Debat Capres-Cawapres, Pertaruhan Elektabilitas dan Integritas

Debat capres dan cawapres juga merupakan pertaruhan elektabilitas kedua pasangan calon presiden dan wakil presiden
Debat capres-cawapres 2014, Jokowi-JK vs Prabowo-Hatta Radjasa. (Foto: KPU)

Jakarta, (Tagar 14/1/2019) - Komisi Pemilihan Umum (KPU) terus melakukan tahapan-tahapan Pemilu yang dilaksanakan pada 17 April 2019, salah satunya debat calon presiden dan wakil presiden.

Debat antarcalon presiden dan wakil presiden pada Pemilihan Presiden 2019 yang berlangsung sebanyak lima kali ini merupakan salah satu metode kampanye yang diatur dalam Undang-Undang No 7/2017 tentang Pemilu.

Dalam pasal 277 ayat 1 dinyatakan debat berlangsung selama lima kali dan disiarkan secara luas melalui media elektronik. Debat capres-cawapres perdana akan dilaksanakan pada 17 Januari 2019 di Hotel Bidakara, Jakarta.

Debat menjadi sarana dalam menyampaikan visi dan misi, program kerja dan juga pandangan dalam mengatasi masalah-masalah yang berkembang di masyarakat.

Debat capres dan cawapres juga merupakan pertaruhan elektabilitas kedua pasangan calon presiden dan wakil presiden, Jokowi-Ma'ruf Amin dan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno. Pemilih akan memilih calon yang dianggap mampu menguasai segala persoalan dan mencari solusi dari persoalan tersebut.

Debat perdana ini akan mengangkat tema hukum, hak asasi manusia, korupsi dan terorisme. Indonesia akan menyaksikan gagasan dan program masing-masing kandidat dalam aspek-aspek terkait tema tersebut. Pengamat Politik dari Indonesian Public Institute (IPI), Jerry Massie, berpendapat debat merupakan determine atau penentu capres bisa leading.

Selain itu ada juga campaigns (kampanye-kampanye), imaging political (pencitraan politik) dan blusukan. Lantaran dalam debat, sebanyak 192 juta pemilih bisa menyaksikan kandidat mereka mempresentasikan grand design dan master plan rencana ke depan seperti apa dan bagaimana.

Dalam konteks ini, sang petahana Jokowi lebih diuntungkan dari Prabowo yang belum pernah menjabat di eksekutif namun kaya prestasi di militer dan pernah dua kali menjadi capres/cawapres. Prabowo akan bisa memainkan teori dan menyoroti praktik yang pernah dijalankan Jokowi.

Debat merupakan adu gagasan, ide, kemampuan baik manajerial dan leadership, sehingga semua tema akan menarik, seperti topik HAM dan masalah korupsi yang terbesar zaman ini.

"Menurut saya disinilah kedua capres mampu menerjemahkan kebutuhan publik bahkan mampu menjawab keraguan publik khususnya pemilih 'swing voters' (pemilih mengambang) dan undecided voters (pemilih belum menentukan pilihan)," kata Jerry, di Jakarta, Minggu.

Menurut dia, debat capres-cawapres merupakan salah satu pertaruhan elektabilitas dan integritas serta kredibilitas kedua pasangan, Jokowi-Ma'ruf dan Prabowo-Sandi.

"Bagi saya unggul di debat menjadi pembuka jalan untuk menang Pilpres 2019. Debat bagaikan sebuah ujian untuk dapat menang dalam pertempuran," ujarnya.

Kedua pasangan calon harus merebut minimal tiga kemenangan dalam lima kali ajang debat Pilpres 2019.

"Sangat menentukan lagi bagi 40 persen pemilih pemula atau bahasa gaul 'pemilih milenial'. Lantaran pemilih tersebut ada 80 juta," katanya.

Berdasarkan survei Indikator, elektabilias Jokowi-Ma'ruf 54,9 persen, sementara Prabowo-Sandiaga 34,8 persen.

Sementara sisanya, sebesar 9,2 persen responden belum menentukan pilihan dan 1,1 persen memilih tidak akan memilih di antara keduanya atau golongan putih (golput).

Elektabilitas kedua pasangan capres-cawapres masih bisa berubah mengingat pilpres masih sekitar tiga bulan lagi.

"Jadi, debat capres ini akan mendongkrak elektabilitas kedua pasangan calon. Kedua pasangan harus merebut hati 'swing voters' dan pemilih yang belum menentukan pilihan (undecided voters)," katanya.

Debat pengaruhi swing voters 

Pengamat politik dari UIN Jakarta, Adi Prayitno, menilai debat capres dan cawapres menjadi momen penting untuk menaikkan citra dan elektabilitas kandidat, terutama mempengaruhi "swing voter" yang belum menentukan pilihan.

"Karenanya, visi misi, program kerja, dan tawaran kerja menjadi penting dinarasikan dengan baik," tuturnya.

Swing voters hakikatnya adalah pemilih rasional yang melihat personifikasi kandidat dengan program terukur, bukan normatif.

Melihat komitmen politik kandidat dengan serius bukan semata retorika.

"Karena itu, jangan pernah main-main dengan debat yang bakal digelar lima kali ini. Apalagi suara pemilih swing voter masih signifikan," katanya.

Tunggu gebrakan cawapres Pada debat perdana nanti, publik menunggu gebrakan Ma'ruf Amin dan Sandi mengingat dua sosok ini sebagai debutan dalam pilpres.

"Terutama Sandi sebagai penantang harus menampilkan kebaruan yang diinginkan publik. Argumennya mesti lebih nendang dan keras, jangan hanya datar saja. Sejauh ini Sandi datar saja apa adanya tanpa diferensiasi yang tak terlampau meyakinkan," katanya.

Pemilih milenial juga akan mengikuti arah mata angin yang berembus. Kalau pasangan nomor urut 01, Jokowi-Ma'ruf dominan dalam debat, maka kaum milenial akan memilih.

Namun sebaliknya, jika Prabowo-Sandi yang unggul, kaum milenial akan memilihnya. Pemilih milenial itu preferensi politiknya sangat ditentukan siapa kandidat yang paling kuat mrmpengaruhi opini publik.

Hal senada juga disampaikan Direktur Sinergi Masyarakat untuk Demokrasi Indonesia (Sigma), Said Salahudin, bahwa debat capres-cawapres diyakini cukup efektif untuk mempengaruhi pilihan pemilih.

Apa yang menjadi visi dan misi pasangan calon akan dinilai oleh Pemilih. Aspek rasionalitas program, argumentasi, gestur, gaya berdebat, dan penggunaan bahasa biasanya akan menjadi pertimbangan utama Pemilih.

Tetapi, kondisi itu lazimnya terjadi pada penyelenggaraan Pilpres yang kemampuan pesertanya dalam berdebat belum pernah disaksikan oleh pemilih.

Nah, di Pilpres 2019, Pemilih pada umumnya sudah mengetahui kualitas capres Joko Widodo dan Prabowo Subianto. Sebab, keduanya sudah pernah berhadapan pada debat Pilpres 2014.

"Jadi, efek debat capres nanti saya kira tidak akan berpengaruh banyak terhadap pilihan Pemilih. Kalau pun ada pengaruhnya, terbesar saya kira akan datang dari kelompok Pemilih pemula," kata Said.

Pemilih pemula ini kan pada umumnya baru melek politik. Sensasi debat Jokowi versus Prabowo lima tahun yang lalu belum pernah mereka rasakan.

"Permasalahannya, jumlah pemilih pemula ini tidak cukup jelas. Ketua KPU bilang sekitar lima juta orang, sementara salah seorang anggota KPU menyebut sekira 1,2 juta pemilih," katanya.

Tetapi untuk debat cawapres kondisinya mungkin akan berlainan dengan debat capres karena pasangan Jokowi dan Prabowo pada Pilpres 2019 ini berbeda dengan Pilpres 2014.

"Baik Ma'ruf Amin maupun Sandiaga Uno belum pernah berhadap-hadapan dalam sesi debat," tuturnya.

Sebagian Pemilih mungkin pernah menyaksikan kualitas Sandiaga pada Pilgub DKI Jakarta 2017. Tetapi itu kan dengan lawan debat yang berbeda. Kemampuan Ma'ruf dalam berdebat bahkan belum pernah dilihat orang," tuturnya.

Dari sesi debat Ma'ruf versus Sandiaga itulah kemungkinan bisa muncul perubahan elektabilitas dari kedua pasangan calon.

Sebab, pemilih pemula, swing voters dan kelompok undecided voters sepertinya masih dapat 'digoda' oleh para cawapres pada saat sesi debat nanti.

"Jadi, debat cawapres tampaknya lebih berpeluang untuk mengubah pilihan pemilih dibandingkan dengan debat capres. Debat antara Ma'ruf Amin yang sudah berusia sangat senior dan Sandiaga Uno yang jauh lebih junior boleh jadi sudah sangat dinanti," katanya.

Mari kita tunggu debat yang berlangsung pada 17 Januari 2019 nanti, apakah penguasaan debat akan mampu meningkatkan elektabilitas pasangan calon atau justru menurunkan. []

Penulis: Syaiful Hakim (Kantor Berita Antara)

Berita terkait