Baihajar Tualeka, Mantan Perakit Bom Ubah Posisi Sebagai Kartini Maluku

Baihajar Tualeka mantan perakit bom molotov yang kemudian mengubah posisi sebagai penjaga perdamaian di Ambon.
Baihajar Tualeka mantan perakit bom molotov yang kemudian mengubah posisi sebagai penjaga perdamaian di Ambon. (Foto: Istimewa)

Jakarta, (Tagar 21/4/2018) - Baihajar Tualeka mantan perakit bom molotov yang kemudian mengubah posisi sebagai penjaga perdamaian di Ambon. 

Ia lahir di Desa Pelauw, Kecamatan Pulau Haruku, Kabuaten Maluku Tengah, 4 Februari 1974, anak kelima dari sembilan bersaudara, menghabiskan masa kecilnya di Papua, menamatkan pendidikan di Fakultas Pertanian, Universitas Pattimura, Ambon.

Pada masa konflik antara muslim dan nasrani di Maluku pada akhir tahun 1990-an, Baihajar berperan dalam menyiapkan bom molotov dan ketapel bagi kelompok muslim. Pada saat itu umat muslim dan umat kristiani sering bertengkar di jalan, melakukan arak-arakan dan saling melempar batu. 

Baihajar seperti orang Ambon lainnya, memandang bahwa konflik yang terjadi merupakan jalan suci membela agama. Rela mati sahid, percaya bahwa mati membela agama akan membuat seseorang langsung masuk surga. 

Pandangan Baihajar berubah saat ia melihat seorang lelaki dipukul sampai mati oleh umat dari agama lain. Pengalaman itu membuatnya berpikir ulang mengenai motivasinya untuk ambil bagian dalam konflik Ambon. 

Ia mempertanyakan apakah kekerasan sungguh menyelesaikan agama dan kenapa baik perempuan dan laki-laki harus membunuh satu sama lain atas nama agama.

Melalui perenungan mendalam, Baihajar mengubah cara pandangnya terhadap konflik Ambon. Ia kemudian mendirikan lembaga pemberdayaan perempuan dan anak (LAPPAN) di Ambon pada 2002. Ia ingin mengubah sikap dan perilaku masyarakat Ambon yang memunculkan kekerasan. 

Baihajar berkeinginan untuk mengakhiri konflik Ambon, kemudian secara aktif menginisiasi berbagai usaha pasca konflik di Maluku. Memfasilitasi pendidikan dan diskusi antara komunitas Islan dan Kristen hingga pelosok wilayah Ambon untuk mempromosikan perdamaian.

Pada 2012 ia memperoleh penghargaan Saparinah Sadli Award, pada 2013 meraih penghargaan 'Indonesian Women of Change Award' dari Pusat kebudayaan Amerika di Indonesia.

Andien dan Baihajar TualekaAndini Aisyah Haryadi populer dengan nama Andien, penyanyi jazz ketika mengisahkan perjalanan hidup Baihajar Tualeka (dalam bingkai foto) mantan perakit bom molotov yang kemudian mengubah posisi sebagai penjaga perdamaian di Ambon. (Foto: Screenshot WomanTalk)

Penyanyi jazz Andien terkesan pada Baihajar Tualeka yang mampu mengubah posisi dari pelaku konflik menjadi peredam konflik. Ia dalam sebuah video yang diunggahWomanTalk menarasaikan kisah Baihajar.

"Saya adalah seorang perakit bom, dan hasil rakitan saya pernah digunakan dalam konflik Ambon. Saat itu konflik sudah berlangsung lama, dan saya berpikir merakit bom adalah cara suci untuk membela agama saya. Percaya bahwa mati membela agama akan membuat saya langsung masuk surga. Sampai akhirnya saya melihat sendiri bagaimana orang bisa terbunuh karena bom molotov, seakan nyawa manusia tak ada harganya sama sekali.

Ketika nyawa melayang dengan gampang, lalu saya berpikir lagi tentang apa yang saya perjuangkan. Perang mengubah sudut pandang saya. Diam-diam bersama perempuan lain, saya mencoba membuka dialog dengan penganut agama lain, memulai diskusi antara komunitas Islam dan Kristen hingga ke pelosok-pelosok wilayah Ambon. 

Tahun 2002 bersama perempuan lain kami mencoba mendirikan lembaga pemberdayaan perempuan dan anak sebagai wadah belajar, berbagi, dan saling menguatkan. Saya percaya konflik tidak harus diakhiri dengan perang. Dan perempuan bisa memegang peranan dalam menciptakan kedamaian. Tidak mudah, tapi kami percaya perdamaian merupakan tujuan yang pantas untuk didapatkan semua pihak.

Saya Andien bercerita tentang Baihajar Tualeka."   

Baihajar Tualeka kini masih menjaga perdamaian di Ambon dengan menjalin dialog antaragama. (af)

Berita terkait