Agama dan Etos Kerja, Bagaimana Hubungannya?

Kerajinan seseorang menjalani ritual agamanya ternyata tidak selalu berbanding lurus dengan etos kerja.
Ilustrasi. (Foto: Pixabay)

Jakarta, (Tagar 31/12/2018) - Kerajinan seseorang menjalani ritual agamanya ternyata tidak selalu berbanding lurus dengan etos kerja.

Agama berasal dari Bahasa Sansekerta yang berarti tidak tak beraturan. Dengan adanya agama, seharusnya kehidupan berjalan dengan harmonis sebab orang yang menjalankan agama punya nilai-nilai kebajikan dalam dirinya. Tetapi, kenyataannya agama tidak menjamin perilaku seseorang menjadi baik. Maka, hubungan antara agama dan moralitas pun selalu menjadi perdebatan hangat.

Kita melihat bagaimana seseorang yang kelihatannya religius bisa saja melakukan tindakan menyimpang. Buktinya, di lingkungan beragama sekalipun, kita akan menemukan berbagai kejadian korupsi, kolusi, nepotisme, pencurian, perisakan, penghinaan, dan sebagainya.

Berikut beberapa pendapat peneliti tentang hubungan agama dan etos kerja yang di dalamnya mencakup etika, khususnya di tempat kerja.

Agama dan Moralitas

Professor Jim Davies dari Institute of Cognitive Science, Carleton University menemukan dasar pemikiran hubungan agama dan moralitas saat mengumpulkan bahan untuk bukunya: Riveted: The Science of Why Jokes Make Us Laugh, Movie Make Us Cry, and Religion Makes Us Feel One with the Universe. Ia berpendapat bahwa moralitas tidak muncul berdasarkan
agama semata.

Argumen pertama yang diungkapkan Davies pada artikel di The Conversation adalah bahwa seseorang memiliki kebebasan untuk menafsirkan. Pada dasarnya seseorang sudah punya kompas moral internal sendiri sehingga ia memilih agama atau tidak beragama, aliran agama tertentu, memilah ajaran agama yang dilaksanakan dan ditinggalkan, dan bahkan memilih tempat ibadah yang paling membuat nyaman. Bahkan, orang yang pindah agama terjadi karena nilai kepercayaan yang baru dikenal sesuai dengan moralitasnya sendiri.

Kemudian, Psikolog Sosial Nicholas Epley pun meneliti umat beragama tentang moralitas. Awalnya, peneliti menemukan bahwa kebenaran yang diyakini seseorang sama dengan ajaran dari Tuhan. Ketika dimanipulasi dengan esai persuasif, opini seseorang bisa berbeda dengan Tuhan.

Tetapi, responden berpendapat bahwa Tuhan setuju dengan pendapat baru mereka. Jadi, mereka tidak berpikir bahwa Tuhan salah, hanya memperbaharui opini dengan apa yang Tuhan pikirkan.

Jadi, dari mana datangnya nilai moral seseorang? Berdasarkan penelitian Believers' estimates of God's beliefs are more egocentric than estimates of other people's beliefs, ketika Anda merenungi kepercayaan Tuhan, bagian dari otak yang memikirkan keyakinan sendiri lebih aktif daripada bagian otak yang memikirkan keyakinan lainnya.

Maka, moralitas dipengaruhi genetika dan budaya. Dan agama hanyalah salah satu yang memengaruhi budaya.

Agama dan Etos Kerja

Semua agama mengajarkan kebaikan. Jika seseorang menjalankan nilai agama, dan mengakui bahwa ajaran agama sesuai dengan penilaiannya, maka akan berdampak positif untuk lingkungan kerja.

Berdasarkan sebuah penelitian di India pada 2016 yang diterbitkan Asia Pacific Journal of Management, dan dilansir di situs The Conversation, agama mungkin saja berdampak pada perilaku etis di tempat kerja.

Peneliti menemukan bahwa kebajikan yang tertanam dalam berbagai tradisi agama dan spiritualitas (Hindu, Jainisme, Islam, Sikhisme, Kristen, dan Zoroastrianisme) berperan dalam pengambilan keputusan etis di tempat kerja.

Pada riset tersebut, para peneliti mewawancarai empat puluh eksekutif di India. 33 eksekutif menjelaskan bahwa tradisi-tradisi ini menciptakan kebajikan seperti integritas, fleksibilitas, keunggulan moral, toleransi dan tanggung jawab. Seorang eksekutif dari sektor TI bahkan mengaku meninggalkan perusahaan tempat kerja karena agamanya bertentangan dengan pelanggaran hak cipta yang dilakukan organisasi.

Sementara itu, tujuh eksekutif yang mengaku tidak terkait dengan kelompok agama atau spiritual berpendapat bahwa kebaikan tidak hanya bersumber dari agama. 

Mereka menyarankan perlunya meningkatkan kebajikan berbasis non-agama dengan fokus pada etika humanistik dan profesionalitas. 

Dalam spiritualitas non-agama, kebaikan seseorang didasarkan pada nilai-nilai humanistik, seperti keterkaitan dengan orang lain di tempat kerja atau dalam masyarakat dan melayani tujuan dalam kehidupan tanpa harus merujuk kepada Tuhan atau Pencipta.

Penyimpangan Etika di Lingkungan Religius

Berdasarkan berbagai penelitian tersebut, artinya penyimpangan etika di lingkungan religius memang sangat mungkin terjadi. Misalnya korupsi, nepotisme, pencurian, dan sebagainya masih marak di India yang religius. Menurut artikel The Conversation, hal itu bisa terjadi karena individu tertentu merasionalisasi perilaku tidak etis sebagai akibat dari tekanan eksternal untuk menyesuaikan diri. Tekanan ditambah dengan keserakahan pribadi bisa saja mengesampingkan etika.

Untuk menghindari penyimpangan etika di tempat kerja, tanpa melibatkan agama, maka perusahaan bisa mengadakan edukasi seperti seminar, workshop, pelatihan, studi kasus, dan lain sebagainya. Dengan membaca dan mempelajari praktik manajemen yang benar, maka pekerja bisa melakukan tugasnya dengan baik.

Selain itu, seorang eksekutif dari sektor TI menyarankan untuk meningkatkan kecerdasan emosional pekerja. Hal ini berguna untuk mereka yang menghadapi dilema etika kerja. Kecerdasan emosional dapat memberikan kejelasan yang diperlukan untuk membedakan keputusan itu etis atau tidak. Cara lain untuk menjaga etika di tempat kerja adalah contoh pemimpin yang baik. Pemimpin harus menunjukkan konsistensi dalam pengambilan keputusan agar bawahan sadar bahwa tidak ada yang namanya "kompromi". []

Berita terkait
0
Harga Emas Antam di Pegadaian, Rabu 22 Juni 2022
Harga emas Antam hari ini di Pegadaian, Rabu, 22 Juni 2022 untuk ukuran 1 gram mencapai Rp 1.034.000. Simak rincian harganya sebagai berikut.