Bolehkah WNA Miliki e-KTP? Baca Undang-undangnya

Sebab, terdapat perbedaan pandangan mengenai boleh atau tidaknya seorang WNA memiliki e-KTP.
Ketua Panwaslu Kabupaten Jepara, Arifin mengatakan, dalam pemilu pengawasan secara umum memastikan tak ada kecurangan dan tak ada warga yang tak punya hak pilih yang mencoblos. (Ilustrasi)

Jakarta, (Tagar 28/2/2019) - Pemberian Kartu Tanda Penduduk Elektronik atau e-KTP pada salah seorang Warga Negara Asing (WNA) di Kabupaten Cianjur, Jawa Barat, berbuah polemik. Sebab, terdapat perbedaan pandangan mengenai boleh atau tidaknya seorang WNA memiliki e-KTP.

Lalu, sebenarnya bolehkah e-KTP dimiliki oleh WNA?

Aturan mengenai kepemilikan e-KTP sebenarnya sudah tercantum dalam Undang-undang Nomor 24 Tahun 2013 Tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 23 Tahun 2006 Tentang Administrasi Kependudukan. Setelah dilakukan pengecekan terdapat dua pasal yang memang merupakan syarat WNA memiliki e-KTP, yakni pasal 63 dan pasal 64.

Misalnya pada pasal 63 ayat 1, berbunyi dijelaskan bahwa WNA yang sudah memiliki Kitap wajib memiliki e-KTP, atau bisa disebut dengan KTP-el.

"Penduduk Warga Negara Indonesia dan Orang Asing yang memiliki Izin Tinggal Tetap yang telah berumur 17 (tujuh belas) tahun atau telah kawin atau pernah kawin wajib memiliki KTP-el (e-KTP)," bunyi pasal itu.

Kemudian dalam pasal 64 ayat 7, poin b, dijelaskan terkait masa berlaku bagi WNA yang memiliki KTP-el.

"Orang Asing masa berlakunya disesuaikan dengan masa berlaku Izin Tinggal Tetap," bunyi pasal tersebut.

Untuk lebih jelasnya, berikut pasal lengkap 63 dan 64 mengenai Undang-Undang KTP-el yang ditandatangani Presiden Indonesia ke-6 Susilo Bambang Yudhoyono, pada 26 Desember 2013.

13. Ketentuan ayat (1), ayat (3), ayat (4), ayat (5), dan ayat (6) Pasal 63 diubah dan ayat (2) dihapus, sehingga Pasal 63 berbunyi sebagai berikut:

Pasal 63

(1) Penduduk Warga Negara Indonesia dan Orang Asing yang memiliki Izin Tinggal Tetap yang telah berumur 17 (tujuh belas) tahun atau telah kawin

atau pernah kawin wajib memiliki KTP-el.

(2) Dihapus.

(3) KTP-el sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku secara nasional.

(4) Orang Asing sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib melaporkan perpanjangan masa berlaku atau mengganti KTP-el kepada Instansi Pelaksana paling lambat 30 (tiga puluh) hari sebelum tanggal masa berlaku Izin Tinggal Tetap berakhir.

(5) Penduduk yang telah memiliki KTP-el wajib membawanya pada saat bepergian.

(6) Penduduk sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya memiliki 1 (satu) KTP-el.


14. Ketentuan Pasal 64 diubah, sehingga Pasal 64 berbunyi sebagai berikut:

Pasal 64

(1) KTP-el mencantumkan gambar lambang Garuda Pancasila dan peta wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, memuat elemen data penduduk, yaitu NIK, nama, tempat tanggal lahir, laki-laki atau perempuan, agama, status perkawinan, golongan darah, alamat, pekerjaan, kewarganegaraan, pas foto, masa berlaku, tempat dan tanggal dikeluarkan KTP-el, dan tandatangan pemilik KTP-el.

(2) NIK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menjadi nomor identitas tunggal untuk semua urusan pelayanan publik.

(3) Pemerintah menyelenggarakan semua pelayanan publik dengan berdasarkan NIK sebagaimana dimaksud pada ayat (2).

(4) Untuk menyelenggarakan semua pelayanan publik sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Pemerintah melakukan integrasi nomor identitas yang telah ada dan digunakan untuk pelayanan publik paling lambat 5 (lima) tahun sejak Undang-Undang ini disahkan.

(5) Elemen data penduduk tentang agama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bagi Penduduk yang agamanya belum diakui sebagai agama berdasarkan ketentuan Peraturan Perundang-undangan atau bagi penghayat kepercayaan tidak diisi, tetapi tetap dilayani dan dicatat dalam database kependudukan. (6) Dalam KTP-el sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tersimpan cip yang memuat rekaman elektronik data perseorangan.

(7) KTP-el untuk:

a. Warga Negara Indonesia masa berlakunya seumur hidup; dan

b. Orang Asing masa berlakunya disesuaikan dengan masa berlaku Izin Tinggal Tetap.

(8) Dalam hal terjadi perubahan elemen data, rusak, atau hilang, Penduduk pemilik KTP-el wajib melaporkan kepada Instansi Pelaksana untuk dilakukan perubahan atau penggantian.

(9) Dalam hal KTP-el rusak atau hilang, Penduduk pemilik KTP-el wajib melapor kepada Instansi Pelaksana melalui camat atau lurah/kepala desa paling lambat 14 (empat belas) hari dan melengkapi surat pernyataan penyebab terjadinya rusak atau hilang.

(10) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara perubahan elemen data penduduk sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Menteri.

Apakah wakil rakyat baca UU?

Meski sudah ada undang-undang yang menjelaskan terkait aturan WNA memiliki KTP-el tetap saja, sejumlah wakil rakyat ini ngotot bahwa WNA tidak boleh memiliki KTP-el. Salah satunya, Anggota Komisi II Ahmad Riza Patria. Ia menilai seorang WNA tidak diperbolehkan memiliki KTP-el seperti yang dimiliki Gouhui Chen.

"Jadi begini ya, KTP itu hanya untuk WNI. Tidak boleh WNA memperoleh KTP. Kalau dia tinggal di Indonesia, WNA itu kan punya izin tinggal, ada visa, ada Kitas-nya. Identitas dia, satu paspor, dia ada izin tinggal sementara, jadi tidak boleh dikasih KTP. Salah itu. Masa orang asing dikasih KTP," ujar politikus Partai Gerindra ini kepada wartawan, Selasa (26/2). 

Begitu pula dengan Wakil Ketua Komisi II DPR Mardani Ali Sera, menurutnya KTP-el hanya boleh untuk WNI saja. "Untuk dapat e-KTP, dia mesti warga negara Indonesia, gitu. Kalau mereka belum melakukan naturalisasi, tidak mungkin dapat e-KTP, gitu," jelas politikus PKS ini.

Namun, Dirjen Kependudukan dan Catatan Sipil (Dukcapil) Kemendagri, Zudan Arif Fakrullah, tidak satu pemikiran dengan kedua wakil rakyat tersebut. Ia menegaskan bahwa WNA yang tinggal di Indonesia memang boleh, bahkan wajib memiliki e-KTP. Dengan aturan, WNA harus memenuhi syarat dan memiliki izin tinggal tetap di Indonesia.

"Ini sesuai dengan UU Administrasi Kependudukan sehingga tidak haram WNA punya KTP elektronik," tegasnya.
Berita terkait
0
Investasi Sosial di Aceh Besar, Kemensos Bentuk Kampung Siaga Bencana
Lahirnya Kampung Siaga Bencana (KSB) merupakan fondasi penanggulangan bencana berbasis masyarakat. Seperti yang selalu disampaikan Mensos.