China Salurkan Utang dan Hibah Kepada 165 Negara

China salurkan utang dan hibah Rp12 kuadriliun ke 165 negara: Pemberi pinjaman yang baik atau lintah darat?
Proyek infrastruktur BRI dari China di penjuru dunia (Sumber: bbc.com/indonesia)

Oleh: Celia Hatton - BBC News

China bisa memberi utang untuk pembangunan dua kali lebih banyak dibandingkan dengan Amerika Serikat (AS) dan negara-negara besar lainnya. Ini menurut sebuah penelitian. Pinjaman ini sebagian besar berasal dalam bentuk bunga tinggi yang berisiko dari bank-bank milik pemerintah China.

Jumlah pinjaman itu mengejutkan karena sebelumnya China menerima bantuan dari negara lain, tapi sekarang situasinya berbalik.

Dalam jangka waktu 18 tahun, China memberikan hibah maupun pinjaman uang kepada 13.427 proyek infrastruktur senilai 843 miliar dolar AS (Rp12 kuadriliun-dikonversi dengan nilai dolar hari ini) di 165 negara, menurut penelitian AidData di William & Mary, sebuah universitas di negara bagian Virginia, Amerika Serikat.

Kebanyakan pinjaman ini berkaitan dengan Belt and Road Initiative (BRI), program ambisius Presiden Xi Jinping. Dimulai pada 2013, hal ini telah mendongkrak keahlian China dalam proyek infrastruktur, dan mata uang asing yang cukup untuk membangun jalur perdagangan global yang baru.

presiden xiPresident China, Xi Jinping, saat berpidato di Konferensi Dialog Peradaban Asia di Beijing, Mei 2019 (Foto: bbc.com/indonesia-EPA)

Namun, para kritikus khawatir bahwa pinjaman dengan bunga tinggi untuk mendanai banyak proyek investasi China akan membebani warga dari negara yang menjadi peminjam. Dan kabar itu bahkan ditujukan untuk pemerintah China sendiri.

Para peneliti dari AidData - yang menghabiskan waktu empat tahun untuk melacak semua pinjaman dan belanja China secara global - menuturkan bahwa pemerintah China secara rutin menemui mereka untuk mendapatkan informasi bagaimana pinjaman dari mereka digunakan di luar negeri.

"Kami dengar pernyataan yang selalu dilontarkan dari pejabat publik di China, 'Lihat, kalian adalah yang terbaik'," jelas Direktur AidData, Brad Parks. "Mereka mengatakan: 'Kami tak bisa mendapatkan data ini secara internal.'"

Jalur kereta api yang berkelok-kelok antara China dengan tetangganya, Laos kerap disebut-sebut sebagai contoh terpenting pinjaman China yang tidak tercatat di dalam pembukuan transaksi.

Selama beberapa dekade, kalangan politisi mempertanyakan pembangunan jalur koneksi, seperti bagaimana menghubungkan wilayah China bagian barat daya yang terpencil langsung ke Asia Tenggara.

Namun, para insinyur memperingatkan bahwa biaya yang dikeluarkan akan mahal: jalurnya harus melewati pegunungan, membutuhkan puluhan jembatan dan terowongan. Laos adalah salah satu negara miskin di kawasan Asia Tenggara, dan bahkan tak mampu untuk membiayai proyek ini.

Dari sisi bankir ambisius China: dengan dukungan dari kelompok perusahaan pemerintah China dan sebuah konsorsium investor, jalur kereta api senilai 5.9 miliar dolar AS (Rp 84 triliun) akan mulai beroperasi pada Desember 2021 ini.

pelabuhan sri lankaPelabuhan Internasional Hambantota, Sri Lanka, adalah salah satu proyek infrastruktur terbesar yang dibiayai China (Foto: dw.com/id)

Namun, Laos harus mengambil utang sebesar 480 dolar AS (Rp 6,8 triliun) juta dari bank China untuk membiayai bagian kecil dari modalnya [ekuitas]. Salah satu sumber pendapatan Laos berasal dari hasil tambang Kaliumnya, yang digunakan untuk membayar utang tersebut.

"Pinjaman dari Eximbank China untuk mentutupi sebagian modalnya, benar-benar menunjukkan urgensi negara China untuk mendorong proyek tersebut," jelas Wanjing Kelly Chen, asisten profesor peneliti di Universitas Sains dan Teknologi Hong Kong.

Sebagian besar dari jalur rel tersebut dimiliki oleh grup perkeretaapian China, tapi di bawah ketentuan dan kesepakatan yang tidak jelas, pemerintah Laos akhirnya harus bertanggung jawab atas utang proyek rel tersebut.

Kesepakatan yang tidak seimbang ini membuat kreditur internasional menurunkan peringkat kredit Laos dengan status "sampah". Status ini menunjukkan pemerintah mungkin tak punya cukup uang untuk membayar utangnya.

Pada September 2020, dalam kondisi di ambang kebangkrutan, Laos menjual sebagian besar aset utamanya kepada China. Laos menyerahkan sebagian jaringan energinya senilai 600 juta dolar AS (Rp 8,54 triliun) untuk mendapatkan keringanan utang dari kreditur China. Ini terjadi bahkan sebelum pembangunan rel kereta dimulai.

Jalur kereta api Laos bukan hanya satu-satunya proyek berisiko yang didanai oleh bank-bank pemerintah China, namun, AidData mengatakan China tetaplah penyandang dana bagi banyak negara-negara berpendapatan menengah dan ke bawah.

"Dalam setahun, rata-rata lembaga keuangan pembangunan internasional China berkomitmen untuk mengeluarkan pinjaman sebesar 85 miliar dolar AS (Rp 1,21 kuadriliun). Jika dibandingkan, AS hanya menyediakan 37 miliar dolar AS (Rp 527,1 triliun) pada tahun tertentu untuk mendukung aktivitas pembangunan global," kata Brad Parks.

China telah jauh melampaui negara-negara lain dalam pendanaan pembangunan, tapi cara Beijing untuk mencapai angka tersebut "luar biasa", kata AidData.

pinjaman internasional chinaBagaimana pinjaman internasional dari China kian bertambah? (Sumber: bbc.com/indonesia)

Di masa lalu, negara-negara Barat bersalah karena menjerumuskan negara-negara Afrika ke lubang utang.

China meminjamkan dengan cara berbeda: alih-alih mendanai proyek dengan cara memberikan hibah atau meminjamkan uang dari satu negara ke negara lainnya, hampir semua uang itu didapatkan dalam bentuk pinjaman bank milik pemerintah China.

Pinjaman tersebut tak muncul dalam pembukuan resmi pemerintah. Karena itulah nama lembaga pemerintah pusat tidak muncul dalam banyak kesepakatan antara bank dengan negara peminjam. Hal semacam ini agar neraca perekonomian China tetap terjaga, serta menyembunyikan klausul-klausul kerahasiaan yang bisa mencegah pemerintah mengetahui secara pasti apa yang telah disepakati secara sembunyi-sembunyi.

AidData menghitung utang yang tak dicatat dalam pembukuan resmi pemerintah China mencapai $385 miliar.

Banyak kesepakatan dalam pinjaman jangka pendek China juga menuntut agunan yang tak biasa. Semakin meningkat, utang China tampaknya menuntut peminjam untuk menjanjikan uang tunai yang berasal dari penjualan sumber daya alam.

Kesepakatan dengan Venezuela misalnya, menuntut mereka menyetor mata uang asing [sebagai deposito] yang diperoleh dari penjualan minyak secara langsung ke rekening bank yang dikendalikan pemerintah China. Jika pembayaran utang lewat tenggat waktu, pemberi pinjaman dari China dapat segera menarik uang tunai dari rekening tersebut.

"Ini benar-benar nampak seperti strategi roti dan mentega, yang mereka gunakan untuk memberikan sinyal kepada para peminjam bahwa 'Kamilah bosnya'," jelas Brad Parks. Pesan mereka adalah: 'Kalian akan kembali bayar utang pada kami sebelum yang lain, karena kamilah satu-satunya sangat penting untuk kalian.'

"Ini pendapatan bagi negara-negara miskin, dolar dan euro, untuk mengunci mereka dalam di rekening luar negeri yang dikontrol oleh kekuatan asing."

"Apakah China pintar?" tanya Anna Gelpern, seorang professor hukum Georgetown yang terlibat dalam penelitian AidData awal tahun ini. Ia terlibat dalam pemeriksaan kontrak utang dari China.

"Menurut saya, kesimpulan kami adalah mereka kuat dan licin dalam kontrak ini. Mereka sangat melindungi kepentingan mereka sendiri."

Negara-negara bisa menjadi peminjam yang sulit [untuk ditagih], jelas Gelpern, dan tidak praktis mengharapkan mereka menyerahkan aset secara fisik seperti pelabuhan, jika mereka tak mampu membayar utang.

pelabuhan darwinPelabuhan Darwin di Darwin, Australia, 21 April 2017, terkait dengan proyek kerja sama China (Foto: voaindonesia.com - REUTERS/Tom Westbrook)

China mungkin akan segera menghadapi kompetisi dari dunia internasional. Pada pertemuan negara-negara maju, G7, Juni lalu, AS dan sekutunya mengumumkan inisiatif "Build Back Better World" initiative, dengan janji untuk mendanai proyek infrastruktur global yang berkelanjutan secara finansial dan lingkungan.

Namun, rencana itu mungkin datang terlambat.

"Saya ragu kalau inisiatif negara-negara Barat akan membuat banyak tekanan pada program China," kata David Dollar, peneliti di Brookings Institution sekaligus mantan perwakilan Departemen Keuangan AS di China.

"[Inisiatif-inisiatif baru itu] tidak akan cukup uang riil untuk mengatasi skala kebutuhan infrastruktur yang dibutuhkan di negara berkembang. Juga, bekerja sama dengan otoritas keuangan Barat itu birokratis dan dapat tertunda dalam jangka waktu lama."

Para peneliti AidData menemukan bahwa proyek Belt and Road (BRI) sedang menghadapi persoalannya sendiri. Proyek BRI lebih cenderung dikaitkan dengan korupsi, persoalan perburuhan, atau isu lingkungan dari pada kesepakatan pembangunan China yang lainnya.

Untuk menjaga agar BRI tetap pada jalurnya, para peneliti mengatakan, Beijing tak akan punya pilihan selain mengatasi kekhawatiran peminjam (bbc.com/indonesia). []

Proyek Kerja Sama China di Indonesia

Luhut dan Menlu China Bahas Proyek Strategis di Danau Toba

Australia Tinjau Ulang Kontrak China Atas Pelabuhan Darwin

Proyek KA Cepat Jakarta-Bandung, China Yakin Sesuai Jadwal

Berita terkait
Australia Tinjau Ulang Kontrak China Atas Pelabuhan Darwin
Australia mengatakan akan tinjau ulang kesepakatan kontrak sewa 99 tahun Pelabuhan Darwin dengan perusahaan China
Proyek Kerja Sama China di Indonesia
Indonesia teken puluhan kesepakatan kerja sama dengan China terkait pertambangan, bubur kertas, properti, jalur kereta api, infrastruktur dan semen