Dalam sebuah Webinar yang diselenggarakan Taruna Merah Putih, kebetulan saya didaulat menjadi pembicara. Dan poin dari pembicaraan itu, saya menyerukan kepada anak-anak muda, kaum terpelajar, untuk jangan diam. Berserulah, kuasai ruang-ruang media sosial tanpa rasa takut, dari narasi-narasi radikalisme yang menyebar di sana.
Jujur saya geram, melihat betapa sekeliling kita sekarang ini sudah banyak dikuasai kelompok-kelompok radikal. Di dunia pendidikan, mereka bahkan sudah bercokol lama di sana. Sistem pemerintahan kita yang mengacu pada otonomi daerah, membuat kelompok-kelompok itu semakin berkuasa.
Dengan menyandera pemerintah daerah yang oportunis melalui agama, mereka membangun kekuatan mereka. Lihat saja di sekolah negeri, banyak anak sekolah yang bahkan masih SD, sudah diwajibkan berjilbab, bahkan bercadar. Belum lagi buku-buku pelajaran agama, yang diterbitkan dengan penafsiran agama versi mereka.
Situasi ini sangat berbahaya, karena sedikit sekali perlawanan terhadap mereka. Banyak kaum terpelajar yang diam, karena takut digeruduk pakai massa. Tidak ada perlindungan terhadap mereka, sehingga mereka takut bersuara.
Kemenangan Taliban di Afganistan adalah kekalahan kaum terpelajar yang lebih memilih diam. Dan ketika Taliban berkuasa, maka kaum terpelajarlah yang mereka buru pertama, karena mereka musuh potensial.
Baca juga: Perang Afganistan Membuat Ali Terlunta-lunta di Negeri Orang
Seharusnya kita belajar dari Afganistan.
Tahun 1996, Afganistan dikuasai kelompok agama yang fanatik bernama Taliban. Kelompok ini sebenarnya masuk sudah sejak lama dan menguasai banyak elemen pemerintahan di Afganistan, tapi karena mereka berbaju agama, pemerintah tidak berani menyentuh mereka atau bahkan berkompromi dengan mereka.
Karena dibiarkan, pelan-pelan gerakan kelompok ini semakin besar. Rakyat yang bodoh dan awam, menjadi bersimpati pada Taliban. Dan pada saat yang tepat, mereka melakukan kudeta dan mulailah pemerintahan yang menjadi neraka bagi banyak orang moderat di sana.
Ahmed Rashid, pengarang buku best seller berjudul Taliban bahkan menulis, "Kemenangan Taliban di Afganistan adalah kekalahan kaum terpelajar yang lebih memilih diam. Dan ketika Taliban berkuasa, maka kaum terpelajarlah yang mereka buru pertama, karena mereka musuh potensial."
Dan benar saja, gelombang eksodus kaum terpelajar yang dulu diam itu, terjadi. Mereka lari, takut dibantai. Cerita-cerita apa yang terjadi pada mereka, mengerikan. Ada yang diterjunkan dari gedung tinggi, karena dituduh LGBT. Ada yang dipenggal, hanya karena dia berpikir. Bahkan ada yang hidungnya dimutilasi seperti kasus Bibi Aisha, karena berontak terhadap kekejaman suaminya yang anggota Taliban.
Dan situasi itu berjalan 5 tahun lamanya, sampai akhirnya Afganistan berhasil mengusir Taliban. Tapi yang terjadi adalah kemunduran peradaban dan ekonomi negara yang sudah menjadi puing-puing. Membangunnya kembali butuh waktu lama dengan psikologis masyarakatnya yang masih trauma.
Apakah kita ingin Indonesia kelak seperti Afganistan ketika dikuasai Taliban?
Saya tentu tidak, dan berani mempertaruhkan apa yang saya punya untuk hanya sekadar bersuara, menggerakkan api dalam dada kaum muda. Tanggung jawab saya sebagai seorang ayah kepada anak saya, supaya dia kelak bisa hidup dalam damai di bawah naungan Pancasila.
Dan untuk itu saya rela disomasi berkali-kali oleh mereka, dan bahkan seujung kuku lagi bisa masuk penjara. Itu harga yang harus dibayar memang, untuk perjuangan. Biar kelak ketika aku sudah tiada, anakku akan berkata dengan bangga, "Papa sudah berbuat banyak. Istirahatlah. Biar aku yang meneruskan."
Dunia itu adalah ladang jihad. Berjihadlah. Setidaknya hidup kita punya arti, bukan hanya sibuk dengan tumpukan materi. Dan kelak ketika kita bertemu di akhirat nanti, akan kusediakan secangkir kopi untuk mereka yang berjuang, sambil cerita-cerita pengalaman kita di dunia ini.
Seruput dulu kopinya kawan.
*Penulis buku Tuhan dalam Secangkir Kopi