Aksi tahun 1998 itu seperti bisul yang mau pecah.
Mereka yang besar pada masa orde baru tahu betul bagaimana mereka harus berbisik-bisik ketika mengatakan kata "Keluarga Cendana". Karena, konon, dinding rumah pada masa itu bisa mendengar.
Saluran informasi sangat dibatasi. Televisi cuman satu yaitu TVRI. Ada menteri penerangan yang kerjaannya membreidel media yang tidak sepaham. Aktivitas berkumpul dicurigai sebagai makar.
Korupsi merajalela. Yang bagian dari "istana" bebas merampok apa saja. Bisnis harus dapat restu dari penguasa. Perampasan tanah dan hak masyarakat selalu dengan senjata. Sakit hati dan dendam terpelihara.
Rusuh karena politik bukan berita baru. Ada Presiden yang mau berkuasa seumur hidup dan wakil rakyat yang cuman manggut-manggut, tepuk tangan, yang penting perut kenyang.
Akhirnya rasa sakit itu tidak tertahan. Bisik-bisik semakin kencang ketika mulai banyak penangkapan bahkan ada yang hilang. Gerakan-gerakan kecil menggeliat. Mulai ada pembakaran. Ada yang mati. Bukan satu, bahkan tak mampu dihitung oleh jari.
Aksi mahasiswa tahun 1998 dan tahun 2019 ini memang punya karakter yang jauh berbeda. Yang tahun 98 itu aksi "para lelaki" dan tahun ini adalah aksi penyuka instastory.
Apakah ada penunggang dalam aksi itu?
Ada! Para oportunis yang mengatasnamakan gerakan itu dan menasbihkan dirinya sebagai "lokomotif reformasi".
Mereka ingin dicatat dalam tinta sejarah lewat sedikit aksi, tapi tampil di media dan teve dengan gaya maksi. Sedangkan yang benar-benar beraksi, sibuk menyelamatkan diri dari kejaran polisi dan sniper yang mengincar segala sisi.
Begitulah demo tahun 1998. Itu bukan demo instan. Prosesnya tercipta belasan tahun lamanya. Kegundahan, keresahan, ketakutan semua campur aduk dan akhirnya menjadi satu kepalan tinju yang berteriak, "LAWAN!"
Demo 2019 yang baru saja terjadi pengen mengikuti besarnya aksi 98 ini.
Tapi mereka lupa. Masyarakat sekarang banyak yang berada di belakang pemerintah. Bukan karena mereka fanatik buta, tapi mereka merasa bahwa Jokowi harus dikawal ketika bekerja. Dia tidak memperkaya diri, justru dia ingin berbuat untuk negeri.
Jokowi sedang mengawal narasi hasil reformasi dari ledakan tahun 98. Lalu kenapa dia harus diturunkan?
Sesudah aksi mahasiswa 2019 yang berakhir dengan bakar pos polisi, motor dihancurkan, mobil digulingkan, rusuh di mana-mana sehingga harus disemprot gas air mata, ternyata penyebabnya remeh belaka, yaitu karena "kurang membaca".
Mereka terpicu hoaks, minim pengetahuan masalah secara gambar besar, gampang terbakar bahkan ada yang cuman ingin nampang di Instagram. Untuk itulah mereka turun ke jalan.
Aksi mahasiswa tahun 1998 dan tahun 2019 ini memang punya karakter yang jauh berbeda. Yang tahun 98 itu aksi "para lelaki" dan tahun ini adalah aksi penyuka instastory.
Chibi chibi... Seruput kopi.
*Penulis buku Tuhan dalam Secangkir Kopi
Baca juga:
- Manik Marganamahendra, Penyeru Dewan Pengkhianat Rakyat
- Jokowi Buka Ruang Dialog dengan Mahasiswa di Kampus?
- Poster Lucu dan Unik dalam Aksi Mahasiswa Tegal
- Foto: Meme Poster Demo Mahasiswa Tandingan di Instagram