Depo Pertamina Tetap Akan Dikejar Warga Walaupun Direlokasi ke Ujung Bumi

Opsi yang muncul kemudian terkait dengan kebakaran Depo Pertamina Plumpang adalah depo atau warga yang direlokasi
Presiden Jokowi meninjau posko pengungsian kebakaran TBBM Pertamina Plumpang (3 Maret 2023), di RPTRA Rasela, Rawa Badak Selatan, Jakarta, Minggu, 5 Maret 2023. (Foto: setkab.go.id/BPMI Setpres/Laily Rachev)

Oleh: Syaiful W. Harahap*

TAGAR.idKebakaran Depo Pertamina di Plumpang, Jakarta Utara, pada 3 Maret 2023 membuka dialog yang semestinya tidak perlu terjadi jika pemerintah menjalankan fungsi pengawasan.

Tidak kurang dari Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang angkat bicara soal depo itu karena makan belasan korban nyawa dan harta benda: depo atau warga yang direlokasi.

Bang Ali (Ali Sadikin), Gubernur DKI Jakarta priode 28 April 1966 – Juli 1977, dalam sebuah diskusi terkait dengan penutupan lokalisasi pelacuran Kramat Tunggak, Jakarta Utara, di awal reformasi mengatakan jarak permukiman warga ke lokaliasi itu sekitar 10 km di tahun 1970-an. Di tengah sawah dan rawa-rawa tanpa jalan beraspal.

Artinya, Bang Ali bikin buffer zone (penyangga atau pembatas) sejauh 10 km antara lokalisasi dan permukiman warga.

Lalu, kalau beberapa tahun kemudian Kramat Tunggak dikelilingi permukiman warga kesalahan bukan pada penetapan lokalisasi itu, tapi justru warga yang mendekati lokalisasi itu.

Hal itu masuk akal karena lokalisasi itu ‘menyediakan’ banyak lapangan kerja untuk sektor-sektor nonformal. Kedai kopi, warung, toko kelontong, kos-kosan, binatu, semir sepatu, parkir dan seterusnya.

Ibarat kata pepatah Kramat Tunggak itu bagaikan gula yang sudah barang tentu akan dicari oleh semut: Di mana ada gula di situ ada semut (sesuatu yang enak yang membuat banyak orang ingin juga mencicipinya).

Secara naluriah sejatinya warga justru menjauh dari Kramat Tunggal karena maksiat, tapi yang terjadi sebaliknya lokalisasi itu memberikan setitik harapan nyata untuk kehidupan banyak kalangan.

Namun, pada tahun 1999 Gubernur DKI Jakarta, Sutiyoso, menutp Lokalisasi Kramat Tunggak dan dijadikan lokasi Jakarta Islamic Centre.

Dari aspek kesehatan masyarakat akan terjadi penyebaran praktek pelacuran di seputar Jakarta dan sekitarnya yang juga jadi sumber penyakit, dalam hal ini infeksi menular seksual (IMS), seperti kencing nanah (GO), raja singa (sifilis), virus hepatitis B, virus kanker serviks, dan lain-lain, bahkan HIV/AIDS.

Maka, tidaklah mengherankan kalau kemudian kasus IMS dan HIV/AIDS banyak terdeteksi pada ibu rumah tangga karena suami mereka melakukan hubugan seksual yang berisiko yaitu tidak memakai kondom antara lain dengan pekerja seks komersial (PSK) asal Kramat Tunggak.

Ketika praktek PSK dilokalisir ada penjangkauan dari banyak kalangan terkait untuk advokasi agar PSK memaksa laki-laki memakai kondom ketika melakukan hubungan seksual dengan mereka. Namun, ketika praktek pelacuran menyebar tidak ada lagi penjangkauan sehingga terjadi hubungan seksual yang berisiko tertular IMS atau HIV/AIDS atau dua-duanya sekaligus.

permukiman warga dan depo plumpangFoto udara permukiman penduduk yang hangus terbakar imbas kebakaran pipa BBM Depo Pertamina Plumpang Jakarta Utara pada 3 Maret 2023 (Foto: bali.antaranews.com/ANTARA FOTO/M Risyal Hidayat/wsj).

Nah, terkait dengan permukiman warga di seputar Depo Pertamina di Plumpang, Jakarta Utara, yang di era Gubernur Ahok (Basuki Tjahaja Purnama) akan direlokasi, tapi gagal karena Ahok kalah di Pilgub DKI Jakarta tahun 2017. Kabarnya, warga di sana teken kontrak politik dengan salah satu Cagub. Mereka memilih Cagub tersebut asalkan mereka tidak digusur (direlokasi).

Bahkan, dikabarkan warga tidak sekedar tidak digusur, tapi dapat malahan terima sertifikat.

Kalau saja dulu direlokasi tentulah tidak akan jadi korban kebakaran yang terjadi pada 3 Maret 2023.

Ketika depo itu dibangun tahun 1974 juga jauh dari permukiman warga. Tapi, bak kata pepatah depo itu ibarat gula yang sudah barang tentu akan dikejar semut.

Pemerintah daerah dan Pertamina tidak membuat buffer zone (penyangga) antara depo dan permukiman warga, sehingga tidak ada batas aman.

Tapi, batas aman dalam kaitan antara depo (menyimpan bahan bakar minyak/BBM) tidak semudah yang diperkirakan karena risiko yang ada tidak hanya kebakaran, tapi ledakan denan daya ledah yang tinggi dan semburan BBM yang memperbesar kebakaran.

Di sana ada sopir dan kernet truk tangki, karyawan bawahan, tamu dan lain-lain yang membutuhkan teh, kopi, rokok ketengan, nasi rames dan lain-lain yang tidak ada di kantin di dalam depo.

Mereka ingin minum dan makan santai dengan kaki diangkat sambil merokok yang sudah barang tentu tidak bisa dilakukan di kantin atau restoran di dalam depo.

Merekapun mencari keluar depo yang sudah disedikan oleh warga yang terus mendekat ke depo.

Itu semua terjadi karena dari awal pemerintah, dalam hal ini Pemprov DKI Jakarta, tidak melakukan pengawasan yang ketat. Begitu juga dengan Pertamina, Apakah manajemen Pertamina meminta Pemprov DKI Jakarta menjaga jarak aman antara depo dan permukiman warga yang terus mendekat ke depo?

bangunan di tepi rel KAJarak bangunan dengan rel KA tidak sesuai dengan jarak aman (Foto: rumah.com/WordPress – Ardyans)

Agaknya, negara, dalam hal ini pemerintah terkait, sejak dulu abai dengan persoalan-persoalan yang kelak menimbulkan masalah besar.

Misalnya, pemerintah membiarkan warga mendirikan bangunan di bantaran sungai, di atas saluran air, di tepi rel kereta api (KA), di atas tanah negara, di atas rel yang tidak aktif, di bibir pantai, dan seterusnya.

Padahal, ada aturan yang baku tentang batas dari sumbu rel KA dan sumbu jalan raya ke kegiatan perekonomian dan permukiman. Kabarnya, pemerintah Kolonial Belanda menetapkan jarak 100 meter kiri dan kanan sumbur rel KA sebagai daerah bebas kegiatan warga dan bangunan.

Namun, dalam UU Nomor 23 Tahun 2007 tentang Perkeretaapian disebutkan jarak antara bangunan pemukiman dengan rel KA adalah minimal 6 meter. Tapi, yang terjadi justru kurang dari enam meter.

Hal itu terjadi karena pemerintah tidak mengawasinya. Kondisi itu membuat PT KAI kesulitan membangun rel karena pintu rumah warga sejengkal dari tepi rel KA. Jika digusur mereka minta uang ganti rugi, disebut juga kerohiman. Akhirnya, PT KAI hanya membangun pagar untuk batas karena rel dipakai untuk kereta rel lisrik (KRL) yang dialiri listrik sehingga harus ada pembatas dengan rumah warga.

Belakangan ini PT KAI juga kesulitan mengaktifkan jalur yang lama tidak aktif karena di atas rel itu ada bangunan warga, bahkan bangunan pemerintah setempat.

Padahal, secara hukum justru warga yang memanfaatkan lahan di atas rel itu yang harus membayar uang sewa ke PT KAI.

Celakanya, PLN dan Telkom memberikan pelayanan berupa sambungan listrik dan telepon ke bangunan di berbagai tempat yang tidak diperuntukkan untuk permukiman warga.

Maka, kalau pun Presiden Jokowi menawarkan opsi Depo Pertamina Plumpang direkolasi itu sama saja dengan menggantang asap. Percuma. Sia-sia.

Soalnya, direlokasi ke ujung Bumi (KBBI: tempat yang jauh sekali) pun akan tetap dikejar warga karena depo itu bak gula yang memberikan rasa manis kepada siapa saja yang bisa memanfaatkan kehadiran depo.

Selama pemerintah tetap seperti sediakala yaitu tidak mengawasi batas aman permukiman dengan aturan yang ketat, maka akan terus-menerus terulang kasus seperti Depo Pertamina Plumpang.

Depo direlokasi. Warga membangun permukiman. Terjadi kebakaran. Ribut lagi: relokasi depo atau warga. []

* Syaiful W. Harahap adalah Redaktur di Tagar.id

Berita terkait
14 Tewas Akibat Kebakaran Depo Pertamina Plumpang di Jakarta Utara
Data yang disampaikan Pusat Komando Pemadam Kebakaran Jakarta ini juga menyatakan sedikitnya 50 orang luka-luka, termasuk satu anak
0
Ditjen Politik dan PUM Kemendagri Dorong Ormas Perempuan Dukung Suskses Pemilu 2024
Direktur Organisasi Kemasyarakatan (Ormas), Risandar Mahiwa dalam laporannya menyampaikan, perkembangan terkait dengan keterwakilan perempuan.