Untuk Indonesia

Hendra Hendarin: Ide Khilafah di Indonesia Bias, Rancu

Sistem kekhalifahan yang ditulis dengan tinta emas sejarah adalah yang didirikan oleh Kerajaan Ottoman, Turki. Tulisan opini Hendra Hendarin.
Ilustrasi - Ide Negara Khilafah bertentangan dengan prinsip-prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia. (Foto: Majalah Ayah)

Oleh: Hendra Hendarin*

Sistem kekhalifahan yang ditulis dengan tinta emas sejarah adalah yang didirikan oleh Kerajaan Ottoman, Turki. Namun pada akhirnya mereka menyerah untuk mengadopsi kekhalifahan dalam sistem pemerintahannya.

Sistem pemerintahan kekhalifahan dimulai sejak dahulu setelah Nabi Muhammad meninggal. Yang berhak menjadi khalifah adalah pewaris kekuasaan Nabi, meski tentang siapa yang paling berhak mewarisi, di kalangan muslim sendiri terdapat perbedaan pendapat.

Sehingga jika sistem kekhalifan ini terjadi di Indonesia, bukan kecil kemungkinan akan menimbulkan konflik baru di antara umat Islam yang dipicu oleh perbedaan pendapat berhak tidaknya seseorang menjadi khalifah. Sejarah mencatat sejak dahulu kala bahwa banyak konflik dan perang dalam isu validitas kekhalifahan ini.

Jadi misal khilafah berdiri apakah persoalan di antara muslim yang menghendaki sistem ini lalu selesai? Sangat belum. Selain potensi konflik dari penentang kekhalifahan, juga akan timbul resistensi dari pendukung kekhalifahan namun berbeda prinsip. Negara kita akan hancur-lebur oleh konflik yang tak akan usai sebelum jadi puing, debu, arang dan darah.

Kekhalifahan yang saat ini banyak diwacanakan oleh beberapa kelompok di Indonesia, seperti misalnya Hizbut Tahrir, berkiblat pada paham Wahabi yang sebenarnya tak pernah populer dalam pergerakan kekhalifahan.

Sistem kekhalifahan di dunia yang paling sukses adalah pada masa Ottoman dari Turki. Nusantara adalah salah satu yang mengadopsi sistem ini melalui beberapa kerajaan atau kesultanannya, meski mereka tidak memilih untuk melakukan ekspansi wilayah seperti banyak yang dilakukan kekhalifahan lain.

Namun demikian Islam saat ini di Tanah Air lebih banyak dipengaruhi oleh Islam yang disebarkan oleh ekspansi perdagangan Mongol lewat Wali Songo yang diprakarsai oleh datangnya panglima Cheng Ho, meski sebelum itu Islam sudah ada di Nusantara via pedagang dari India.

Dengan demikian, kekhalifahan yang saat ini secara signifikan mempengaruhi wajah Islam di Nusantara saat ini, yakni kekhalifahan yang berinduk pada Turki, tak pernah secara praktis melaksanakan sistem pemerintahan kekhalifahan. Contohnya adalah keraton Jogja, meski Jogja secara otorisasi menginduk pada kekhalifahan Turki, namun di dalam wilayah NKRI Jogja tak pernah pergerakan atau menyebarkan paham kekhalifahan (dalam definisi umum sekarang ini).

Karakter umum Islam di Tanah Air lebih pada warna yang dibawa oleh Mongol dalam tataran Syariah, dan Turki untuk Islam yang lebih sufisme. Mongol dan Turki sendiri memiliki akar pendekatan keislaman yang serumpun.

Sedangkan kekhalifahan yang saat ini banyak diwacanakan oleh beberapa kelompok di Indonesia, seperti misalnya Hizbut Tahrir, berkiblat pada paham Wahabi yang sebenarnya tak pernah populer dalam pergerakan kekhalifahan.

Wahabi sendiri bukan paham yang mendapatkan tinta emas dalam sejarah perkembangan Islam di dunia seperti misal Ottoman.

Jadi wacana pembentukan kekhalifahan di Indonesia saat ini berkiblat pada paham Wahabi yang tak pernah tercatat sebagai pelaksana negara kekhalifahan.

"... Turki sudah menjadi negara besar sejak sebelum mengadopsi Islam. Setelah mengadopsi Islam, juga ternyata tak berdampak dalam mewujudkan cita-cita mempersatukan Arab, Mesir dan Turki, malah jadi merenggangkan rasa nasionalisme masyarakat Turki, karena rupanya kekhalifahan Islam hanya cocok untuk mempersatukan bangsa Arab saja...."

~ Mustafa Kemal, Pemimpin Turki, 1918

Turki setelah itu memutuskan untuk menjadi negara liberal, meski mayoritasnya beragama Islam, namun tak melibatkan sistem keyakinan ini dalam sistem kenegaraan. 

*Penulis adalah Pemerhati Kebudayaan dan Sejarah Nusantara

Baca juga:

Berita terkait
0
Ini Alasan Mengapa Pemekaran Provinsi Papua Harus Dilakukan
Mantan Kapolri ini menyebut pemekaran wilayah sebenarnya bukan hal baru di Indonesia.