Cerita Seorang Dokter di Bencana Gempa Lombok

Please, jika ada ambulans menyalakan sirene, menepilah. Mungkin sekali di dalamnya ada pasien yang sedang meregang nyawa.
Tim dokter Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) saat membantu pasien. (Foto: Dokpri/Yogi Prawira)

Mataram, (Tagar 12/9/2018) - Setelah lama berniat untuk ikut turun tangan langsung membantu warga terdampak bencana gempa bumi di Lombok, akhirnya Yogi Prawira berkesempatan berangkat sebagai Tim Satgas Bencana dari Ikatan Dokter Anak Indonesia.

Landing di Bandar Udara Internasional Lombok, Kamis (6/9/2018) lalu, ia bergegas mengantarkan donasi Koate (Faktor Pembekuan) untuk pasien Hemofilia yang sedang mengalami pendarahan hebat.

Tiba di IGD, seorang sejawat meminta tolong untuk mereview pasien lain yang datang dengan kejang dan penurunan kesadaran.

Ari YunantoProf Ari Yunanto. (Foto: Dokpri/Yogi Prawira)

Dari kejauhan tampak beberapa dokter dan perawat berkerumun sembari berusaha untuk memasang jarum infus. Bayi kecil itu tampak sesak berat, nafasnya cepat dan dalam.

"Diare sejak pagi, yang memang sedang mewabah, si bayi saat ini dalam kondisi syok karena kekurangan cairan. Pembuluh darahnya kolaps semua," tutur Yogi menceritakan apa yang dialaminya saat awal mula membantu pasien di Lombok.

Saat itu, jika si bayi tidak berhasil memasang infus perifer dalam kondisi kegawatan, maka pilihan berikutnya adalah akses intraosseus (melalui tulang).

"Terdengar ngilu dan menyeramkan? Tapi setiap menit yang kita habiskan untuk mencoba memasang infus perifer, akses sentral atau vena sectie yang dilakukan dengan pembedahan justru bisa semakin memperburuk kondisi pasien," lanjut dia bercerita.

Setelah meminta izin kepada orangtua, Yogi dan tim dokter yang lain memasang infus melalui tungkai. Dalam hitungan detik, infus terpasang dan cairan bisa segera masuk.

"Si bayi yang tadinya diam, lemas tak berdaya, mulai merespons, bahkan menangis dan bergerak aktif. Alhamdulillah," ungkap Yogi.

Tim Dokter IDAITim dokter Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) saat membantu pasien. (Foto: Dokpri/Yogi Prawira)

Lain lagi cerita dosen di Departement of Child Health Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia ini dalam menangani pasien di hari keenam keberadaannya di Rumah Sakit Lapangan yang ada di Tanjung, Kabupaten Lombok Utara.

"Hari keenam masih di RS Lapangan Lombok Utara. Seorang bayi usia empat hari. Datang dengan kejang berulang hingga henti nafas. Anak pertama dengan orangtua yang masih belia," cerita Yogi Prawira.

Dokter Fadil Rulian menangani di IGD. Yogi dan kolega kerjanya itu memindahkan pasien ke bagian ICU bayi.

Setelah mengamankan jalan nafas, tim dokter kesulitan mendapat akses infus.

Jalan injeksi infus melalui tulang menjadi pilihan saat gawat darurat. Beruntung, tenaga perawat sangat cekatan dan berhasil mendapatkan akses IV, sehingga IO bisa segera dilepas. Seorang bayi cukup bulan, sesuai masa kehamilan. ASI ekslusif. Tentu tidak tiba-tiba kejang dan berhenti bernafas.

Saat tim dokter mereview penanganan si bayi, ternyata tali pusatnya berbau busuk dengan bercak-bercak kehitaman. Oleh sang nenek, tali pusat yang seharusnya dibiarkan kering saja, malah dirawat dengan ramuan sirih dan ramuan lainnya.

Setelah ditanyakan ke orangtua si bayi, lokasi pengungsiannya berdekatan dengan kandang hewan. Status imunisasi yang pernah dilakukan si ibu tidak diketahuinya.

"Tampaknya, kami berhadapan dengan kasus tetanus neonatorum yang fatal," kata Yogi.

Bayi terus menerus mengalami kejang, padahal dua obat anti kejang sudah digunakan. Tim dokter pun memutuskan untuk segera merujuk si bayi ke RSUD Provinsi NTB yang berada di Mataram. Setelah beberapa kali telpon sana-sini, tempat bed ICU bayi dan alat bantu nafas di rumah sakit tujuan tersedia.

Masalah berikutnya timbul, tenaga medis yang akan mendampingi tidak berpengalaman menatalaksana bayi sakit. Dokter Fadil mengusulkan agar tim Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) ikut serta mendampingi.

Kapasitas ambulans terbatas, orangtua dan kakek nenek, juga keluarga lainnya meminta ikut. Solusinya keluarga ikut berangkat ke Mataram dengan mobil tim IDAI.

"Beberapa kali evakuasi pasien, dengan ambulans, helikopter bahkan pesawat terbang. Biasanya sudah dipersiapkan matang dengan tim dan alat yang lengkap. Tapi kami berkejaran dengan waktu, sehingga harus segera berangkat dengan persiapan singkat," cerita Yogi.

Rumah Sakit LapanganRumah Sakit Lapangan yang ada di Tanjung, Kabupaten Lombok Utara. (Foto: Dokpri/Yogi Prawira)

Sopir ambulans menyetir seperti kesetanan. Sirene meraung, namun tidak semua kendaraan mau menepi memberi jalan. Beberapa kali klakson dibunyikan bersamaan dengan suara sirine. Pemobil dan pemotor tetap kekeuh berada di depan ambulans.

"Please jika ada ambulans menyalakan sirene, menepilah. Karena mungkin sekali di dalamnya ada pasien yang sedang meregang nyawa dan butuh pertolongan segera," rutuk Yogi dalam hati.

Seorang polisi bersepeda motor, tiba-tiba mengawal mobil ambulans tanpa diminta.

"Pak polisi itu membuka jalan dan meminta orang-orang untuk menepi. Alhamdulillah, perjalanan yang sedianya memakan waktu dua jam, berhasil ditempuh kurang dari satu jam," ungkapnya.

Kondisi bayi sudah sangat kritis saat tiba si ICU bayi RSUD Provinsi. Tapi setidaknya tim dokter yang menangani si bayi sebelumnya sudah berusaha dengan maksimal.

"Dan sekarang saatnya untuk bertawakal," harap Yogi di RSUD Provinsi NTB, Selasa (11/9/2018).

Dari pengalamannya menangani si bayi, Yogi mengingatkan agar perawatan tali pusar dilakukan cukup bersih dan kering. Sehingga tidak perlu kasa, betadine, alkohol, apalagi ramuan sirih, kopi dan lain sebagainya.

Kata Yogi, infeksi tali pusat bisa fatal dan mengancam jiwa. Bayi dan anak yang belum diimunisasi sangat rentan tertular penyakit berbahaya.

Yogi juga mengingatkan jika ada ambulans menyalakan sirene, pengendara yang lain diharap menepi dan memberi jalan.

Bencana yang luar biasa membutuhkan penanganan yang luar biasa. Beruntung Yogi bisa bertemu dan belajar dengan orang-orang yang luar biasa.

Yogi merasa sangat bersyukur bisa bertemu dengab Prof Ari Yunanto. Profesor neonatologi yang berdedikasi dan humble. Di usianya yang terbilang tidak muda lagi Prof Ari tetap bersemangat ikut dalam satgas siaga bencana. Meninggalkan ‘comfort zone’, Prof Ari terbang langsung dari Banjarmasin ke Lombok.

Saat Yogi bertanya, “Prof kok masih sangat bersemangat ikut turun?” Prof Ari pun menjawab, "Saya seperti yang lainnya, berpikir apa yang bisa saya bantu untuk meringankan beban saudara kita, dan hanya ini yang bisa saya kerjakan.” cerita Yogi menuturkan kata Prof Ari.

Pengetahuan serta pengalaman Prof Ari jelas sangat berharga di kondisi seperti itu. Dia terjun langsung menangani pasien di poli sampai bayi prematur di icu.

Ya, di Rumah Sakit Lapangan itu mereka memiliki peralatan icu bayi. Prof Ari mengajarkan kangaroo mother care kepada orangtua si bayi yang ditanganinya. Dia juga dengan sabar memberi penyegaran ilmu untuk tenaga medis dan paramedis lainnya mengenai pemberian ASI pada keadaan darurat bencana.

"Memang kondisi yang serba terbatas membuat kreatifitas menjadi tanpa batas. Bismillah, semoga Allah ridhoi ikhtiar kami dalam menolong pasien-pasien di Lombok ini," ungkapnya. []

Berita terkait
0
Laksamana Linda Fagan Perempuan Pertama Kepala Pasukan Penjaga Pantai Amerika
Presiden Biden memuji Laksamana Linda Fagan perempuan pertama sebagai panglima baru Pasukan Penjaga Pantai atau Coast Guard