Anhar Gonggong: G-30-S/PKI, Apanya yang Mau Diluruskan?

Isu komunis atau PKI dapat menjadi alat politik yang memprovokasi lawan politiknya.
Ilustrasi. (Tagar/AF)

Jakarta, (Tagar 29/9/2018) - Tak ada ideologi yang benar-benar mati, termasuk ideologi komunisme di Indonesia. Bangkit atau tidaknya paham komunisme itu bergantung ruang yang diberikan kepada masyarakat.

"Kalau masyarakatnya mau membuka ruang bisa terjadi. Jadi bisa tergantung masyarakatnya. Kalau masyarakatnya buka jalan atau tidak atau pemberitaan (media) buka jalan atau tidak. Kalau gak ya gak," kata sejarawan Anhar Gonggong saat dihubungi Tagar News, Sabtu (29/9).

Dalam persoalan komunis atau PKI, kata Anhar, bukanlah menjadi suatu ketakutan atau tidak takut. Tetapi hal tersebut yang harus diketahui adalah mengenai latar belakang sejarah Gerakan 30 September 1965 ini.

2019 Tetap Anti PKI2019 Tetap Anti PKI

"Itu kan karena latar belakang sejarahnya yang harus diketahui. Kan itu bukan persoalan ketakutan atau tidak takut. Jadi apa yang dikenal ada macam-macamnya, ada pemberontakannya, ada peristiwanya dan segala macam. Jangan hal ini jadi disebut ketakutan," ucap dia.

Menguak sedikit latar belakang, Anhar Gonggong mengatakan kata 'PKI' disematkan setelah Pemerintahan Orde Baru dan menguasai situasi.  Saat itu Soeharto mengatakan dalang G30S, Letkol Untung yang merupakan anak buah Soeharto.

"Harus diketahui gerakannya itu Gerakan 30 September 1965, tanpa PKI. Baru dikaitkan ketika Soeharto mengatakan dalang G-30-S, Untung ini adalah PKI," ujarnya.

"Dilihat situasi saat itu, saya percaya PKI memang terlibat. Sampai sejauh mana keterlibatannya? Itu harus diteliti lagi,” ungkapnya.

Memang ketika G-30-S itu diadakan, kata 'PKI'-nya tidak ada. Baru setelah Letkol Untung kalah pemerintah Orde Baru menambahkan kata PKI.

"Jadi dalam sejarah tentang G-30-S/PKI, apanya yang mau diluruskan? Itu kan terjadi, yang menjadi kontroversial itu siapa dalang dan sebagainya. Hanya itu aja, tidak ada sesuatu yang baru," tuturnya.

Terkait Pilpres 2019, ahli sejarah ini juga tak memungkiri isu persoalan komunis atau PKI juga dapat menjadi alat politik yang dapat memprovokasi lawan politiknya.

"Bisa jadi (alat politik), apa saja  boleh jadi alat politik. Jadi gak ada yang gak bisa dijadikan alat politik," ungkapnya.

Menurut dia, isu PKI atau komunis dalam menjelang Pilpres 2019 ini juga dapat menjadi alat provokasi untuk melucuti lawan politik.

"Siapa sih yang tidak bisa mencari jalan untuk menggunakan alat (provokasi) yang bisa memenangkan? Kan sederhana saja. Jadi semua orang bisa (sengaja) memprovokasi," tandasnya.

Politisasi

Sementara itu, Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid mengatakan, politisasi film Pengkhianatan G-30-S/PKI harus dihentikan, baik oleh elite politik maupun TNI.

"Pilihan untuk menonton bareng atau tidak film tersebut adalah hak setiap warga. TNI seharusnya tidak dipaksa mengambil tindakan yang rawan disalahgunakan oleh kelompok elite politik tertentu," kata Usman Hamid dalam pernyataan tertulis di Jakarta, Jumat (28/9).

Menurut dia, mempersoalkan sikap Panglima TNI dan KSAD dengan kesan seolah-olah takut dan membuat prajurit menjadi penakut jika tidak memerintahkan nonton bareng film G-30-S/PKI adalah upaya politisasi TNI.

Bahkan, semasa Panglima TNI Gatot Nurmantyo ada kelompok masyarakat yang terpengaruh oleh isu ini sehingga terlibat aksi penyerangan dan perusakan kantor Yayasan LBH Indonesia.
"Ini adalah intimidasi terhadap pembela HAM," kata Usman.

Pada era Presiden BJ Habibie, Mendikbud Juwono Sudarsono membentuk tim khusus untuk meninjau ulang seluruh buku sejarah dalam versi G-30-S/PKI.

Menteri Penerangan Letnan Jenderal (Purn) Yunus Yosfiah pun mengakhiri keharusan pemutaran tahunan film "Pengkhianatan G-30-S/PKI" yang diproduksi tahun 1981 itu.

"Ini adalah bukti bahwa sejarah peristiwa 30 September 1965 ditinjau ulang dan direvisi oleh Pemerintah," kata Usman.

Jadi, kata Usman, adalah hak setiap orang apakah mau menonton film G-30-S/PKI atau merujuk film dan literatur lainnya.

Dia pun merujuk survei nasional SMRC 2017 dan 2018 yang menemukan bahwa mayoritas warga, 86 persen, tidak setuju bahwa PKI sedang bangkit. Yang setuju hanya 12 persen.

"Jadi, sebenarnya isu anti-PKI ini kecil tetapi dibesar-besarkan untuk membela kepentingan elite-elite yang membesar-besarkannya, menyudutkan korban dan penyintas 1965, bahkan membungkam aksi aktivis, dosen, dan petani yang tengah memperjuangkan hak-hak dasar mereka," kata Usman.

Nobar G-30-S/PKI

Terlepas dari pro-kontra isu PKI, Partai Gerindra memerintahkan seluruh pengurus dewan pimpinan cabang untuk menggelar acara nonton bareng masyarakat terkait dengan film Gerakan 30 September Partai Komunis Indonesia (G-30-S/PKI).

"Kami dari pusat sudah perintahkan agar pada hari Minggu (30/9) setiap pengurus partai harus menyelenggarakan acara nonton bareng film itu di daerahnya," kata Ketua Fraksi Gerindra MPR RI Fary Djemi Francis di Kupang, Sabtu (29/9).

Menurut Fary, peristiwa G-30-S/PKI adalah sebuah sejarah kelam yang sulit dilupakan karena pada saat itu ada gerakan atau paham yang ingin mengubah ideologi bangsa dan mengancam keutuhan Pancasila.

Saat ini, lanjut Fary yang juga Ketua Komisi V DPR RI, dorongan masyarakat untuk menonton film dokumenter G-30-S/PKI sangat masif. Masyarakat juga ingin mengenang tragedi tersebut dan ingin memetik pelajaran sekaligus pengetahuan dari film karya Arifin C Noer tersebut.

Pada saat pemutaran film G-30-S/PKI pada tahun lalu, kata dia, masyarakat begitu antusias untuk menyaksikan.

Oleh karena itu, jika diputar kembali dan diselenggarakan nonton bareng, menurut dia, antusias masyarakat akan meningkat.

Dia menyerukan seluruh masyarakat Indonesia untuk menyaksikan film tersebut untuk memperingati sejarah perjalanan bangsa.

"Ajak keluarga dan tetangga untuk menonton bersama-sama," kata dia seperti dirilis Antaranews.

Tidak hanya menonton bareng, pihaknya juga mengimbau seluruh masyarakat Indonesia pada tanggal 30 September 2018 sejenak menundukkan kepala guna mengheningkan cipta dan mendoakan para pahlawan revolusi yang telah gugur dan menjadi korban keganasan PKI.

"Mari bersama kita rawat Pancasila, kita jaga Bhinneka Tunggal Ika, dan kita waspadai gerakan-gerakan yang ingin mengubah ideologi bangsa. Pancasila sudah final dan NKRI harga mati," tutur Fary yang juga ada salah satu penggiat sepak bola di NTT itu. []

Berita terkait
0
Massa SPK Minta Anies dan Bank DKI Diperiksa Soal Formula E
Mereka menggelar aksi teaterikal dengan menyeret pelaku korupsi bertopeng tikus dan difasilitasi karpet merah didepan KPK.