China Pakai Berita Bohong di Media Sosial Nodai Media Barat

Pengaruh media China makin gencar di tengah pandemi Covid-19 setelah pakai media sosial untuk diskreditkan media barat dan sebarkan propaganda
Media dalam negeri China gambarkan kehidupan di Xinjiang sebagai tempat yang tenang, sementara kelompok pejuang HAM yang telah meneliti perlakuan bagi kaum minoritas di sana, tidak setuju (Foto: abc.net.au/Indonesian - ABC news/Alex Palmer)

Oleh: Zena Chamas

Pengaruh media China menjadi semakin gencar di tengah pandemi Covid-19 setelah menggunakan media sosial untuk mendiskreditkan media barat dan menyebarkan propaganda, sebagaimana ditemukan dalam sebuah laporan.

Menurut laporan Perkumpulan Wartawan Internasional (IFJ - International Federation of Journalist), ketika pandemi terjadi di tahun 2020, Beijing menggunakan insfrastruktur media yang ada untuk menanamkan narasi positif tentang China di media nasional, selain dari menyebarkan disinformasi.

Laporan yang disusun berdasarkan survei pada 54 serikat pekerja media di 50 negara menemukan bahwa China sudah memanfaatkan pandemi untuk memperbaiki citranya dalam pemberitaan media global.

"Informasi yang disebarkan [Beijing], bukan hanya pesan tentang China tapi juga pesan eksploitatif tentang negara Barat," ujar Julia Bergin, salah satu penulis laporan tersebut dalam sebuah diskusi.

Menurut Bergin, China telah menggunakan platform media sosial seperti Youtube dan Twitter sebagai "taktik" untuk menodai media Barat, misalnya BBC ketika melaporkan penganiayaan warga Uyghur di wilayah Xinjiang.

kelompok hakKelompok hak asasi melaporkan bahwa China telah menangkap lebih dari satu juta warga Uighur, Kazakh, dan kelompok muslim minoritas lainnya di Xinjiang, China (Foto: dw.com/id)

Meski Twitter dilarang di China, banyak warganegaranya yang menggunakan platform tersebut untuk mengadakan diskusi yang memanas tentang kamp penahanan di Xinjiang atau menggunakan video propaganda untuk mengalihkan narasi.

China menyangkal tuduhan telah membuka kamp penahanan, dan menyebutnya asrama.

1. 'Berita Bohong Menyebar Lebih Cepat dari Virus Itu Sendiri'

Data dari laporan tersebut mencatat munculnya semakin banyak kekhawatiran dari pemakaian disinformasi dan misinformasi sebagai taktik, tidak hanya di China tapi juga di Amerika Selatan dan Utara.

Dilaporkan sudah ada peningkatan disinformasi sebanyak 82%. "Berita palsu menyebar lebih cepat dari virus itu sendiri," ujar wartawan Italia Luca Rlgion dalam sebuah panel diskusi.

Michael Keane, akademisi dari Queensland University of Technology mengatakan media China sering "digambarkan secara negatif" oleh negara barat demokratis seperti Australia.

warga uighur di luar chinaWarga Uighur yang tinggal di luar China menjadi ujung tombak kampanye HAM (Foto: dw.com/id)

"Paling tidak [di Australia] kita memiliki media yang majemuk, tapi di China tidak ada, itu kenyataan," katanya dalam panel tersebut.

Laporan tersebut juga menemukan bahwa Beijing telah menambah variasi beritanya dengan menyediakan konten domestik dan internasional untuk setiap negara "yang tidak berbahasa Inggris".

"Di saat yang bersamaan, Beijing telah memanfaatkan visa wartawan asing, dan memaksa mereka untuk keluar dari China."

"Ruang hampa pemberitaan semakin banyak memuat konten yang disetujui negara, dan bahkan kadang diberikan gratis pada negara-negara ini," bunyi laporan tersebut.

Banyak wartawan dan perusahaan media di seluruh dunia yang telah disensor atau ditangkap oleh China, termasuk di antaranya aktivis dan 'influencer' yang pro-demokrasi Hong Kong.

Cheng Lei, pembawa berita televisi terkenal di saluran berita Inggris pemerintah China CGTN, ditahan di Beijing pada tahun 2020.

Cheng mengatakan dirinya adalah warga Australia kedua yang pernah ditahan di Beijing dalam beberapa tahun terakhir.

Penulis dan mantan pegawai pemerintahan China bernama Yang Hengjun juga ditangkap pihak berwajib pada Januari 2019.

2. China Membela Strategi Medianya

Juru Bicara Menteri Luar Negeri China, Hua Chunying, menyampaikan respon atas laporan ini dan membela strategi media China.

kamp pendidikan uighurKamp pendidikan ulang bagi Muslim Uighur di Hotan, Xinjiang, China (Foto: Dok/voaindonesia.com/AFP).

Dia mengatakan strategi tersebut layak mendapat tempat di lanskap media internasional.

"Meski China diserang dan dituduh dengan kebohongan dan rumor, wajar adanya untuk membuat suara kami didengar," kata Chunying.

"China menyampaikan kebenaran dan fakta tentang banyak isu, termasuk Covid-19 demi memberikan objektif dan narasi bersama dan memori untuk manusia. Inilah yang kami sebut tindakan bertanggung jawab dari negara yang bertanggung jawab."

Laporan yang merupakan lanjutan dari laporan IFJ sebelumnya, 'The China Story: Reshaping the World's Media, menemukan bahwa secara global, 56 persen dari semua negara melaporkan pemberitaan tentang China di negara mereka menjadi semakin positif sejak pandemi Covid-19.

Sementara itu, 24% lainnya mengatakan pemberitaan tentang China menjadi semakin negatif.

Menurut laporan tersebut, China memanfaatkan kurangnya pemberitaan media barat di negaranya untuk keuntungannya sendiri, mengeluarkan konten yang dapat diakses oleh organisasi berita yang tidak berfokus pada pemberitaan negara itu.

"China menggunakan pendekatan dengan banyak cabang untuk menggambarkan ulang dunia informasi sehingga bermanfaat bagi citra globalnya sendiri," bunyi laporan tersebut.

Di tahun 2020, Beijing menutup akses jurnalistik ke China dengan menolak dan membekukan visa, yang juga dipengaruhi oleh penutupan perbatasan.

Penutupan ini menciptakan ruang hampa pemberitaan China yang di tengah tingginya permintaan atas berita China. Mereka mengisi celah ini dengan konten yang disponsori negara yang sudah tersedia dan bisa diakses melalui persetujuan pembagian konten.

deradikalisasi chinaMenelusuri kamp \'de-radikalisasi\' Muslim Uighur di China (Foto: bbc.com/indonesia).

Penelitian ini juga menemukan bahwa konten yang ditawarkan ke wartawan di seluruh dunia sudah dikurasi dengan maksud menyebarkan informasi propaganda China ke dalam beberapa bahasa, bahkan yang penuturnya tidak seberapa banyak seperti Italia dan Serbia.

"Media sebenarnya cukup kuat, tapi kita perlu memikirkan kerentanan media Barat. Kerentanan [mereka] sifatnya ekonomis," ujar salah satu peneliti, Louisa Lim.

IFJ meminta agar ada lebih banyak interaksi di negara tersebut dengan strategi yang ingin dicapai dan membangun hubungan dengan wartawan China di dalam dan di luar China (Diproduksi oleh Natasya Salim dari artikel ABC News dalam bahasa Inggris)/abc.net.au/indonesian. []

Berita terkait
Beijing Habiskan Dana Besar Pengaruhi AS Melalui TV China
Sebagian besar pengeluaran Beijing untuk mempengaruhi kebijakan AS dilakukan melalui jaringan TV China
Pemimpin Muslim Xinjiang Bantah China Lakukan Penindasan
Tokoh Muslim Xinjiang sebut Barat sabotase keharmonisan dan stabilitas Xinjiang dan renggangkan hubungan China dengan negara-negara Islam