Fredrich Ajukan 1.000 Lembar Pledoi, Jaksa: Terdakwa Cari-cari Alasan

Fredrich ajukan 1.000 lembar pledoi, Jaksa: terdakwa cari-cari alasan. Fredrich pun mengaku ingin melaporkan hakim yang menyidangkan perkaranya ke Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial.
Terdakwa kasus perintangan penyidikan kasus korupsi KTP elektronik (E-KTP) Fredrich Yunadi. (Foto: Ant/ Sigid Kurniawan)

Jakarta, (Tagar 1/6/2018) – Menghadapi tuntutan jaksa penuntut umum Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) berupa vonis 12 tahun penjara ditambah denda Rp 600 juta dan subsider 6 bulan kurungan, advokat Fredrich Yunadi menyatakan akan mengajukan 1.000 lembar nota pembelaan (pledoi).

"Saya kan harus pledoi, itu kurang lebih bisa 1.000 lembar. Coba Anda menulis 100 lembar, ingin tahu saya, berpikir loh, bukan menyalin ya," kata Fredrich seusai sidang di pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Kamis (31/5).

Fredrich oleh hakim diberikan waktu delapan hari untuk membuat pledoi yang harus dibacakan pada 8 Juni 2018.

"Tetep kalau waktunya diberikan tanggal 8 Juni kita tidak sanggup, kita hadir tapi kita katakan tidak sanggup, kita minta waktu tambahan nanti," ungkap Fredrich.

Menurut Fredrich, sebanyak 1.000 lembar pledoi itu memuat seluruh keterangan saksi yang sudah diperiksa di persidangan.

"Itu sudah situasi hal yang biasa mereka, penuntut umum, selalu memanipulasi keterangan dari saksi, makanya tadi kenapa saya ngotot mengatakan meminta keterangan saksi dibacakan tapi percuma kan sekarang sikapnya jaksa, jadi sikapnya hakim. Hakim dalam hal ini bukan mengejar waktu, hakim ini mencari keadilan, kita menegakkan waktu atau keadilan?" ungkap Fredrich yang dalam sidang memohon waktu untuk mempersiapkan pledoi selama 14 hari.

Fredrich pun mengancam ingin melaporkan hakim yang menyidangkan perkaranya ke Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial. "Kita akan hadapi, saya akan lapor langsung pada pimpinan KY, MA, bahwa ternyata hakim melanggar Pasal 158, dia menunjukkan sikap dalam hal ini memihak sudah jelas mutlak itu," ujarnya.

Berbelit-belit

Dalam surat tuntutan, JPU menyebutkan tidak melihat ada hal yang meringankan dari perbuatan Fredrich. "Tidak ditemukan hal-hal yang meringankan dari perbuatan terdakwa dalam persidangan perkara ini," kata Kresno.

Sebaliknya JPU menyebutkan, banyak hal yang memberatkan dari perbuatan Fredrich.

"Perbuatan terdakwa tidak mendukung program pemerintah dalam memberantas tindak pidana korupsi. Terdakwa selaku advokat merupakan penegak hukum justru melakukan tindakan tercela yang bertentangan dengan norma hukum dan menghalalkan segala cara dalam membela kliennya. Terdakwa mengaku berpendidikan tinggi justru kerap menunjukkan tingkah laku dan perkataan yang tidak pantas atau kasar, bahkan terkesan menghina pihak lain sehingga telah merendahkan kewibaan, martabat dan kehormatan lembaga peradilan," jelas Kresno.

Hal memberatkan lainnya, Fredrich dinilai berbelit-belit selama pemeriksaan persidangan dan sama sekali tidak menunjukkan rasa penyesalan dalam perbuatannya.

"Dari fakta-fakta yang terungkap terdakwa bukan saja sekedar 'mengetahui' bahwa Setya Novanto (Setnov) berstatus sebagai tersangka korupsi E-KTP yang sedang dicari-cari karena tidak hadir memenuhi panggilan penyidik KPK. Namun terdakwa sebenarnya juga 'mengetahui' keberadaan Setya Novanto karena sebelumnya telah bertemu Setya Novanto di gedung DPR dan sudah berkomunikasi telepon melalui ajudannya," ungkap Kresno.

Fredrich selanjutnya melakukan "rekayasa" agar Setnov dapat dirawat inap di RS Medika Permata Hijau untuk menghindari pemeriksaan penyidikan penyidik KPK dan minta bantuan dokter Bimanesh Sutarjo di RS Medika Permata Hijau agar Setnov dapat dirawat dengan sejumlah diagnosa penyakit salah satunya hipertensi.

"Dapat disimpulkan terdakwa berperan aktif dalam menemui dan menghubungi pihak-pihak yang terkait sebagaimana fakta hukum di atas, mengetahi perbuatannya dan mewujudkan kehendaknya agar Setnov sebagai tersangka dapat dirawat inap di RS Medika Permata Hijau dalam rangka menghindari pemeriksaan penyidikan oleh penyidik KPK," tegas Kresno. (ant/yps)

Berita terkait
0
Pemilu 2019 Menyisakan Polarisasi, 2024 Tak Boleh Terjadi Lagi
Pemilu 2019 menyisakan masalah yang masih dirasakan hingga saat ini, yakni polarisasi atau pecah belah antarmasyarakat.