Oleh: Syaiful W. Harahap*
Catatan: Artikel ini pertama kali ditayangkan di Tagar.id pada tanggal 29 Oktober 2020. Redaksi.
TAGAR.id - Menteri Luar Negeri Amerika Serikat (AS), Mike Pompeo, menegaskan dukungan AS atas kedaulatan Indonesia di Laut China Selatan. Ini mencakup Laut Natuna Utara yang berbatasan dengan Laut China Selatan.
Hal itu pernyataan Pompeo dalam jumpa pers bersama Menteri Luar Negeri Indonesia, Retno Marsudi, setelah bertemu dengan Presiden Joko Widodo (Jokowi), Kamis, 29 Oktober 2020, di Istana Bogor, Jawa Barat, seperti dilansir voaindonesia.com, 29 Oktober 2020.
Pernyataan Pompeo itu penting bagi Indonesia karena China sama sekali tidak menerima keputusan pengadilan arbitrasi internasional tentang perairan Laut China Selatan. Berita di “BBC Indonesia”, 9 Juni 2016, menyebutkan bahwa China tidak akan menerima arbitrasi (maksudnya putusan pengadilan arbitrase internasional) tentang Laut China Selatan.
Tentu saja hal itu merupakan ‘lampu kuning’ bagi Indonesia karena berdasarkan titik yang dibikin otoritas China, yang mereka sebut sebagai nine-dash line (sembilan garis putus-putus), yang dijadikan patokan kawasan perairan teritorial laut Chiha di Laut China Selatan, perairan Laut Natuna Utara di Kepulauan Natuna, Provinsi Kepulauan Riau (Kepri), masuk wilayah terirorial China.
1. Keputusan UNCLOS Tahun 1982
Apalagi China terus melalukan provokasi dengan mengawal kapal penangkap ikan China dengan kapal pengawas pantai. Kapal coast guard China mengintimidasi kapal patroli perikanan Kementerian KKP ketika menangkap kapal nelayan China. Ketika KP Hiu 11 menangkap kapal ikan Cina KM Kway Fey 10078 di Laut Natuna, misalnya, kapal coast guard Cina mengejar kapal patroli KKP (19 Maret 2016). Beijing juga memrotes penangkapan kapal Gui Bei Yu 27088 berbendera China oleh KRI TNI Oswald Siahaan-354. Kapal itu ditangkapo karena diduga mencuri ikan di Zona Eksklusif Ekonomi (ZEE) Indonesia di Perairan Natuna, Kepulauan Riau (27 Mei 2016).
Cara Beijing yang memakai kekuatan militer jadi indikasi yang kuat sebagai upaya Cina menguasai Laut Cina Selatan yang tentu saja akan mencaplok wilayah Laut Natuna Utara karena China ngotot menerapkan batas perairan dengan nine-dash line yang dibuat oleh Beijing secara sepihak tanpa persetujuan internasional.
Padahal, Presiden Jokowi memberi nama Laut Natuna Utara berdasarkan keputusan UNCLOS (United Nations Convention on the Law of the Sea) PBB tahun 1982 yang diratifikasi Indonesia melalui UU Nomor 17 Tahun 1985. Keputusan UNCLOS ini menguatkan penetapan zona eksklusif ekonomi (ZEE) Indonesia 200 mil laut dari batas pasang surut.
Selain mencaplok perairan beberapa negara berdasarkan nine-dash line, China juga mengancam tidak akan mematuhi keputusan arbitrasi internasional terhadap sengketa Kepuluan Spratly yang diajukan oleh Filipina. Bahkan, Cina membangun landasan di pulau yang dipersengketakan itu.
Indonesia dengan tegas menolak klaim China atas Laut Natuna Utara berdasarkan garis nine-dash line karena sesuai dengan keputusan UNCLOS PBB garis yang ditetapkan China itu masuk ke wilayah territorial Laut Natuna Utara.
2. Indonesia Harus Memperkuat Diplomasi
Presiden Jokowi sendiri sudah mengeluarkan pernyataan ini "sembilan titik garis putus-putus yang selama ini diklaim China dan menandakan perbatasan maritimnya tidak memiliki dasar hukum internasional apa pun." Jokowi benar karena garis nine-dash line yang dibuat China itu sudah memasuki ZEE Indonesia yang sudah diakui PBB melalui UNCLOS.
Beijing tidak kalah akal. Mereka mengatakan nelayan yang ditangkap adalah nelayan yang mencari ikan di fishing ground. Padahal, fishing ground harus ada kesepakatan antara dua negara yang berbatasan lautnya dan nalayan pun adalah nelayan tradisional dengan hanya memakai perahu dan pancing. Sedangkan nelayan China memakai kapal motor dan pukat serta dikawal kapal penjaga pantai.
Tidak mau kalah Beijing lagi-lagi bertindak sepihak dengan menerapkan ADIZ (Air Defense Identification Zone/Zona Identifikasi Pertahanan Udara) sebagai bagian dari provokasi kekuatan ‘Negeri Tirai Bambu’ dalam percaturan politik dunia, khususnya di wilayah Laut China Selatan. ADIZ mencakup beberapa bagian di wilayah udara Laut China Selatan.
Cara lain yang dilakukan China untuk menguasai wilayah Laut Cina Selatan yaitu membangun pulau buatan untuk kepentingan militer di wilayah sengketa, terutama dengan Filipina, yang dilengkapi dengan sebuah landasan pacu untuk pesawat terbang. Beijing sendiri kembali memperingatkan Filipina bahwa mereka tidak akan menerima hasil arbitrase internasional terkait pertikaian wilayah di Laut Cina Selatan.
Jika China tidak mau mengakui hasil arbitrase internasional itu artinya China akan memakai kekuatan militer mengintimidasi negara-negara yang perairan lautnya masuk garis nine-dash line yang mereka tetapkan sepihak. Itu artinya Indonesia harus memperkuat diplomasi, perlu juga langkah-langah strategis untuk menjaga agar perairan Laut Natuna Utara tidak dicaplok Beijing sebagai bagian dari garis nine-dash line. (Artikel ini perama kali ditayangkan di Tagar.id pada tanggal 2 November 2020). []
* Syaiful W. Harahap adalah Redaktur di Tagar.id