Bank Indonesia Kembali Pertahankan Suku Bunga di Level 5 Koma 75 Persen

Sejumlah ekonom memperkirakan BI kemungkinan besar masih akan menaikkan suku bunga acuan pada tahun ini
Gubernur Bank Indonesia (BI), Perry Warjiyo, berbicara dalam pertemuan tahunan dengan pemangku kepentingan keuangan di Jakarta, 30 November 2022. (Foto: voaindonesia.com/REUTERS/Willy Kurniawan)

TAGAR.id, Jakarta – Bank Indonesia (BI) kembali mempertahankan suku bunga acuan atau BI Rate di level 5,75 persen. Dengan ketidakpastian global, sejumlah ekonom memperkirakan BI kemungkinan besar masih akan menaikkan suku bunga acuan pada tahun ini. Ghita Intan melaporkannya untuk VOA.

Gubernur BI, Perry Warjiyo, mengungkapkan, Rapat Dewan Gubernur (RDG) BI pada 24-25 Mei 2023 memutuskan untuk kembali mempertahankan BI 7 days Reverse Repo Rate sebesar 5,75 persen. BI juga mempertahankan suku bunga deposit facility pada level 5 persen, dan suku bunga lending facility pada 6,5 persen.

Ia menjelaskan keputusan ini sejalan dengan kebijakan moneter untuk memastikan bahwa inflasi inti akan tetap terkendali dalam kisaran tiga plus minus satu persen di sisa tahun 2023, dan inflasi atau indeks harga konsumen (IHK) dapat segera kembali ke dalam kisaran sasaran tiga plus minus satu persen pada triwulan-III 2023.

“Fokus kebijakan BI diarahkan pada penguatan stabilisasi nilai tukar rupiah untuk mengendalikan barang impor, imported inflation dan mitigasi dampak rambatan ketidakpastian pasar keuangan global,” ungkap Perry dalam konferensi pers di Jakarta, 25 Mei 2023.

Perry juga menuturkan bahwa kebijakan likuiditas dan makro prudensial yang longgar akan tetap dilanjutkan guna mendorong penyaluran kredit dan pembiayaan. Hal ini, katanya, dilakukan untuk tetap menjaga stabilitas sistem keuangan.

logo biFILE: Logo Bank Indonesia di Kantor Pusat Bank Indonesia di Jakarta, 2September 2020. (Foto: voaindonesia.com/REUTERS/Ajeng Dinar Ulfiana)

Ke depannya, kata Perry, akselerasi digitalisasi sistem pembayaran juga akan terus di dorong untuk memperluas ekonomi dan keuangan digital serta penguatan stabilitas sistem dan layanan pembayaran.

“Bauran kebijakan moneter, makro prudensial dan sistem pembayaran BI tersebut terus diarahkan untuk mendukung pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan,” katanya.

Dalam kesempatan ini, Perry juga menyoroti negosiasi plafon utang pemerintah Amerika Serikat (US) yang masih berjalan sampat saat ini, dan mengakibatkan ketidakpastian di pasar keuangan global.

“Berlanjutnya negosiasi mengenai debt ceiling. Sejarah mengatakan akan soft, kami meyakini akan terjadi kompromi diantara pemerintahan dan di DPR-nya AS, tapi kompromi mengenai debt ceiling apakah dengan penurunan expenditure, ini yang kami harus lihat dengan diskusi dan negosiasi yang masih berlanjut, kemungkinan sampai Juni. Ini yang tentu saja harus kita lihat. Sementara tentu saja masih ada ketidakpastian tidak hanya mengenai geopolitik, tapi juga di beberapa negara lain,” tuturnya.

Meski begitu, katanya, di tengah ketidakpastian ini, aliran modal asing atau net inflow ke Indonesia masih terjadi sampai.

“Sehingga tadi kenapa kalimatnya BI Rate tetap. Fokusnya adalah memperkuat stabilisasi nilai tukar rupiah supaya imported inflation tetap rendah dan dampak rambatan ketidakpastian pasar keuangan itu bisa dimitigasi,” katanya.

Bhima YudhistiraAda beberapa sektor yang berpotensi bisa menjadi lebih baik ke depannya dengan peningkatan kerja sama ekonomi Indonesia-Amerika Serikat. (Foto: Tagar/m.youtube.com/Bhima Yudhistira).

Ekonom CELIOS, Bhima Yudhistira, mengatakan semua pihak saat ini masih menunggu hasil negosiasi plafon utang di Amerika Serikat.

“Sebenarnya BI masih menahan suku bunga, tapi semua sedang tertuju pada masalah batas utang di Amerika, itu adalah game changer-nya. Kalau sampai Amerika gagal bayar utang mendekati 1 Juni, maka bank sentral di banyak negara pasti akan menaikkan suku bunga untuk mempertahankan likuiditas sehingga ini semua sedang menunggu,” kata Bhima.

Maka dari itu, menurutnya, masih ada kemungkinan bahwa BI akan kembali menaikkan suku bunga acuan pada tahun ini. Selain masalah kemungkinan gagal bayar utangnya Amerika, kemungkinan kenaikan BI Rate juga dipengaruhi oleh inflasi. Meskipun saat ini inflasi sudah cenderung menurun, namun kata Bhima akan ada tekanan dari sisi pangan yakni adanya El Nino yang tetap harus diantisipasi.

“Ini membuat kenijakan suku bunga kalau tidak sekarang, atau ke depan masih ada kemungkinan naik 2-3 kali sepanjang tahun ini. Jadi masih banyak ketidakpastiannya,” imbuhnya.

Ia mengatakan, apabila suku bunga acuan memang harus dinaikkan lagi, pemerintah harus menaruh perhatian terhadap sektor riil yang akan terpukul dengan kebijakan tersebut. Menurutnya, dengan terdampaknya sektor riil tersebut maka pertumbuhan perekonomian hanya akan bisa tumbuh di batas bawah dari target pemerintah yakni sekitar 4,5-4,8 persen. (gi/ab)/voaindonesia.com. []

Berita terkait
BI Terus Pertahankan Suku Bunga Acuan Sedangkan Rupiah Menguat Sinifikan
BI mempertahankan tingkat suku bunga acuan BI 7-Day Reverse Repo Rate (BI7DRR) sebesar 5,75 persen