Amerika Serikat Bertekad Pertahankan Tarif Impor

Bahan bakunya naik dan membuat bisnis itu semakin sulit bersaing dengan pesaing luar negeri dan kehilangan beberapa kontrak
FILE - Pabrik Clairton Steel Mon Valley Works Amerika Serikat di Clairton, Pa, AS, 26/2/2024. Presiden Biden dan Donald Trump, secara mengejutkan menerapkan pendekatan yang serupa dalam hal kebijakan perdagangan. (Foto: voaindoensia.com/AP/Gene J. Puskar)

TAGAR.id – Ketika masih menjabat sebagai Presiden Amerika Serikat (AS), Donald Trump, memberlakukan tarif 25 persen pada baja impor, yang merugikan Clips&Clamps Industries, sebuah pemasok otomotif di Michigan. Bahan bakunya naik dan membuat bisnis itu semakin sulit bersaing dengan pesaing luar negeri dan kehilangan beberapa kontrak.

Jeff Aznavorian adalah direktur perusahaan ini, dan dia tadinya mengira akan memperoleh keringanan setelah Biden menjabat. Ternyata, Biden mempertahankan tarif yang diberkakukan oleh Trump atas impor baja dan aluminium dari China.

“Saya agak kaget bahwa pemerintahan yang memiliki ideologi berbeda ternyata mempertahankan kebijakan itu seutuhnya,” kata Aznavorian, dan dia ingat bahwa presiden Partai Demokrat sebelumnya, Bill Clinton memperjuangkan perdagangan yang lebih bebas.

Trump dan Biden berbeda pendapat dalam semua isu, mulai dari pemungutan pajak dan perubahan iklim sampai ke imigrasi dan regulasi.

Tetapi terkait kebijakan perdagangan, kedua kandidat ini merangkul kebijakan yang hampir mirip. Hal itu berarti, siapapun yang memenangkan kursi kepresidenan pada November mendatang, AS akan mempertahankan sebuah kebijakan perdagangan proteksionis, sebuah kebijakan yang menurut para pakar akan memperbesar tekanan pada inflasi.

Nyatanya minggu lalu Biden mengumumkan beberapa tarif baru terhadap kendaraan listrik China, baterai, panil surya dan beberapa produk lainnya. Biden berkilah bahwa langkah ini akan mencegah China membanjiri AS dengan impor murah.

Kecenderungan proteksionis dari kedua kandidat presiden ini mencerminkan pandangan luas bahwa membuka pasar Amerika untuk lebih banyak impor, khususnya dari China, akan menghancurkan lapangan pekerjaan manufaktur dan menyebabkan pabrik-pabrik bangkrut.

Ini merupakan topik politik yang kuat di negara bagian-negara bagian Mid-West, yang merupakan swing states atau negara bagian penentu dalam pemilihan presiden mendatang.

“Kalau Anda tengok pemilihan, ini jelas,” kata William Reinsh, mantan pejabat perdagangan di CSIS. “Di mana negara bagian penentu itu, sudah tentu Pennsylvania, Michigan, Wisconsin, Anda lihat bahwa perdagangan merupakan isu yang penting sekali.”

Masing-masing kandidat telah membuang jauh-jauh komitmen Amerika pada perdagangan yang tidak disertai konflik, seperti perintang rendah dan campur tangan pemerintah yang minimal. Ini merupakan kebijakan mendasar Amerika selama puluhan tahun pasca PD ke 2.

Gagasannya adalah perdagangan bebas akan memperkecil biaya dan membantu konsumen serta bisnis di seluruh dunia.

Namun dalam tahun-tahun terakhir, persepsi muncul bahwa sementara perdagangan bebas menguntungkan rumah tangga dan bisnis, namun hal itu merugikan para pekerja, dan lapangan pekerjaan di Amerika menjadi korban akibat persaingan dari tenaga kerja yang lebih murah di luar negeri.

“Apa yang tadinya merupakan consensus bulat di Washington tentang perdagangan bebas kini sudah mati,” kata Robert Lighthizer, yang menjadi perunding perdagangan semasa Trump menjabat.

Namun kebijakan proteksionis juga ada kerugiannya. Ini meningkatkan biaya untuk rumah tangga dan bisnis ketika AS sedang berjuang untuk menjinakkan inflasi.

Kebijakan ini cenderung mendongkrak bisnis yang tidak efisien, memicu pembalasan dari negara lain terhadap eksportir Amerika, serta biasanya merenggangkan hubungan baik dengan sekutu maupun musuh. (jm/lt)/Associated Press/voaindonesia.com. []

Berita terkait
Panel WTO Larang China Lalukan Pembalasan Tarif Terhadap Barang Impor AS
"Langkah bea cukai tambahan dari China itu tidak konsisten" dengan berbagai pasal Perjanjian Umum tentang Tarif dan Perdagangan (GATT)