Ganteng-ganteng Pakai Rompi Oranye, Kok Kian Banyak Pejabat Negara Tertangkap?

Selain gubernur muda ganteng Zumi Zola ini, KPK sudah 'merompikan oranye' terlalu banyak bupati dan wali kota.
Gubernur Jambi Zumi Zola ditahan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Senin (9/4/2018). (Foto: Istimewa)

Jakarta, (Tagar 10/4/2018) - Setelah selama berbulan-bulan mengajak masyarakat untuk berteka-teki, akhirnya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Senin (9/4/2018) menahan Gubernur Jambi Zumi Zola karena disangka menyuap segelintir anggota DPRD provinsi.

Walaupun telah mengira bakal ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK, Zumi sebelumnya pernah membantah telah memerintahkan beberapa anak buahnya untuk memberi 'upeti' kepada para wakil rakyat yang 'terhormat' itu.

Sementara itu, di lain pihak Sang Gubernur yang masih muda ini disangkakan KPK telah menerima uang sekitar Rp 6 miliar dari pengusaha yang ingin ikut 'menikmati' uang pembangunan proyek di sana.

Gara-gara keputusan Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo untuk menonaktifkan Zumi maka Wakil Gubernur Jambi Fachrori Umar mendapat berkah karena telah ditunjuk sebagai Pelaksana Tugas Gubernur Jambi.

Selama beberapa tahun terakhir ini, sedikitnya sudah ada dua gubernur lainnya yang dibekuk KPK gara-gara soal gratifikasi yakni mantan gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah serta mantan Gubernur Sumatera Utara Gatot Pudjo Nugroho.

Selain ketiga gubernur tersebut, maka lembaga antirasuah ini sudah 'merompikan oranye' lebih banyak bupati dan wali kota. Rompi oranye adalah rompi yang wajib atau kudu dipakai semua tahanan KPK.

Selain Atut, Gatot dan Zumi, maka masyarakat di Tanah Air juga pasti tidak bisa melupakan tiga pejabat tinggi di Jakarta yang tidak bisa terhindar dari seragam oranye yakni mantan Menteri Agama Surya Dharma Ali, mantan Ketua Dewan Perwakilan Daerah Irman Gusman, serta mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar.

Kok kian banyak pejabat negara tertangkap? Pertanyaan semacam ini wajar muncul pada benak rakyat karena orang awam pasti mempunyai pikiran bahwa ketua lembaga negara, menteri, gubernur, bupati dan walikota menikmati gaji, honor, berbagai tunjangan serta fasilitas rumah dinas dan mobil dinas yang nilainya pasti 'wah wah'.

Kalau mereka mendapat karunia yang sangat besar maka kenapa mesti 'makan uang rakyat' yang pasti jumlahnya ratusan juta bahkan miliaran rupiah? Seperti halnya para wakil rakyat di DPR RI, di provinsi, kabupaten serta kota maka para pejabat ini sebelumnya tentu harus bekerja keras supaya mereka bisa terpilih jadi ketua lembaga negara, menteri dan berbagai posisi yang strategis itu.

Tapi para koruptor ini juga amat sadar bahwa mereka tidak bisa atau sulit melepaskan diri dari ungkapan 'tidak ada makan siang yang gratis'.

Artinya setelah terpilih sebagai pejabat negara, maka tentu saja mereka harus membalas budi kepada orang, partai politik, pengusaha-pengusaha yang dahulu memberikan dukungan baik politis maupun ekonomis.

Setiap calon pejabat tentu harus dikenal oleh orang-orang atasan di Jakarta, ibu kota provinsi, hingga pusat di kota serta kabupaten. Perkenalan ini amat diperlukan agar mereka dikenal sebagai orang yang pantas untuk diperhitungkan sebagai orang yang pintar, menguasai manajemen , serta berbagai 'kehebatan' lain-lainnya.

Jika terpilih menjadi pejabat negara, tentu mereka tidak boleh melupakan para pendukung atau penyokongnya itu sehingga harus diberikan imbalan yang ujung-ujungnya harus dibeli dengan uang rakyat yang dikuasainya.

Akan tetapi yang pasti tidak mungkin tak mereka pikirkan adalah karena masa jabatannya paling-paling lima tahun dan bisa saja diperpanjang lima tahun lagi hingga maksimal jumlahnya 10 tahun maka bagaimana caranya akan bisa mengambil 'keuntungan ala kadarnya'.

Gaji Zumi Zola, atau Gatot Pudjo Nugroho serta Ratu Atut ditambah berbagai tunjangan lainnya paling-paling di bawah Rp100 juta tiap bulannya yang harus dipotong biaya kehidupan sehari-hari bagi istri, suami serta anaknya sehingga sisa gaji tinggal sedikit lagi.

Karena itu, pikiran para pejabat negara ini adalah bagaimana memanfaatkan masa dinasnya lima atau 10 tahun itu untuk mencari 'tambahan'.

Pilkada Pada tahun 2018 akan berlangsung Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) di 171 daerah yang terdiri atas 17 provinsi, 39 kota serta 115 kabupaten. Di antara calon-calon kepala daerah tersebut, sudah ada beberapa di antaranya yang ditangkap atau halusnya ditahan KPK sbagai tersangka.

Karena itu, menjelang pencoblosan di ribuan atau bahkan belasan ribu tempat pemungutan suara alias TPS, maka semua partai politik tanpa kecuali harus mampu menjelaskan secara meluas kepada rakyat bahwa calon-calon kepala daerah itu adalah tokoh atau orang 'biasa-biasa' saja yang bisa dipercaya oleh calon pemilih.

Orang biasa itu adalah warga masyarakat yang selama ini bukan menjadi tokoh terkenal di daerah pemilihan, tapi cuma pedagang atau bahkan ada tukang ojek.

Penjelasan tentang bersihnya calon-caon pemimpin itu harus diberikan minimal karena APBD tingkat provinsi, kota serta kabupaten tiap tahunnya semakin banyak mulai dari ratusan miliar hingga triliunan rupiah.

Semakin besarnya dana APBD itu bisa saja membuat para pejabat negara menjadi gelap mata sehingga mencoba 'mencurinya' dengan berbagai dalih mulai dari memberikan bantuan sosial hingga proyek padat karya yang akhir-akhir ini digalakkan pemerintah pusat dan daerah.

Akan sebaliknya jutaan calon pemilih harus mulai bersiap-siap mempelajari, menyelidiki para calon pemimpin mereka itu, misalnya apakah selama ini mereka itu memang sudah memperlihatkan diri sebagai pemimpin yang rendah hati, jujur dan amanah ataukah selama ini bisanya cuma mejeng ke mana pun juga sehingga bisa dilihat sebagai orang yang hebat.

Pilkada 2018 ini pasti bisa dijadikan ukuran untuk menentukan pemilihan wakil-wakil rakyat di DPD, DPR-RI, DPRD provinsi dan kota-kabupaten pada tahun 2019.

Apalagi pada tahun mendatang itu bakal berlangsung pemilihan presiden dan wakil presiden yang walaupun calon-calonnya diperkirakan hanya beberapa tokoh, akan tetap menentukan jalannya bangsa ini untuk periode 2019-2024.

Jutaan pemilih tentu amat berharap bahwa di masa mendatang tidak akan ada lagi para pemimpin yang 'semodel' dengan Ratu Atut Chosiyah, Gatot Pudjo Nugroho atapun Zumi Zola walaupun terhadap Zumi masih harus ditetapkan azas praduga tak bersalah.

Masyarakat pasti tidak terlalu berharap banyak terhadap hasil Pilkada 2018 kecuali akan lahirnya para pemimpin sehingga yang benar-benar sadar bahwa tugas mereka hanya satu yakni mengabdi kepada rakyat di daerahnya masing- masing.

Beban rakyat sekarang saja sudah terasa tetap berat, apalagi lima hingga enam tahun mendatang terutama di bidang ekonomi.

Bisakah para pemimpin hasil Pilkada Serentak 27 Juni 2018 memenuhi harapan atau dambaan rakyat Indonesia itu? (ant/sa)

Berita terkait
0
Elon Musk Sebut Pabrik Mobil Baru Tesla Rugi Miliaran Dolar
Pabrik mobil baru Tesla di Texas dan Berlin alami "kerugian miliaran dolar" di saat dua pabrik kesulitan untuk meningkatkan jumlah produksi