Aristides Katoppo dan Peristiwa Menggetarkan Hidupnya

Aristides Katoppo mempunyai kenangan di kota kelahirannya, Tomohon, Sulawesi Utara. Peristiwa yang membuatnya mencintai alam.
Aristides Katoppo. (Foto: Facebook/Istimewa)

Jakarta - Aristides Katoppo mempunyai kenangan yang tak pernah dilupakannya seumur hidupnya. Kenangan di kota kelahirannya, Tomohon, Sulawesi Utara, yang membuat ia kemudian mencintai alam lingkungan.

Ketika itu usia Aristides Katoppo baru enam tahun. Perang Dunia II meledak dan pesawat terbang tentara sekutu yang berbasis Morotai berseliweran di langit Tomohon. Sesekali dari pesawat itu dijatuhkan bom-bom yang memporakrandakan sejumlah wilayah di Sulawesi Utara.

Tides memiliki prinsip, tak akan kembali ke kantor, sebelum semua sumber yang dikejarnya dapat.

Suatu hari, sebuah bom jatuh dan meledak di sebuah sawah dekat rumah Aristides di daerah Matani, Timohon. Getaran bom itu demikian kuat sehingga rumah Aristides pun ambruk, rata dengan tanah. 

Malam itu bersama keluarganya Tides, demikian pria kelahiran 14 Maret 1938 itu biasa dipanggil, mengungsi ke sebuah ladang dekat kebun kopi milik pegawai ayahnya. Bersama saudaranya, Tides tidur di sebuah pedati yang ada tendanya. Ada pun orangtuanya, tidur di atas tikar di bawah pohon.

Saat tidur nyenyak, tanpa sadar Tides terguling ke luar tenda. Saat ia menengadah ia melihat pemandangan takjub: langit yang penuh dengan bintang-bintang bersinar, sebuah keindahan alam yang tak pernah ia lihat sebelumnya. “Itulah ingatan Tides, sebuah memori yang sangat indah dan mengesankan. Sampai sekarang pun Tides senang menerawang ke langit, bila bintang-bintang bertaburan,” kata Mimis Katoppo, istri Aristides dalam buku Tides Masih Mengembara, buku yang diterbitkan pada 2018 untuk memperingati ulangtahun pria bernama lengkap Elvianus Aristides Albert Katoppo yang ke-80.

Pengalaman menggetarkan saat usianya enam tahun itu, menurut Tides, yang membuat ia begitu mencintai alam, membuat ia senang mengembara, berpetualang. 

Tides tidak hanya kemudian membuat sejumlah lembaga yang berkaitan dengan kepecintaalaman atau lingkungan hidup (antara lain Himpunan untuk Kelestarian Indonesia –HUKLI), ia juga membidani lahirnya tabloid Mutiara, media yang pada 1980-an menjadi favorit para pecinta alam karena memuat banyak artikel tentang petualangan dan kehidupan di alam bebas.

Kantor media ini menjadi satu dengan Sinar Harapan, media yang dipimpin Tides. Sebagai wartawan Tides dikenal ulet di lapangan. Ia memiliki prinsip, tak akan kembali ke kantor, sebelum semua sumber yang dikejarnya dapat. 

Kepada wartawan muda, Tides tidak pelit berbagi ilmu, juga berbagi kontak narasumber. Dalam acara resmi, sebagai petinggi media dan perusahaan penerbitan, ia lebih banyak memakai batik lengan pendek, atau sesekali batik lengan panjang, ketimbang jas.

Mantan Ketua Dewan Pers, Stantley Adi Prasetyo menilai Tides sebagai seorang wartawan sejati. “Di balik kebesaran namanya, sosoknya selalu tampil secara sederhana. Berkaos oblong dan bersepatui sandal ke mana-mana,” kata Stanley di buku yang sama. []

Berita terkait
Obituary: Tides, Wartawan Pencinta Alam Telah Tiada
Aristides Katoppo (Tides), Pemred “Sinar Harapan” berpulang hari Minggu, 29 September 2019 pukul 12.05 di RS Abdi Waluyo, Jakarta Pusat