti ular dan elang.
Yang jadi pikiran adalah ternak. Ayam, itik dan bebek akan berpencar dan bisa jadi santapan pemangsa alami, seperti musang dan elang.
Secara umum hampir setiap rumah memelihara ayam walau satu atau dua ekor.
Sama seperti kucing dan burung piaraan laporan media pun tidak menyentuh nasib hewan piaraan dan ternak.
Liputan visual media juga tidak menampilkan nasib ternak, seperti kambing, domba, sapi dan kuda yang terdampak gempa Cianjur.
Jika ternak di kandang tentulah hewan itu terhimpit bangunan karena kandangnya juga ambruk diguncang gempa seperti rumah pemiliknya.
Pemilik hewan piaraan dan ternak tentu saja lebih mementingkan keselamatan diri dan keluarga mereka. Ini hal yang alamiah.
Maka, tidak mengherankan kalau di beberapa negara ada relawan yang memilih menyelamatkan hewan piaraan dan ternak karena sudah banyak relawan untuk penyelamatan warga.
Di California, Amerika Serikat (AS), misalnya ada warga yang menyediakan shelter untuk hewan piaraan yang dititipkan pemiliknya atau yang ditemukan oleh relawan mereka.
Ketika banjir melanda Kalimantan Selatan pada Januari 2021 juga ada sekelompok anak muda pencinta kucing yang menyelamatkan hewan piaraan itu dari kepungan banjir.
Tim Bencana Hewan California Tengah (CCADT), sebuah organisasi nirlaba yang melindungi hewan dari tujuh kabupaten di California tengah selama keadaan darurat dan kemudian menyatukannya kembali dengan pemiliknya.
Sebuah organisasi nirlaba di California yang didirikan oleh Naomi Flam pada tahun 2005, Central California Animal Disaster Team (CCADT), bermula dari pikirannya terhadap hewan piaraan terdampak badai di komunitasnya.
Seperti diketahui hewan tidak diperbolehkan di sebagian besar tempat penampungan darurat dan kendaraan evakuasi, sehingga banyak hewan peliharaan harus ditinggalkan saat pemiliknya pergi ke tempat yang aman untuk mengungsi dari bencana.
Memang, di Indonesia tidak jelas apakah ada aturan yang melarang warga membawa hewan piaraan ke tempat pengungsian.
Terlepas dari boleh atau tidak dengan kondisi seperti dampak gempa bumi Cianjur tentulah warga memilih keselamatan jiwa keluarga daripada hewan piaraan atau ternak.
Maka, dalam kondisi seperti itulah kehadiran relawan untuk menampung hewan piaraan dan ternak jadi penting karena ternak merupakan aset warga yang mengungsi.
Sedangkan hewan piaraan ada yang merupakan bagian dari kehidupan sehari-hari warga dengan berbagai alasan sehingga hewan itu layak diselamatkan.
Namun, apakah saya yang kurang awas mengikuti media sehingga tidak melihat liputan terkait dengan hewan piaraan dan ternak? (womansday.com, thedailybeast.com, sierraclub.org dan sumber-sumber lain). []
* Syaiful W. Harahap, Redaktur di Tagar.id