Oleh: Dr. Margarito Kamis
Berdasarkan sistem hukum yang ada sampai saat ini ada cara untuk menggunakan TNI dan Polri aktif untuk menjabat sebagai kepala daerah, baik itu gubernur, bupati atau wali kota.
Sebegitu jauh, sistem hukum kita menyediakan cara untuk TNI/Polri untuk menjabat kepala daerah. Sejauh orang-orang itu, anggota TNI/Polri aktif, memenuhi kualifikasi yang diatur oleh peraturan perundang-undangan yang memungkinkan untuk itu. Karena itu pengisian jabatan oleh orang-orang itu, anggota TNI/Polri aktif, adalah sah.
Kritikan banyak kalangan yang menyoroti seolah ada kemunduran dalam reformasi dan demokrasi, itu bukan urusan hukum tata negara.
Soal politik itu soal lain, bagi orang-orang yang tidak setuju tinggal memperkarakan saja. Karena suara mereka yang menentang juga tidak memiliki implikasi sama sekali.
Bagi orang Tata Negara yang paling pokok adalah sah atau tidak, bertentangan dengan undang-undang dan peraturan perundang-undangan atau tidak. Itu hal mendasar bagi orang tata negara. Bagi orang politik, bisa saja punya alasan tidak demokratis lah, tidak memiliki legitimasih lah. Tetapi bagi saya sebagai orang hukum tata negara, itu inti persoalannya.
Kritikan banyak kalangan yang menyoroti seolah ada kemunduran dalam reformasi dan demokrasi, itu bukan urusan hukum tata negara.
Soal demokrasi, legitimasi, itu bukan konsep hukum tata negara. Itu konsep politik dan konsep sosiologi. Jadi terserah saja pendapat orang seperti itu. Bagi orang tata negara yang terpenting adalah sah atau tidak.
Bagaimana dengan pengusulan perlunya ada aturan yang lebih detail, misalnya dengan menerbitkan peraturan pemerintah (PP) yang baru? Sejauh ini peraturan perundang-undangan dan sistem hukum yang tersedia memungkinkan pengisian jabatan itu untuk anggota TNI/Polri aktif.
Perkara besok mau dibuat peraturan yang lebih ribet itu soal lain. Dan jika pun ada peraturan yang lebih rinci, itu tidak akan menangguhkan atau menghilangkan keabsahan otang-orang yang sekarang sudah dilantik menjabat kepala daerah, bupati atau wali kota.
Dalam sistem hukum kita, ada Perpres 37 tahun 2019 tentang Jabatan Fungsional TNI, ada Peraturan Menteri Dalam Negeri, UU No 5 tahun 2014 tentang ASN, ada UU TNI POLRI yang semuanya memungkinkan. Bahkan di dalam UU Pilkada yang mensyaratkan jabatan dan pangkat.
Letakkan semua peraturan perundang-undangan itu dalam sistem, di mana tidak ada pasal-pasal yang bertentangan diametral untuk melarang posisi jabatan TNI/Polri pada jabatan sipil atau kepala daerah. Jangan parsial hanya berdasar satu undang-undang saja.
Dalam UU Pilkada peraturan perundang-undangan itu sampai mengatur padanan, kepangkatan dan jabatan. Misalnya untuk pangkat kolonel dan pernah meduduki jabatan sipil, maka disesuaikan dengan golongan kepangkatan sipil ahli madya. Jika pangkatnya sudah bersesuaian dengan yang diatur di dalam UU ASN, maka sah dia menduduki jabatan sebagai pejabat bupati atau wali kota.
*Pakar Hukum Tata Negara, Mantan Staf Khusus Menteri Sekretaris Negara, Dosen Universitas Khairun Ternate
BACA JUGA
- Guspardi Gaus: Jangan Seret TNI-Polri Isi Jabatan Politis
- Evaluasi PPKM, Kemendagri Minta TNI Polri Dukung Satpol PP
- TNI-Polri Kendalikan Kasus Covid-19 di Bangkalan dan Kudus
- Jangan Paksakan Kehendak Pj Gubernur Aceh dari Sipil atau Militer