Denny Siregar: Beda Aksi Mahasiswa 1998 dan 2019

Aksi mahasiswa 1998 dan 2019 punya karakter jauh berbeda. Tahun 98 aksi para lelaki, tahun ini aksi penyuka instastory. Tulisan Denny Siregar.
Poster lucu dan menggelitik yang dibawa mahasiswa saat unjuk rasa penolakan UU KPK dan RKUHP di gedung DPRD Kota Tegal, Selasa 24 September 2019. (Foto: Tagar/Farid Firdaus)

Aksi tahun 1998 itu seperti bisul yang mau pecah.

Mereka yang besar pada masa orde baru tahu betul bagaimana mereka harus berbisik-bisik ketika mengatakan kata "Keluarga Cendana". Karena, konon, dinding rumah pada masa itu bisa mendengar.

Saluran informasi sangat dibatasi. Televisi cuman satu yaitu TVRI. Ada menteri penerangan yang kerjaannya membreidel media yang tidak sepaham. Aktivitas berkumpul dicurigai sebagai makar.

Korupsi merajalela. Yang bagian dari "istana" bebas merampok apa saja. Bisnis harus dapat restu dari penguasa. Perampasan tanah dan hak masyarakat selalu dengan senjata. Sakit hati dan dendam terpelihara.

Rusuh karena politik bukan berita baru. Ada Presiden yang mau berkuasa seumur hidup dan wakil rakyat yang cuman manggut-manggut, tepuk tangan, yang penting perut kenyang.

Akhirnya rasa sakit itu tidak tertahan. Bisik-bisik semakin kencang ketika mulai banyak penangkapan bahkan ada yang hilang. Gerakan-gerakan kecil menggeliat. Mulai ada pembakaran. Ada yang mati. Bukan satu, bahkan tak mampu dihitung oleh jari.

Aksi mahasiswa tahun 1998 dan tahun 2019 ini memang punya karakter yang jauh berbeda. Yang tahun 98 itu aksi "para lelaki" dan tahun ini adalah aksi penyuka instastory.

Apakah ada penunggang dalam aksi itu?

Ada! Para oportunis yang mengatasnamakan gerakan itu dan menasbihkan dirinya sebagai "lokomotif reformasi".

Mereka ingin dicatat dalam tinta sejarah lewat sedikit aksi, tapi tampil di media dan teve dengan gaya maksi. Sedangkan yang benar-benar beraksi, sibuk menyelamatkan diri dari kejaran polisi dan sniper yang mengincar segala sisi.

Begitulah demo tahun 1998. Itu bukan demo instan. Prosesnya tercipta belasan tahun lamanya. Kegundahan, keresahan, ketakutan semua campur aduk dan akhirnya menjadi satu kepalan tinju yang berteriak, "LAWAN!"

Demo 2019 yang baru saja terjadi pengen mengikuti besarnya aksi 98 ini.

Tapi mereka lupa. Masyarakat sekarang banyak yang berada di belakang pemerintah. Bukan karena mereka fanatik buta, tapi mereka merasa bahwa Jokowi harus dikawal ketika bekerja. Dia tidak memperkaya diri, justru dia ingin berbuat untuk negeri.

Jokowi sedang mengawal narasi hasil reformasi dari ledakan tahun 98. Lalu kenapa dia harus diturunkan?

Sesudah aksi mahasiswa 2019 yang berakhir dengan bakar pos polisi, motor dihancurkan, mobil digulingkan, rusuh di mana-mana sehingga harus disemprot gas air mata, ternyata penyebabnya remeh belaka, yaitu karena "kurang membaca".

Mereka terpicu hoaks, minim pengetahuan masalah secara gambar besar, gampang terbakar bahkan ada yang cuman ingin nampang di Instagram. Untuk itulah mereka turun ke jalan.

Aksi mahasiswa tahun 1998 dan tahun 2019 ini memang punya karakter yang jauh berbeda. Yang tahun 98 itu aksi "para lelaki" dan tahun ini adalah aksi penyuka instastory.

Chibi chibi... Seruput kopi.

*Penulis buku Tuhan dalam Secangkir Kopi

Baca juga:

Berita terkait
Fahri Hamzah Minta Intelijen Analisa Mahasiswa Demo DPR
Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Fahri Hamzah meminta intelijen menganalisa penyebab kericuhan mahasiswa yang berdemonstrasi di depan DPR.
Fahri Hamzah: Kerusuhan Ini Sudah Bukan Mahasiswa Lagi
Unjuk rasa yang berlangsung sampai malam di depan gedung DPR dinilai oleh anggota DPR Fahri Hamzah bukan mahasiswa lagi
Ikut Demonstrasi, Kebingungan Saat Ditanya Menuntut Apa
Perempuan belia berbaju putih abu-abu, mengikuti demonstrasi di DPRD Jawa Barat di Bandung, karena ajakan orang tak dikenal yang ditemui di jalan.
0
Sejarah Ulang Tahun Jakarta yang Diperingati Setiap 22 Juni
Dalam sejarah Hari Ulang Tahun Jakarta 2022 jatuh pada Rabu, 22 Juni 2022. Tahun ini, Jakarta berusia 495 tahun. Simak sejarah singkatnya.