Biaya Pembuatan Visa di Australia Kian Mahal Sementara Waktu Kerja Pelajar Internasional Dibatasi

Peningkatan biaya ini diumumkan Pemerintah Australia saat mengumumkan anggaran federal 2023-2024
Ilustrasi - Kenaikan biaya pembuatan visa Australia akan semakin mahal, terutama bagi yang sangat membutuhkannya. (Foto: abc.net.au/indonesian - Reuters/Loren Elliott)

Oleh: Jason Fang, Erwin Renaldi, dan Will Jackson

TAGAR.id – Mulai 1 Juli 2023 mendatang, biaya pembuatan visa untuk mengunjungi Australia akan meningkat 6 hingga 40 persen, tergantung jenisnya.

Peningkatan biaya ini diumumkan Pemerintah Australia saat mengumumkan anggaran federal 2023-2024, kemarin malam, yang juga menyebutkan alasannya untuk meningkatkan proses pembuatan visa dan "prioritas" lainnya.

Sejak memenangkan pemilu tahun lalu, Partai Buruh telah mengurangi waktu proses pembuatan visa.

Sementara itu, biaya untuk pembuatan visa bisnis dan investasi bagi kalangan pemilik bisnis, investor, dan pengusaha yang ingin memperluas usahanya di Australia akan naik 40 persen, dari 9.195 dolar Australia (setara dengan Rp 91.643.898,45) jadi 12.873 dolar Australia (setara dengan Rp 128.301.457,83).

Con Paxinos, wakil presiden dari lembaga Migration Insititute of Australia mengatakan kenaikan tersebut akan baik untuk Pemerintah Australia, tetapi "sangat signifikan" akan memberatkan bagi mereka yang ingin datang ke Australia.

Con PaxinosCon Paxinos mengatakan biaya kenaikan pembuatan visa Australia sangatlah signifikan. (Foto: abc.net.au/indonesian - Koleksi Pribadi)

"Jelas, apa yang dikatakan Pemerintah Australia adalah mereka akan dapat memperoleh pendapatan itu dari orang-orang yang akan mengajukan visa," katanya.

"Namun, akan sangat sulit bagi banyak keluarga yang memang perlu mengajukan visa-visa jenis tertentu [yang dibutuhkan."

Tahun keuangan ini Pemerintah Australia menganggarkan 190.000 orang untuk program migrasi permanen, atau berkurang 5.000 orang dibanding tahun keuangan sebelumnya.

Beberapa yang disebut dalam anggaran tahun 2023-2024 terkait imigrasi lainnya:

Peningkatan jumlah minimal gaji bagi pekerja migran terampil sementara dari 53.900 dolar Australia (setara dengan Rp 537.205.669) jadi 70.000 dolar Australia (setara dengan Rp 697.669.700)

•Waktu kerja pelajar internasional menjadi 48 jam per dua minggu (kecuali bagi mereka yang bekerja di sektor perawatan lansia masih boleh bekerja tanpa batas jam kerja hingga akhir tahun 2023)

•Pelajar internasional yang lulus dari perguruan tinggi Australia diberikan hak bekerja tambahan selama dua tahun

•Disediakan jalur langsung menjadi warga negara Australia untuk warga negara Selandia Baru

•Disediakan jalur bagi mereka yang memiliki visa jenis 'Temporary Skill Shortage' untuk mengajukan 'Permanent Resident'

Roshana RasheedRoshana Rasheed (kanan) dan saudara perempuannya Azmina datang ke Australia dari Sri Lanka. (Foto: abc.net.au/indonesian - Koleksi pribadi)

Roshana Rasheed asal Sri Lanka yang tinggal di Adelaide mengaku kecewa dengan naiknya biaya pengajuan visa di Australia.

"Sepertinya mereka sangat ingin mendapatkan uang," kata Roshana.

"Saya rasa orang-orang masih akan datang, hanya saja menjadi lebih sulit."

Yang juga mengkhawatirkan dirinya adalah tidak adanya dukungan lebih lanjut bagi pendatang baru ke Australia.

Ia mencontohkan dirinya yang tidak bisa mendapat pekerjaan di bidangnya sejak datang ke Australia, meski ia sudah punya pengalaman.

Saat ini dia bekerja di sebuah perusahaan telekomunikasi, itu pun di bidang 'entry level'.

"Kemampuan saya sebenarnya ada dalam daftar yang dibutuhkan, tapi pemerintah Australia tidak melakukan apa-apa."

"Pemerintah Australia ingin uang kita, tapi perlu ada juga dukungan yang terus diberikan kepada kita."

Sandra Elhelw WrightSandra Elhelw Wright, CEO Settlement Council of Australia, mengatakan layanan bagi pendatang baru di Australia tidak dapat bertahan tanpa dana yang memadai. (Foto: abc.net.au/indonesian - Koleksi pribadi)

Lembaga Settlement Council of Australia (SCOA), yang mewakili penyalur bantuan bagi migran dan pengungsi baru, juga mengatakan mereka yang baru datang tidak cukup diperhatikan

"Mereka yang bekerja di layanan bantuan pendatang baru didorong bekerja sampai titik habis," kata Sandra Elhelw Wright, direktur eksekutif SCOA.

"Tanpa dana yang memadai kita akan melihat lebih banyak organisasi penyedia bantuan untuk migran baru yang terpaksa kehilangan pekerja dan mengurangi layanan mereka, meninggalkan migran dan pengungsi yang seringkali tidak bisa mencari nafkah sendiri."

Yeganeh SoltanpourMahasiswi seperti Yeganeh Soltanpour, Presiden Dewan Mahasiswa Internasional Australia (CISA) hanya akan bisa bekerja 48 jam per minggu mulai 1 Juli. (Foto: abc.net.au/indonesian - Koleksi pribadi)

Tanggapan dari pelajar internasional

Yeganeh Soltanpour, presiden dari Council of International Students Australia (CISA) Dewan Mahasiswa Internasional Australia (CISA) mengatakan menyambut baik pembatasan jam kerja, karena menurutnya banyak pelajar internasional yang bekerja di "jam-jam yang tidak semestinya".

"Kita sekarang akan dibatasi bekerja 48 jam per dua minggu yang artinya bekerja tiga hari dalam seminggu dan dalam kasus mahasiswa internasional seperti saya, kebanyakan dari kami selama ini juga sudah bekerja tiga hari seminggu," katanya.

Menurut mahasiswi MBA di University of Adelaide itu, yang perlu ditingkatkan adalah perlindungan dan dukungan bagi pelajar internasional agar tidak dieksploitasi, terutama mereka yang bekerja di kawasan regional.

Pemerintah Australia juga akan mengeluarkan aturan baru untuk membatasi siapa saja yang bisa belajar di sini setelah Menteri Dalam Negeri Clare O'Neil mengatakan terlalu banyak mereka yang datang menggunakan visa pelajar untuk mendapatkan status permanen dan bukannya untuk belajar.

"Saya kira dalam semua sistem ada saja yang bisa disalahgunakan, dan ada yang sengaja datang dengan alasan yang tidak benar," kata Yaganeh.

"Namun saya kira mayoritas mahasiswa internasional, saya yakin mereka datang dengan maksud untuk belajar."

Shawn ZhengShawn Zheng optimistis pengumuman dalam anggaran kemarin malam tidak akan mempengaruhi peluangnya untuk menjadi penduduk tetap Australia. (Foto: abc.net.au/indonesian - Koleksi pribadi)

Mahasiswa internasional di Sydney, Shawn Zheng, mengatakan ia merasa optimis dengan peluangnya untuk bisa menjadi 'Permanent Resident' (PR), setelah tahu jika jumlah yang akan diterima tidak terlalu berubah.

"Pengurangannya tidak terlalu signifikan, dibandingkan dengan tahun keuangan lalu dan proporsi migrasi terampil juga tidak banyak berubah," kata Shawn.

"Saya pikir tahun keuangan berikutnya juga akan sama dengan tahun ini, meski mungkin akan sedikit lebih sulit."

Tapi ia merasa prihatin dengan kebijakan bagi migran terampil yang terus berubah.

Misalnya, ia khawatir persyaratan untuk izin tinggal permanen yang akan diubah dengan memasukkan pengalaman kerja di Australia, sehingga bisa berdampak pada rencanya.

Kepala eksekutif dari lembaga Settlement Services International Violet Roumeliotis mengatakan ia ingin melihat penambahan jalur migrasi terampil bagi mereka yang datang ke Australia dengan alasan kemanusiaan, seperti pencari suaka dan pengungsi, atau biaya pembuatan visa yang dibebaskan bagi mereka.

“Jalur ini memungkinkan program pemukiman kembali pengungsi untuk melanjutkan fokus pada pengungsi yang memiliki kebutuhan besar, serta kemitraan internasional,” katanya.

Dia menambahkan program percontohan, seperti 'Skilled Refugee Labour Agreement Pilot' dan 'Community Refugee Settlement', sudah memberikan bukti jalur seperti ini layak dan hambatan-hambatan yang ada bisa diatasi.

"Memperluas jalur migrasi terampil untuk jalur kemanusiaan akan membantu mengatasi kekurangan keterampilan yang kritis di Australia, bermanfaat secara sosial bagi para pengungsi dan masyarakat lain, serta meningkatkan kesadaran publik yang lebih besar dan dukungan bagi penyediaan jalur kemanusiaan yang terencana," katanya. (abc.net.au/indonesian). []

Berita terkait
Perdebatan Tentang Bentuk Monarki Konstitusional di Australia
Di Australia, kematian Ratu Elizabeth memicu kembali perdebatan tentang masa depan konstitusional negara itu