Oleh: Syaiful W. Harahap*
TAGAR.id – Beberapa media online menurunkan judul berita tentang LGBT yang rada sensasional bakan mengarah ke bombastis (omong kosong) karena tidak berpijak pada fakta empiris.
Bermula dari audiensi Aliansi Umat Islam (AUI) Garut, Jabar, ke DPRD Garut tentang sekitar 3.000 orang tergabung dalam komunitas lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT) di Garut.
Pertama, bagaimana mengenali warga Garut dengan orientasi seksual LGBT? Maka, bagaimana mungkin warga dengan orientasi seksual lesbian, gay dan biseksual bisa dikenali secara fisik?
Kedua, yang kasat mata pada LGBT hanya transgender (Waria). Jika ada ‘serangan’ secara moral terhadap LGBT, maka kalangan Waria akan jadi korban karena hanya mereka yang kasat mata.
Ketiga, LGBT sebagai orientasi seksual ada di alam pikiran. Itu artinya tidak akan bisa dilarang. Jika ada larangan atau tindakan terhadap LGBT yang kena sasaran hanya Waria karena mereka kasat mata.
Disebutkan: Selain jumlahnya yang terus bertambah, tanpa merasa malu dan risih, dengan berani dan terbuka mereka menunjukan perbuatan yang tidak dianggap normal tersebut dengan terang-terangan. (prbandungraya.pikiran-rakyat.com, 14/12- 2022).
Ada juga ini: Tak hanya di media sosial, AUI Garut juga menegaskan bahwa kaum LGBT di Garut sudah tak malu-malu melakukan aktivitas di muka umum. (tvonenews.com, 12/12-2022).
Selain jumlahnya yang terus bertambah dengan begitu pesat, tutur Ceng Aam, tingkah LGBT di Garut pun kini kian berani dan terbuka. (pikiran-rakyat.com, 13/12-2022).
Celakanya, dalam berita tidak dijelaskan apa perbuatan yang mereka lakukan secara terbuka yang dianggap tidak normal.
Lagi pula bagaimana cara lesbian, gay dan biseksual melakukan perbuatan yang tidak normal di alam terbuka?
Yang dikhawatirkan yang dimaksud adalah perilaku sehari-hari kalangan Waria, tapi digeneralisir sebabagi perilaku lesbian, gay dan biseksual.
Disebutkan pula oleh Ustad Ceng Aam, Kordinator AUI (Aliansi Umat Islam) Garut: …. mengusulkan himbauan atau spanduk penolakan LGBT sampai ke kampung-kampung," (tvonenews.com, 12/12-2022)
Langkah ini akan membuat kalangan transgender (Waria) menghadapi persekusi oleh masyarakat karena hanya mereka yang kasat mata pada konteks LGBT.
Mereka akan menghadapi penolakan warga hanya karena identitas gender mereka sebagai bagian dari LGBT. Padahal, yang jadi persoalan hukum bukan identitas gender, tapi perilaku baik LGBT maupun non-LGBT yang melakukan perbuatan melawan norma, moral, agama dan hukum.
Apakah ada UU yang melarang Waria hidup sebagai makhluk Tuhan di muka bumi ini?
Ada lagi pernyataan: Menanggapi hal tersebut, Bupati Garut, Rudy Gunawan buka suara. Rudi mengatakan perilaku menyimpang khususnya di Kabupaten Garut harus dihentikan, …. (prbandungraya.pikiran-rakyat.com, 14/12- 2022).
Perilaku (seksual) lesbian, gay, biseksual dan transgender baru jadi masalah hukum jika melalukan perbuatan yang melawan hukum terkait dengan seks. Tapi, perlu diingat perbutan terkait seks yang melawan hukum juga bisa dilakukan oleh kalangan heteroseksual, bahkan oleh kalangan pendidik dan agamawan, seperti kekerasan seksual (pemerkosaan).
Ada pula pernyataan dari Ketua Forum Kerjasama Kristiani Garut (FKKG), Welman Butar Butar: "Ya perilaku LGBT itu memang bertentangan dengan hukum agama, hukum gereja kita."
LGBT itu adalah orientasi seksual yang tidak melawan norma, moral, agama dan hukum. Yang bertentangan dengan norma, moral, agama dan hukum adalah perbuatan yang dilakukan oleh LGBT dan non-LGBT terkait dengan perilaku seksuall.
Lagi pula jika dikaitkan dengan perilaku menyimpang warga, terutama laki-laki heterosekusal yang melakukan zina dalam bentuk pacaran, perselingkunan dan transaksi seks (praktek pelacuran) justru merupakan perbuatan yang menyimpang dari aspek-aspek norma, moral, agama dan hukum.
Tapi, hal di atas tidak dikaitkan dengan perilaku menyimpang sehingga memberi angin bagi laki-laki heteroseksual, terutama yang beristri, untuk melakukan perbuatan seks yang melawan aspek-aspek norma, moral, agama dan hukum.
Dampak perilaku seksual menyimpang kalangan heteroseksual, antara lain melakukan perilaku seksual berisiko, yaitu temuan kasus HIV/AIDS pada ibu rumah tangga yang bermuara pada bayi yang mereka lahirkan.
Data siha.kemkes.go.id menunjukkan dari tahun 1987 sampai 31 Maret 2022 jumlah kasus AIDS yang tedeteksi pada ibu rumah tangga sebanyak 19.581 dari 137.397 kasus secara nasional (14,25%).
Sementara itu penyebaran HIV/AIDS di kalangan LGBT, terutama pada gay, ada di terminal akhir karena mereka tidak mempunyai istri. Bandingkan dengan kalangan heteroseksual yang akan menularkan HIV/AIDS ke istri, bahkan ada yang istrinya lebih dari satu, pacar, selingkuhan dan pekerja seks (PS). (Lihat matriks penyebaran HIV/AIDS oleh gay dan heteroseksual).
Selain risiko tertular HIV/AIDS perilaku seksual berisiko yang dilakukan kalangan heteroseksual, terutama yang beristri, juga bisa membawa melapetaka ke rumah yaitu: menularkan virus kanker serviks, kencing nanah (GO), raja singa (sifilis), virus hepatitis B, klamidia, dan jengger ayam.
Istri yang tertular sifilis dari suami bisa melahirkan anak dengan kondisi cacat, seperti buta dan kelainan organ tubuh.
Maka, yang jadi masalah besar adalah perilaku seksual yang melawan norma, moral, agama dan hukum serta perilaku seksual bersiko bukan orientasi seksual karena orientasi seksual ada di alam pikiran. []
* Syaiful W. Harahap, Redaktur di Tagar.id