Bantah Eggi Sudjana, Ini Penjelasan Imam Besar Masjid Istiqlal Soal Trinitas Dalam Kristen

Imam Besar Masjid Istiqlal KH Nasaruddin Umar menjelaskan bahwa konsep Trinitas dalam Agama Kristen sama sekali tak bertentangan dengan Pancasila,
Imam Besar Masjid Istiqlal Prof. Dr. KH Nasaruddin Umar (Foto: muslimmedianews)

Jakarta, (Tagar 7/10/2017) - Imam Besar Masjid Istiqlal Jakarta Prof. Dr. KH Nasaruddin Umar menjelaskan bahwa konsep Trinitas atau Tritunggal dalam ajaran Agama Kristen sama sekali tak bertentangan dengan Pancasila, terutama sila pertama Ketuhanan Yang Maha Esa.

Pernyataan Nasaruddin Umar yang telah tersebar dan menjadi viral di media sosial ini sekaligus menyanggah ucapan pengacara Eggi Sudjana yang menyebut Agama Kristen, juga Hindu dan Budha, bertentangan dengan Pancasila, terutama sila pertama, sehingga harus dibubarkan.

Menurut Eggi, selain Islam, agama lain bertentangan dengan Pancasila karena Kristen Trinitas, Hindu Trimurti, dan sepengetahuan Eggi ajaran Budha tidak punya konsep Tuhan, kecuali dengan proses Amitaba dan apa yang diajarkan oleh Sidarta Gautama.

Berikut pernyataan lengkap Nasaruddin Umar yang diterima tagar.id.

Doktrin Trinitas atau Tritunggal dalam agama Kristen sama sekali tidak ber­benturan dengan Ketuhanan YME. Doktrin Trinitas meng­gambarkan Satu Tuhan da­lam tiga pribadi (one God in three Divine Personsthree), yaitu Bapa, Anak (Yesus Kris­tus), dan Roh Kudus.

Tiga konsubstansi tersebut dapat dibedakan, namun tetap merupakan satu substansi. Doktrin Trini­tas tidak secara eksplisit dalam Kitab Suci tetapi Kitab Suci memberikan kesaksian tentang kegia­tan suatu pribadi yang hanya dapat dipahami dari segi Trinitaris. Tidak heran jika doktrin ini memi­liki bentuk pembenarannya lebih luas pada akhir abad ke-4. Dalam Konsili Lateran IV dijelaskan: “Allah yang memperanakkan, Anak yang diper­anakkan, dan Roh Kudus yang dihembuskan”. Meskipun memiliki “tiga pribadi” tetapi tetap satu.

Logika doktrin Trinitas sesungguhnya bisa di­jelaskan melalui logika Ahadiyah-Wahidiyah da­lam teosofi Islam, Ein Sof-Sefirod dalam Kabba­la Yahudi, Atma-Brahma dalam agama Hindu, Yang-Yin dalam teologi Taoisme. Sesuatu yang berganda atau berbilang tidak mesti harus dipertentangkan dengan konsep keesaan. Kon­sep Asma’ al-Husna berjumlah 99 tidak mesti bertentangan dengan keesaan Allah Swt.

Suatu saat seorang muslim mendebat se­orang pendeta dengan mempertanyakan kon­sep keesaan Tuhan dengan kehadiran Bapak, Anak, dan Roh Kudus. Sang pendeta menga­takan, kami masih mending karena hanya tiga. Bagaimana dengan Islam Tuhannya berjumlah 99. Dengan tegas dijawab bahwa 99 nama itu tetap Tuhan Yang Maha Ahad itu. Lalu dijawab, apa bedanya dengan agama kami. Yang tiga itu tetap yang satu itu.

Dalam diskusi lain, seorang murid mengadu ke mursyid (guru spiritual), bagaimana saudara kita yang beragama Kristen mengaku berketuhanan YME tetapi memiliki doktrin Trinitas, atau sau­dara kita yang beragama Hindu memiliki doktrin Trimurti?

Sang mursyid menjawab, di situlah ke­lirunya mereka karena membatasi Tuhan hanya tiga, padahal semua yang ada adalah Dia, tidak ada yang ada (maujud) selain Dia. Sang mursy­id mengutip sebuak ayat: Wa lillah al-masyriq wa al-magrib fa ainama tuwallu fa tsamma wajh Al­lah (Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat, maka kemana pun kamu menghadap di situlah wajah Allah. Sesungguhnya Allah Maha Luas (rahmat-Nya) lagi Maha Mengetahui. (Q.S. al- Baqarah/2:115).

Setelah mendengarkan panjang lebar penjelasan mursyid barulah murid itu lega. Akan tetapi kembali bertanya, kalau saudara kita tadi keliru karena hanya membatasi Tuhan han­ya tiga, bagaimana dengan saya yang hanya membatasi Tuhan hanya satu?

Sang mursyid menjawab: Sesungguhnya mungkin tidak ada yang salah, termasuk anda, karena yang ban­yak itu ialah yang satu itu dan yang satu itulah yang memiliki wajah yang banyak (al-wahdah fi al-katsrah wa al-katysrah fi al-wahdah/the one in te many and the many in the one).

Bagi umat Kristiani doktrin Trinitas sama sekali tidak mengganggu konsep kemahae­saan Tuhan dan Ketuhanan YME. Hanya orang-orang luar Kristen sering sulit mema­hami Tuhan mempunyai anak, karena dalam benak masyarakat kata “Anak” masih selalu di­hubungkan dengan anak biologis. Padahal da­lam Bahasa Arab kata “Ibn” atau “Son” dalam Bahasa Inggris tidak selamanya berarti anak bi­ologis. Kata “anak” bisa berarti simbol kedeka­tan atau representatif, seperti kata “anak-anak Indonesia di luar negeri” berarti anak-anak yang menampilkan ciri khas dan karakteristik bangsa Indonesia.

Seorang anak lebih menciri­kan karakter bapaknya sering diistilahkan “anak bapaknya”. Begitu dekatnya hubungan dan banyaknya persamaan sifat dan karakter sese­orang dengan sesuatu sering diistilahkan anak dari sesuatu itu. Persoalan semantik sering kali menjadi faktor penyebab terjadinya perbedaan mendasar, bahkan menjadi sumber konflik.

Prof. Dr. KH Nasaruddin Umar

Imam Besar Masjid Istiqlal

(Fet)

Berita terkait
0
Video Jokowi 'Menghadap' Megawati Sangat Tidak Elok Dipertontonkan
Tontonan video Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) yang sedang bertemu dengan Ketua Umum PDIP, Megawati Soekarno Putri, sangat tidak elok.