Djarot Kalah Saat Primordialisme Hidup di Sumut

Djarot kalah saat primordialisme hidup di Sumut. Masih terdengar lelucon semacam Puja Kesuma atau Putra Jawa Kelahiran Sumatera.
Djarot Kalah Saat Primordialisme Hidup di Sumut | Djarot Saiful Hidayat calon gubernur Sumatera Utara. (Foto: Instagram/Djarot Saiful Hidayat)

Jakarta, (Tagar 28/6/2018) - Djarot Saiful Hidayat dan pasangannya, Sihar Sitorus, kalah di Sumatera Utara. Djarot yang diharap mampu membenahi Sumatera Utara karena rekam jejaknya, bersih dan sukses menata kota, rupanya belum diberi kesempatan menata provinsi yang dua gubernur terakhirnya berurusan dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan harus masuk penjara karena mencuri uang rakyat.

Apa pun cerita, anggapan bahwa masyarakat Sumut melirik Djarot karena ‘kebersihannya’ tak cukup untuk menghadang mantan Panglima Kostrad, Letnan Jenderal Edy Rahmayadi, yang kerap berkampanye mengaku sebagai putra daerah Sumut.

Primordialisme

Politik identitas memang kental bermain di Sumut. Mulai dari putra daerah, hingga identitas keagamaan yang menyergap pasangan Djarot, Sihar Sitorus yang non muslim.

Kalah oleh politik identitas seperti agama, dan isu primordialisme seperti putra daerah, memang bukan pertama kali dialami oleh Djarot. Tahun lalu, di DKI Jakarta pun ia telak dikalahkan oleh isu itu.

Isu agama yang dimainkan saat Pilkada di Jakarta, membuatnya kalah. Walau isu agama saat itu ditujukan bukan langsung terhadapnya, melainkan tertuju ke Ahok sang calon Gubernur yang dianggap melecehkan ayat suci Al Quran dan menyinggung umat Islam, namun Djarot juga terkena dampaknya. Djarot pernah diusir usai salat di sebuah masjid di kawasan Tebet, Jakarta Selatan.

Menurut pengamat politik Gun Gun Heryanto, kekalahan Djoss di Sumut tak semata karena faktor primordial yang memang dilancarkan dan terjadi di Sumatera Utara. 

"Kekalahan itu tak berdiri sendiri, seperti halnya kemenangan seorang calon di Pilkada juga tak hanya satu faktor, banyak hal yang menyebabkan kekalahan dan kemenangan seseorang," jelas Gun Gun pada Tagar News melalui sambungan telepon, Kamis (28/6).

Terkait kekalahan pasangan Djoss, Gun Gun berpendapat, waktu memperkenalkan Djarot di Sumatera Utara relatif kurang.

"Political treatment PDIP saat mengajukan Djarot rasanya kurang. Entah ini strategi atau apa, saya kurang tau, tapi kesan Djarot sebagai orang baru, pendatang di Sumatera, itu tertanam kuat di benak masyarakat Sumut," jelas Gun Gun.

Pengamat ini tak yakin jika faktor agama berperan besar terhadap kekalahan Djoss. Warga Sumatera Utara menurutnya mampu melewati isu agama, karena mereka terbiasa dengan keragaman. Namun, isu sebagai putra daerah versus pendatanglah yang pekat.

Pendapat Gun Gun tak salah, bukankah saat ini masih terdengar istilah berbau primordial yang jadi bahan lelucon seperti, Puja Kesuma atau Putra Jawa Kelahiran Sumatera?

Primordialisme memang bermain di sana, imbuh Gun Gun, dan itu sebenarnya juga terjadi di mana saja.

"Di Sulawesi Selatan pun terjadi. Bagaimana kita lihat kemenangan Nurdin Abdullah, yang juga diserang isu primordialisme, toh tak berefek sama sekali," jelasnya.

Gun Gun berpendapat, isu primordialisme bisa ditreatment. Dilihat figurnya, resonansi isunya, narasi isu, kontra narasinya, serta porto folio sang calon sendiri. 

"Jadi, banyak faktor soal kekalahan Djoss, banyak pula variabel yang membentuk faktor itu. Jika bisa diurai satu persatu, keadaan bisa jadi lain. Banyaknya faktor dan variabel itu tentu memerlukan banyak waktu untuk menyelesaikannya," demikian Gun Gun.

Investasi Politik

Kekalahan Djarot di Sumatera Utara diperkirakan banyak pihak sebagai hazzard atau bahaya bagi keberlangsungan pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dalam pemilihan presiden (Pilpres) 2019 mendatang.

Banyak yang memprediksi, kemenangan Edy Rahmayadi-Musa Rajekshah, akan menjadi investasi politik bagi lawan-lawan Presiden Jokowi. Mereka diperkirakan membawa suara masyarakat Sumatera Utara ke calon lain, Prabowo Subianto, misalnya. Benarkah demikian?

Prediksi investasi politik yang akan diambil lawan atau pesaing politik Jokowi, tak sepenuhnya benar. Walau tetap ada kemungkinan tersebut, namun hal ini belum mutlak menguntungkan Prabowo Subianto. Pasalnya, di kubu pendukung Edy Rahmayadi, juga ada Partai Golkar dan Partai NasDem, yang menjadi pendukung Jokowi.

Direktur Eksekutif Charta Politika Yunarto Wijaya mengatakan, Jokowi semestinya bisa memanfaatkan keberadaan Golkar dan NasDem yang berada dalam koalisi pendukung Edy. Yunarto juga tak menepis bahwa kekalahan Djarot salah satunya karena isu primordialisme.

Yang tak kalah penting, lanjutnya, gerak mesin politik PDIP tidak maksimal dalam Pilkada serentak kali ini. PDIP diketahui kalah di lima lumbung suara pada Pilpres mendatang. Kekalahan PDIP tercatat di Sumatera Utara, Sumatera Selatan, Jawa Barat, Jawa Timur, dan Kalimantan Barat. Ini jelas menjadi peringatan keras atas kinerja mesin politik Megawati menuju Pilpres 2019.

Sebaliknya, menurut Gun Gun Heryanto, investasi politik yang diperkirakan diraih lawan politik Jokowi tidaklah sehebat yang ditakutkan orang. 

"Dan warning menakutkan itu semestinya bisa diurai, ditreatment. Paling penting, kita lihat porto folio calon, misalkan Presiden Jokowi, bisa dilihat track recordnya, kelebihannya," jelas Gun Gun.

Gun Gun juga mengakui, mesin politik PDIP tidak bekerja maksimal dalam Pilkada Sumatera Utara. Waktu, lanjutnya, sangat kurang untuk mengenalkan Djarot kepada masyarakat Sumatera Utara.

"Saya yakin, investasi politik Presiden Jokowi masih kuat, tak hilang oleh pertarungan Pilkada semata, artinya kekalahan Djarot di Pilgub tak usah dibawa jadi kehilangan investasi politik," tegasnya. (rif)

Berita terkait
0
Puan Maharani Sudah Pasti Capres, Tinggal Cari Cawapres, Kata Politisi PDIP
Puan Maharani sudah pasti capres PDIP di Pilpres 2024, tinggal cari cawapres buatnya dan cari waktu buat mengumumkannya, kata politisi PDIP.