Dosen Psikologi UNJ Ungkap Fakta di Balik Pelaku Kejahatan Terorisme

Dosen Psikologi UNJ ungkap fakta di balik pelaku kejahatan terorisme. “Kalau kita lihat profil dari pelaku dari kejahatan terorisme, Anda akan menemukan satu profil unik, yaitu hampir semua pelaku ini orang baik,” kata Robertus Robert.
Diskusi Publik Melawan Teror di Universitas Negeri Jakarta (UNJ), Rawamangun, Jakarta, Rabu (23/5/2018). (Foto: Tagar/Nuranisa Hamdan Ningsih)

Jakarta, (Tagar 24/5/2018) - Munculnya serangan teroris yang beruntun di sejumlah daerah di Indonesia, membuat Dosen Prodi Psikologi Fakultas Ilmu Sosial UNJ Robertus Robert menemukan adanya satu fakta profil unik dari setiap pelaku kejahatan terorisme.

“Kalau kita lihat profil dari pelaku dari kejahatan terorisme, Anda akan menemukan satu profil unik, yaitu hampir semua pelaku ini orang baik, atau orang biasa-biasa saja,” ujarnya.

Menurut Robert, kenapa dikatakan unik? Karena pada dasarnya, mereka hidup di lingkungan yang sama seperti masyarakat pada umumnya. Memiliki keluarga yang utuh, status sosial, bahkan ekonomi yang tidak lebih tinggi ataupun rendah dari orang-orang.

“Satu dua orang ketika ditanyai, akan mengatakan tertutup tapi bukan agresif. Yang paling mengejutkan dan mengherankan, punya keluarga sama seperti kita, status sosial dan status ekonomi yang sama dengan kita,” sambungnya.

Dengan kehidupan yang terlihat jujur dalam mengelola kehidupan, tak jarang semua terheran-heran dan mempertanyakan mengapa orang yang demikian bisa betransformasi menjadi pembunuh berdarah dingin.

“Itu muncul pertanyaan mengapa orang-orang biasa ini yang sebagian besar jujur dalam mengelola hidup. Itu dalam satu dimensi kehidupan lain, dia menjadi orang ganas, bukan hanya diri sendiri tapi menggunakan keluarga sebagai teror,” paparnya.

Lantas, menurut Robert ternyata, orang-orang yang melakukan kejahatan teroris mendapat paparan ajaran kekerasan yang mengajarkan agama dengan kekerasan. Dengan pengetahuan sederhana mengenai agamanya, mereka menggali lebih dalam pada orang yang dianggap lebih tahu mengenai ilmunya.

“Dengan pengetahuan sederhana, mereka berubah menjadi pembunuh berdarah dingin, apa yang salah?” ucap Robert.

Dari penelitian dengan mantan pelaku teroris, ada beberapa hal penting yang menurut Robert perlu diketahui. Pertama, mereka terlibat menjadi pelaku kejahatan terorisme sudah punya modal pandangan agama yang keras.

“Faktornya beraneka macam, seperti misalnya karena mereka terpapar ajaran kekerasan, agamanya mengajarkan paham yang keras. Tapi, mereka sendiri punya rasa ingin tahu lebih dalam,” paparnya.

“Kemudian mereka masuk pada sekelompok orang dengan paham ajaran agama keras lalu bertransformasi. Mereka pun diambil, ketika masuk didoktrin dengan ajaran kekerasan, muncul lah ideologikasi dan justifikasi, untuk melakukan kejahatan terorisme,” jelas Robert.

Biasanya, sekelompok organisasi ataupun orang-orang yang mengajarkan paham kekerasan menjejalinya dengan video-video Palestina, Irak, maupun negara-negara Timur Tengah yang tengah dijajah oleh Israel.

Dalam interpretasi mereka, semua bahan standar tersebut kemudian menjadi bahan subjektifikasi dan identifikasi untuk mengubah ideologi pelaku kejahatan.

“Pihak-pihak tersebut menawarkan satu pandangan ideologis mengenai masyarakat baru yang ia bentuk,” tuturnya.

Pelaku kejahatan terorisme yang kemungkinan terpapar ideologi tersebut menurut Robert harus diawasi oleh pemerintah. Sebab, trend terorisme sekarang tak lagi seperti terorisme dulu.

Old Terorisme diberlakukan dengan agenda tertentu untuk menuntut sesuatu. Sedangkan New Terorisme berjalan sendiri tanpa ada tuntutan jelas yang dimaksud.

Pengawasan harus dilakukan, pada orang-orang Indonesia yang sempat ke Suriah bergabung dengan ISIS dan sudah kembali ke Indonesia, para tenaga kerja Indonesia di timur tengah, dan keluarga yang punya aspirasi ‘jihad’ dengan melakukan teror, serta mantan narapidana teroris.

“Kebanyakan pelaku kejahatan terorisme adalah ex ISIS, artinya perlu pengawasan dari pemerintah,” ucap Robert.

“Dan, di Indonesia ada 60 para mantan tahanan teroris, yang harus diawasi. Sepertinya ada masalah dalam sistem kemasyarakatan di Indonesia, bagaimana bisa orang yang dihukum balik lagi melakukan kejahatan yang sama,” tuntasnya. (nhn)

Berita terkait