Arist: Nikahkan Anak Usia Dini Kena Pidana

Arist: nikahkan anak usia dini kena pidana. "Hal itu merupakan bentuk pelanggaran dan perampasan terhadap kemerdekaan anak," tegas Arist Merdeka Sirait.
Ilustrasi Pernikahan Dini (Foto: Starjogja.com)

Jakarta,(17/7/2018) - Belakangan ini jagat raya dihebohkan dengan adanya kampanye pernikahan usia dini yang juga telah viral di media sosial seperti salah satu akun Instagram @gerakannikahmuda. Bahkan, "Kampanye Nikah Muda" ini yang hingga sekarang telah intensif digalakkan di media sosial.

Adanya fenomena tersebut, Ketua Umum Komnas Perlindungan Anak Arist Merdeka Sirait merasa prihatin dengan situasi yang saat ini semakin marak terjadi di Indonesia. "Tentu kita prihatin terhadap situasi perkawinan usia anak. Saya tidak menggunakan definisi pernikahan usia dini. Hal itu karena Komnas Perlindungan Anak menganut bahwa defenisi anak itu adalah seseorang yang berusia di bawah 18 tahun. Jadi kita tidak menggunakan istilah pernikahan usia dini tapi perkawinan anak," kata Arist saat dihubungi Tagar, Senin (16/7).

Jika ada pihak otoritas baik lembaga pernikahan, orangtua, kelurahan, atau kepala desa yang membenarkan pernikahan di usia di bawah 18 tahun, Arist dengan tegas mengatakan, hal itu merupakan bentuk pelanggaran dan perampasan terhadap kemerdekaan anak.

"Jadi fenomena yang terjadi baik itu yang difasilitasi oleh lembaga-lembaga pernikahan, orangtua bahkan otoritas daerah baik di kelurahan atau di kepala desa itu membenarkan adanya perkawinan anak. Itu merupakan pelanggaran terhadap hak anak. Apa yang terjadi belakangan marak ini, Komnas Perlindungan Anak mengambil sikap bahwa itu pelanggaran dan perampasan kemerdekaan anak baik dinikahkan atau difasilitasi untuk menikah secara dini," ucap dia.

Adanya kampanye nikah muda di media sosial yang menyatakan ''daripada melakukan zinah mending nikah muda'', dia menilai pemikiran seperti itu harus diubah oleh seluruh masyarakat, terkhusus anak yang masih berusia di bawah 18 tahun.

"Gak ada alasan apa pun tentang hal itu, itu yang salah kaprah di bangsa ini. Undang-undang harus berketetapan adil dan diterapkan. Kalau kita bicarakan tentang hak anak tidak menggunakan istilah itu. Itulah yang salah dan itu pertanda  istilah itu malah mengabaikan hak anak," ungkapnya.

Maka dari itu dia mengkritisi Undang-Undang Nomor 1  Tahun 1974 tentang Perkawinan yang menyatakan, perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 tahun. Hal itu dikatakannya karena undang-undang itu merupakan produk hukum yang tidak berkeadilan dan diskriminatif.

"Kenapa laki-laki dan perempuan dibedakan usianya, bahwa laki-laki dan perempuan sama-sama ciptaan Tuhan. Kenapa hak dan kewajibannya itu dipisahkan, tidak bisa. Jadi itulah yang kita sebut undang-undang perkawinan itu adalah undang-undang diskriminatif dan Komnas Perlindungan Anak mengusulkan untuk mengubah itu dan mengganti dengan undang-undang yang berkeadilan," tuturnya.

Menurut Arist, baik laki-laki ataupun perempuan yang hendak melakukan pernikahan harus di atas usia 18 tahun. Jika di bawah usia tersebut masih dikatakan usia anak-anak.

"Di bawah 18 tahun tidak boleh dinikahkan. Di atas 18 tahun silakan, itu berlaku semua tidak diskriminatif karena itu tidak dikategorikan anak lagi. Laki-laki dan perempuan sama dan punya hak dan kewajiban yang sama di dunia ini," paparnya.

Sementara menanggapi pernikahan dini terhadap bocah laki-laki dan perempuan asal Binuang, Kabupaten Tapin, Kalimantan Selatan, kata dia siapa pun yang mendorong ataupun memfasilitasi hal tersebut, harus diberikan sanksi hukuman pidana. Hal itu karena merujuk pada Undang-Undang Perlindungan Anak yang menyatakan batas usia anak harus mencapai 18 tahun dalam pernikahan. Diketahui bocah laki-laki itu bernama Arifin (13) dan Ira Budiarti (14).

"Tidak boleh menikahkan anak di bawah 18 tahun, masyarakat harus tahu. Jika itu dilanggar dipidana orang yang turut serta mendorong atau apakah itu otoritas pemerintah baik itu pencatatan pernikahan sampai pada Lurah, Kepala Desa (Kades)," ujarnya.

"Iya sampai hari ini kita tolak dan itu merupakan tindak pidana. Bukan anaknya yang dipidanakan tetapi orang-orang yang punya otoritas yang mendorong itu. Bahkan kalau ada dispensasi yang dikeluarkan, itu dibatalkan ya gak boleh dilarang. Tetapi untuk tidak ada sebagai dispensasi dibenarkan perkawinan. Nanti kalau usia 18 tahun silakan gak ada masalah. Kalau ada dispensasi tentang itu sampai ke pengadilan, dipidana itu," tuturnya.

Senada dengan pendapat Arist, Ketua Umum Lembaga Perlindungan Anak Indonesia (LPAI) Seto Mulyadi berharap semua masyarakat ikut berperan dalam mencegah adanya pernikahan usia dini . Bahkan Satgas atau seksi perlindungan anak harus ada di tingkat RT dan RW, ini bertujuan untuk menyadari perlunya perlindungan anak dari berbagai aspek yang meliputi tindakan kekerasan, penelantaran,dan pembiaran terhadap pernikahan dini.

"Bukan hanya orangtua tapi masyarakat sekitarnya juga. Ini perlu disosialisasikan mengenai aspek negatifnya pernikahan usia dini.  Perlu juga dibentuk Satgas atau seksi perlindungan anak di lembaga RT dan RW, harus menyadari perlunya perlindungan anak," papar dia.

Menurut Seto, pernikahan dini dapat menimbulkan pernikahan yang tidak bahagia dan harmonis. Hal itu dapat disebabkan karena ketidaksiapan mental untuk mengarungi rumah tangga.

"Dari pengalaman banyak korban-korbannya. Artinya korbannya gak siap mental, terjadi perceraian, akhirnya anak yang dilahirkan menderita.  Kemudian juga bukan hanya secara fisik mengganggu kesehatan, tapi secara psikologi anak belum matang untuk bisa berbagi dalam suatu perkawinan," ungkapnya.

Namun dari sisi psikologis anak yang melakukan pernikahan dini, kata Psikolog Anak Rose Mini, anak tersebut di usianya itu masih mencari identitas diri. Sehingga belum dapat memegang tanggung jawab yang besar terhadap pernikahan.

"Pada waktu dia melakukan pernikahan usia muda, perkembangan dari sisi psikologis itu masih tahap remaja sehingga masih mencari identitas diri. Nah kalau anak yang belum jelas identitas dirinya dia belum tahu ke mana, gak tahu mau melakukan apa, belum matang. Lalu dikasih lagi tanggung jawab untuk menjadi istri atau suami itu bebannya melimpah-limpah. Akibatnya kalau ada masalah kecil, bisa dibikin jadi sesuatu luar biasa," paparnya.

Bukan Jalan Keluar

Dalam mengantisipasi pernikahan dini, dia mengatakan peran orangtua sangat penting untuk mendidik anak agar dapat mengontrol diri. Bahkan lingkungan juga dapat mempengaruhi anak untuk melakukan pernikahan dini.

"Peran orangtua harus ada. Orang tua harus dikasih sosialisasi bahwa menikah itu bisa menjadi jalan keluar anaknya tidak berzinah. Orangtua harus berikan informasi untuk mendidik anak agar bisa menilai itu. Bukan untuk amannya (nikah muda), ya udah dikawinin aja. Itu bukan jalan keluar. Diajarkan kepada mereka bagaimana mengontrol diri, bagaimana memberikan kepada anak-anak kita rem yang kuat supaya mereka tidak melakukan hal-hal yang tidak baik. Itu bisa melalui agama, dan penanaman moral," ujarnya.

Sebagai informasi dalam sisi medis misalnya, jika perempuan menikah di usia yang sangat muda, yakni 10 hingga 14 tahun, maka ia pun berisiko meninggal dunia saat hamil atau melahirkan. Bahkan, risiko ini disebut-sebut lima kali lebih besar jika dibandingkan dengan perempuan yang hamil di usia 20 hingga 25 tahun. Sementara itu, perempuan yang menikah di usia 15 hingga 19 tahun memiliki risiko kematian saat hamil atau melahirkan dua kali lebih besar.

Perempuan yang menikah di usia dini memang berisiko besar untuk terkena gangguan kesehatan di organ reproduksinya seperti trauma fisik pada organ tersebut, mengalami kehamilan dengan risiko tinggi, preeklampsia (komplikasi pada kehamilan) pada saat hamil, melahirkan bayi secara prematur, hingga kematian ibu. Bahkan, pernikahan di usia dini juga bisa meningkatkan resiko terkena kanker leher rahim.

Untuk sisi psikis, mereka yang menikah sangat muda cenderung masih memiliki emosi yang kurang stabil dan belum memiliki pola pikir yang matang. Dari data BKKBN, diketahui bahwa 44 persen perempuan yang menikah di usia dini ternyata menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) dengan frekuensi yang tinggi. Sisanya, mereka akan mengalami KDRT dengan frekuensi yang rendah. (ron)

Berita terkait