Surabaya, (Tagar 16/5/2018) - Seto Mulyadi Ketua Lembaga Perlindungan Anak Indonesia (LPAI) mengatakan bahwa anak pelaku teror bom tidak bisa disalahkan, tidak bisa dipidana.
Kak Seto, begitu ia akrab disapa, juga menjelaskan bahwa anak bukan pelaku teror, mereka adalah korban dari pengaruh orangtuanya.
"Anak-anak kalau dikasih pengaruh negatif, jadinya ya negatif. Dalam konteks Undang-undang tentu tidak bisa disalahkan anak ini," kata Kak Seto di Polda Jatim, Rabu (16/5).
Ia mengatakan dalam catatan Komnas Perlindungan Anak, keterlibatan perempuan dan anak dalam kasus terorisme adalah baru pertama ini di Indonesia.
Kak Seto mengimbau masyarakat untuk tidak menyebut dan menempatkan anak-anak ini sebagai pelaku langsung teror bom, karena mereka mendapat stimulasi negatif dari lingkungan maupun orangtuanya.
"Pandangan keliru jika anak-anak ini disebut pelaku dalam kasus terorisme ini. Mereka adalah korban, atau anak-anak yang dikorbankan oleh orangtuanya," tegasnya.
Kasus teror bom ini, sebut Kak Seto, sangat merugikan perkembangan jiwa anak. Ia meminta, jika ditemukan atau dijumpai tiga pelaku teror dan dua di antaranya anak-anak, supaya dikoreksi, karena mereka korban.
Ia menambahkan, anak anak ini harus mendapatkan perlindungan. Mereka ditemukan sebagai anak yatim setelah orangtuanya meninggal akibat aksi pemboman.
"Anak anak ini sangat berpotensi mendapatkan bullying (disakiti). Mohon untuk tetap mendapatkan perlindungan, anak-anak ini harus diluruskan kembali dari pengaruh-pengaruh negatif. Supaya mereka dapat lepas dari pengaruh atau doktrin negatif yang ditanamkan oleh orangtua maupun lingkungan," tutur Kak Seto.
Ia mengajak kerja sama semua pemangku kepentingan perlindungan anak. Pihaknya juga akan mencoba memberikan pemahaman kepada masyarakat terkait korban yang merupakan anak dari pelaku teror.
Sementara itu Ketua Komisi Nasional Perlindungan Anak, Arist Merdeka Sirait mengaku, peristiwa yang terjadi di Surabaya dan Sidoarjo ini adalah salah satu modus baru di dunia. Bukan hanya di Indonesia, tetapi di dunia, dimana para 'pengantin'nya ini justru anak kandungnya sendiri.
Arist berharap kepada aparat keamanan untuk mendeteksi kejadian seperti itu. Fungsi intelijen dapat dimanfaatkan untuk mengetahui sejak dini sebelum terjadi peristiwa teror bom. Komnas Perlindungan Anak, lanjut Arist, mengimbau kepada masyarakat untuk mewaspadai kejadian teror yang melibatkan anak-anak.
Ia menerangkan, anak-anak ini tidak bisa dijerat UU Anti Terorisme, sebab tidak dibenarkan untuk menghukum anak, sekalipun ia melakukan tindak pidana. Apalagi kalau misalnya dalam kejadian ini tiga keluarga mengajak anak dan dipaparkan dengan paham-paham radikalisme serta ujaran kebencian.
Seperti diketahui ada empat anak pelaku bom yang masih hidup dari peristiwa teror di rusunawa Wonocolo, Sidoarjo, dan Polrestabes Surabaya. Tiga anak di antaranya diduga telah mengalami doktrinisasi oleh orangtua mereka untuk menjadi kader teroris. (lut)