Denny Siregar: Duri dalam Daging Indonesia

Para pendukung khilafah adalah duri dalam daging Indonesia, sama dengan pendukung komunis. Dan itu ada di Majelis Ulama Indonesia. Denny Siregar.
Ilustrasi - Kantor Pusat Majelis Ulama Indonesia. (Foto: Tagar/mui.or.id)

Pada waktu awal menulis tentang Apa yang terjadi di Suriah? saya juga menganalisis kemungkinan api perang ini dibawa ke Indonesia. Dan dari pengamatan itu, salah satu prediksi saya adalah kelompok-kelompok pendukung pemberontak di Suriah akan mulai dari penyusupan ke lembaga-lembaga penting di Indonesia. Dan salah satu lembaga yang dianggap penting adalah Majelis Ulama Indonesia.

Kenapa Majelis Ulama begitu penting bagi mereka? Karena banyak umat Islam di Indonesia, sangat patuh kepada ulama. Ulama adalah tonggak ilmu dan pembawa pesan agama yang harus dihormati dan dipatuhi. Dan di banyak kalangan umat Islam, perintah ulama tidak boleh dibantah, harus dijalankan tanpa banyak bertanya, karena ulama sudah pasti benar adanya. 

"Ulama adalah pewaris Nabi." Begitu kata baginda Rasulullah SAW dalam sebuah hadis yang diyakini kesahihannya. Karena itu penguasaan sebuah majelis yang berisi ulama di dalamnya menjadi sangat penting. Karena itu sama dengan penguasaan simbol-simbol umat. Pegang simbolnya, maka umat Islam akan ikut ke mana pun arah perginya.

Dengan memegang simbol ulama, mereka juga akan memegang agama. Dan klaim-klaim ini akan digaungkan ke mana-mana, sehingga kita sering mendengar klaim mereka yang selalu mengatasnamakan, "Kami umat Islam," dengan penuh percaya diri, bahkan ketika mereka melakukan pengrusakan.

Dan begitulah yang terjadi di Suriah. Ulama-ulama yang pro pemberontak berkumpul menjadi satu dan menerbitkan fatwa bahwa Presiden Suriah Bashar Al Assad halal darahnya sehingga harus diturunkan dan dibunuh demi perubahan negara Suriah menjadi negara yang lebih islami sesuai tafsir mereka.

Bahkan ada seorang ulama besar Sunni yang membela pemerintah Suriah mereka bunuh dengan cara dibom saat sedang ceramah. Ulama besar itu bernama Syekh Ramadhan Al Buthi, yang ketika sedang memberikan pelajaran di sebuah masjid di Damaskus, ia harus menemui ajalnya karena ada pembom bunuh diri yang juga menewaskan 42 orang lainnya.

Kenapa Syekh Ramadhan Al Buthi harus dibunuh oleh mereka? Supaya tidak ada yang bisa mengatasnamakan ulama selain kelompok-kelompok pemberontak itu. Dan mereka berhasil. Banyak umat Islam nanggung di Suriah yang akhirnya tanpa sadar membela pemberontak karena mereka ikut apa kata ulama, padahal mereka sedang digiring ke arah kehancuran.

Begitulah yang terjadi di Suriah sejak 2011 sampai sekarang sehingga perang mereka pun tidak selesai-selesai.

Tanpa banyak yang tahu, Majelis Ulama Indonesia juga disusupi orang-orang yang menjadi pendukung berdirinya negara Islam di negeri ini. Bahkan menariknya, orang-orang ini punya jejak digital ketika mereka membela pemberontak Suriah dengan terang-terangan memproklamirkan negara baru Suriah dengan bendera barunya di Indonesia. Bahkan mereka mengutip donasi dari umat Islam di Indonesia, untuk dikirim ke Suriah dengan bahasa mendukung rakyat Suriah. Padahal sejatinya mereka sedang membantu logistik para pemberontak di sana.

Para pendukung khilafah itu adalah duri dalam daging Indonesia, sama dengan pendukung komunis. Kalau mereka tidak dihentikan sekarang, kelak kita akan berhadapan dengan monster raksasa yang akan memakan kita semua. Seperti yang terjadi di Suriah.

Anda pasti kaget ketika saya membuka jejak beberapa orang di antaranya. Yang pertama, tentu saja Bachtiar Nasir. Orang ini sekarang menjabat Wakil Sekretaris di MUI. Bachtiar Natsir kita kenal dengan ideologi khilafahnya yang bahkan ketika Demo 212, dia gaungkan pendirian negara khilafah dengan konsep revolusi di Indonesia. Bachtiar Natsir juga yang mengenalkan kencing onta sebagai minuman yang harus diminum umat Islam.

Jejak digital Bachtiar Natsir terlihat waktu dia membawa bendera pemberontak Suriah. Dia adalah sales utama khilafah yang pengaruhnya sangat merusak. Sangat licin dan berbahaya. Sekarang dengan berlindung di balik MUI, dia seperti membersihkan dirinya dan mengklaim sebagai ulama sekaligus menyebarkan ideologi-ideologi khilafahnya.

Yang kedua adalah Zaitun Rasmin yang duduk di MUI sebagai Wasekjen Bidang Hubungan Luar Negeri dan Kerja Sama Internasional. Jejak digitalnya juga terlihat ketika dia dan Bachtiar Natsir sama-sama membawa bendera pemberontak Suriah.

Kedua orang itu anehnya bisa duduk di Majelis Ulama Indonesia dengan tenang sambil menyebarkan ideologi mereka yang merusak. Sangat berbahaya ketika Majelis Ulama Indonesia ada di tangan orang-orang seperti itu yang bisa membawa negeri ini menjadi seperti Suriah dengan menguasai label ulama sebagai jualannya.

Ada juga Tengku Zulkarnain yang dalam setiap tweet-tweet-nya selalu memprovokasi umat sehingga Islam terlihat menjadi provokator di dalam kebangsaan. Jika Tengku Zulkarnain adalah orang biasa, mungkin tidak jadi masalah, tapi dia menjabat sebagai Wasekjen MUI yang membuat gelar ulama menjadi rusak karena perilakunya.

Yang menarik, sebagai bendahara MUI ada yang bernama Yusuf Martak. Kita tahu dia penggagas Gerakan 212. Yusuf Martak sempat dikenal sebagai mantan direktur dari Lapindo, perusahaan di bawah kelompok Bakrie Group yang mendadak menjadi ulama tanpa jelas rekam jejaknya.

Sampai sekarang, belum ada satupun gerakan untuk kembali memurnikan Majelis Ulama Indonesia supaya kembali kepada track-nya, terutama track keulamaan. Banyak yang tutup mata terhadap keberadaan orang-orang itu di MUI seolah-olah tidak akan terjadi apa-apa. Padahal jika kita belajar dari Suriah, peran orang-orang seperti itu sangat penting dalam kerusuhan di sana bertahun-tahun lamanya.

Saya juga tidak paham bagaimana kriteria seseorang bisa duduk di Majelis Ulama meski tanpa rekam jejak keulamaan yang jelas. Seakan-akan ada invisible hands di dalam MUI, sehingga mereka bisa merekrut orang-orang yang seideologi dengan mereka, tanpa ada yang bisa menahan.

Ideologi khilafah sekarang kembali digaungkan meski salah satu organisasi pentingnya seperti Hizbut Tahrir Indonesia sudah dibubarkan. Tapi orang-orang yang menyebarkan paham itu tidak pernah ditangkap meski jejak mereka terlihat bahwa mereka terus bergerak untuk membangun persepsi bahwa Indonesia harus menjadi negara agama. Bahkan mereka sering mengadakan ceramah dan punya channel YouTube, judulnya Khilafah Channel.

Saya juga tidak paham kenapa aparat kita seolah-olah membiarkan mereka dan tidak punya keberanian untuk menangkap mereka yang menyiarkan ideologi lain selain dari ideologi Pancasila. Semoga ini menjadi PR besar pemerintah dan aparat, untuk melakukan tindakan pencegahan sebelum negeri ini kelak terbakar karena paham salah yang mereka sebarkan.

Dan saya harus mengapresiasi Kapolda Kalimatan Selatan yang sudah berani menangkap dua guru honorer karena menyebarkan paham khilafah di sana. Apa yang dilakukan Polda Kalimantan Selatan seharusnya jadi acuan seluruh Kepolisian Republik Indonesia untuk melakukan penangkapan yang sama kepada para pendukung khilafah sebelum mereka kelak menjadi besar.

Para pendukung khilafah itu adalah duri dalam daging Indonesia, sama dengan pendukung komunis. Kalau mereka tidak dihentikan sekarang, kelak kita akan berhadapan dengan monster raksasa yang akan memakan kita semua. Seperti yang terjadi di Suriah.

*Penulis buku Tuhan dalam Secangkir Kopi


Berita terkait
Denny Siregar: Guru Honorer Pengunggah Seruan Khilafah
Banyak kasus berkembangnya intoleransi dan gerakan khilafah di daerah-daerah, karena kepolisian terkesan sungkan, tidak mau ribut. Denny Siregar.
Guntur Romli: Cita-cita FPI Dirikan Negara Khilafah
Aktivis muda Nahdlatul Ulama (NU) Guntur Romli mengklaim cita-cita Front Pembela Islam (FPI) adalah mendirikan negara khilafah.
Penolakan RUU HIP Diboncengi Pro Khilafah?
Natsir menduga ada sentuhan pro khilafah terhadap gencarnya gerakan penolakan RUU HIP di depan Gedung DPR/MPR beberapa waktu lalu.
0
Surya Paloh Sebut Nasdem Tidak Membajak Ganjar Pranowo
Bagi Nasdem, calon pemimpin tak harus dari internal partai. Ganjar Pranowo kader PDIP itu baik, harus didukung. Tidak ada membajak. Surya Paloh.