Festival Erau Bikin Riuh Kota Raja

Tenggarong yang biasanya lengang berubah riuh. Hampir setiap sudut ibu kota Kabupaten Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur ini ada keramaian, siang dan malam.
Kemeriahan Festival Erau. (Foto: Ist)

Tenggarong, (Tagar 29/7/2017) – Tenggarong yang biasanya lengang berubah riuh. Hampir setiap sudut ibu kota Kabupaten Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur ini selalu ada keramaian, siang atau pun malam. Ini lantaran selama tanggal 22 hingga 30 Juli 2017, kabupaten terkaya di Indonesia ini menyelenggarakan Festival Erau.

Sesuai namanya, Erau atau Eroh, menurut bahasa setempat berarti riuh, ramai ataupun ribut. Keriuhan pun terjadi sepanjang pelaksanaan Festival Erau di kota raja tersebut.

Pada siang hari, berbagai lomba tradisional diselenggarakan di Sungai Mahakam seperti lomba ketinting atau lomba perahu tradisional dan lomba gasing. Di Museum Mulawarman, yang dulunya Keraton Kesultanan Kutai Kartanegara ing Martadipura dilakukan berbagai prosesi ritual adat.

Pada malam harinya, Stadion Rondong Demang yang merupakan markas klub sepak bola kebanggaan warga Kutai Kartanegara, Mitra Kukar, disulap menjadi arena pameran dan pasar malam.

Begitu pun di tepian Mahakam, yang didominasi penjual makanan, kini riuh dengan pentas hiburan yang menampilkan kesenian tradisional dan internasional.

Sementara di Museum Mulawaran, ada prosesi sakral yang dilakukan setiap malamnya yakni Bepelas. Tujuannya untuk mencegah gangguan yang ingin mengacau jalannya pesta rakyat itu.

Tepat pada pukul sembilan malam waktu setempat, terdengar dentuman meriam dari hadapan keraton. Banyaknya dentuman meriam sesuai dengan malam pelaksanaan acara.

Putra Mahkota Kesultanan Kutai, Aji Pangeran Adipati Prabu Anum Surya Adiningrat menjelaskan, pelaksanaan Erau dimulai ketika pendiri Kesultanan Kutai Kartanegara, Aji Batara Agung Dewa Sakti, berusia lima tahun. Pada saat itu dilakukan upacara tijak (menginjak) tanah dan mandi ke tepian. Setelah diangkat menjadi raja (sekitar tahun 1300 hingga 1325) diselenggarakan upacara Erau.

"Erau ini diadakan ketika ada penobatan raja dan pemberian gelar pada tokoh masyarakat yang berjasa pada kerajaan," ujar Aji Pangeran Adipati Prabu Anum Surya Adiningrat.

Dia menjelaskan, Erau dulunya tak hanya berlangsung selama sepekan tetapi 40 hari 40 malam yang diikuti masyarakat. Selain berpesta ria, rakyat juga mempersembahkan sebagian hasil buminya kepada kesultanan. Pihak kesultanan pun membalasnya dengan menjamu rakyatnya dengan berbagai sajian.

Perayaan Erau tersebut ditandai dengan upacara mendirikan Tiang Ayu yang berlangsung di Museum Mulawarman. Mendirikan Ayu memiliki makna yakni mendirikan kebenaran. Tiang Ayu yang dimaksud yakni tombak pusaka milik pendiri Kesultanan Kutai, Aji Batara Agung Dewa Sakti, yang bernama Sangkok Piatu.

Sebelum pelaksanaan Erau, diselenggarakan berbagai upacara adat seperti Menjamu Benua (memberi makan makhluk gaib yang mendiami Kutai Kartanegara), ritual adat Merangin yang digelar selama tiga malam berturut-turut (mengundang mahluk gaib untuk ikut serta dalam Erau).

Sedangkan, pada saat pelaksanaan Erau, diselenggarakan ritual adat Beluluh (melunturkan pengaruh jahat dari diri sultan) dan Bepelas.

Dulu dan Kini

Aji Pangeran Adipati Prabu Anum Surya Adiningrat menjelaskan, pelaksanaan Erau yang terakhir menurut tata cara kesultanan pada 1965, saat penobatan dirinya menjadi putra mahkota dan berbagai etnis yang hidup di dalamnya. Baru pada 1971, pemerintah daerah berinisiatif menyelenggarakan Erau yang bertujuan melestarikan budaya peninggalan Kesultanan Kutai Kartanegara ing Martadipura.

Kini, Erau disandingkan dengan budaya internasional. Sejak 2013, dilangsungkan Erau International Folklore and Art Festival (EIFAF).

Sri Wahyuni selaku Kepala Dinas Pariwisata Kutai Kartanegara mengatakan, pihaknya tidak ingin menjadikan Tenggarong sebagai kota mati, apalagi pascaruntuhnya jembatan Kutai Kartanegara pada 2011. Pada saat itu, kunjungan wisatawan menurun drastis.

Oleh karenanya pada 2013, pihaknya mengemas pelaksanaan Festival Erau dengan perhelatan internasional dan berganti nama menjadi Erau International Folk Arts Festival (EIFAF), bekerja sama dengan International Council of Organizations of Folklore Festivals and Folk Arts (CIOFF) yakni organisasi penyelenggara festival kesenian rakyat internasional.

Tujuannya, agar adat Kesultanan Kutai Kartanegara dikenal masyarakat internasional. Pihaknya ingin Erau ini lebih mendunia, tetapi untuk itu harus berkorban dana. "Tidak mungkin, kita berharap orang datang ke sini, jika kita tidak melakukan promosi dan sesuai dengan yang diinginkan wisatawan,” ujarnya.

Setahun sejak dimulainya EIFAF, kata Sri, pihaknya sudah memetik hasilnya, yakni banyak media internasional meliput Erau.

"Padahal dulu, untuk mengenalkan Erau, kami harus mengundang media untuk meliput," jelas Sri.

Dengan demikian, secara tidak langsung Festival Erau membuka jendela dunia untuk mengenal Indonesia melalui Kutai Kartanegara dan lebih mengetahui Erau. Kunjungan wisatawan ke kabupaten itu meningkat drastis dari sebelumnya sebanyak 250.000 per tahun, meningkat menjadi 1,9 juta kunjungan per tahun. Meningkatnya jumlah wisatawan tentu meningkatkan perekonomian lokal.

Namun apa yang disampaikan oleh Sri, berbeda dengan apa yang disampaikan warga Tenggarong. Nupiar (43) warga Tenggarong yang berprofesi sebagai tukang ojek mengatakan, pelaksanaan Erau tak berdampak banyak pada masyarakat setempat.

"Erau sekarang berbeda dengan Erau dulu. Kalau Erau dulu ramai sekali. Masyarakat dari Kutai Timur dan Kutai Barat juga datang setiap Erau. Mereka menginap, paling tidak seminggu lamanya. Tenggarong ini ramai sekali ketika Erau," kata Nupiar.

Berbeda dengan Erau sekarang, lanjut Nupiar, yang banyak mendatangkan delegasi internasional namun pengunjung yang hadir tidak seperti dulu. "Paling yang datang, hanya yang dekat-dekat Tenggarong. Kalaupun ada dari luar, tidak banyak,” ucapnya.

Sementara itu, wisatawan dari Jakarta, Shafiyah (30), mengeluhkan susahnya kendaraan umum di Tenggarong. Akibatnya, ia kesulitan untuk berkunjung ke lokasi Erau. Padahal ia datang jauh-jauh dari Jakarta untuk melihat keunikan budaya setempat. (yps/ant)

Berita terkait