TAGAR.id - Jumlah penduduk yang menyusut, mahasiswa asing yang lebih sedikit, menurunnya dukungan pemerintah, dan kesempatan belajar di luar negeri yang lebih besar, menjadi tantangan serius bagi universitas di Jepang. Julian Ryall (Tokyo) melaporkannya untuk DW.
Universitas-universitas di Jepang alami penurunan peringkat di antara lembaga-lembaga pendidikan tinggi terbaik di dunia. Banyak universitas di Jepang yang kesulitan untuk mendapatkan dana penelitian.
Selain itu, semakin sedikit pula mahasiswa internasional yang memilih untuk melanjutkan pendidikannya ke Jepang, dan jumlah mahasiswa program doktoral juga ikut menurun.
Dalam banyak kasus, universitas-universitas di Jepang telah disalip oleh universitas-universitas di China, Korea Selatan, dan Singapura.
Jumlah penduduk yang merosot
Terdapat setidaknya 780 universitas, perguruan tinggi dan sekolah kejuruan di Jepang, dengan total 2,93 juta siswa yang terdaftar pada tahun 2022 lalu.
Dalam satu dekade terakhir, jumlah total pelajar di Jepang hampir tidak berubah, bahkan kemungkinan akan mulai menurun dalam periode dekat. Pada tahun 1992, setidaknya terdapat 2,05 juta remaja berusia 18 tahun di Jepang, tetapi hanya ada sekitar 1,12 juta pada tahun 2022 lalu.
Hal yang juga mengkhawatirkan adalah menyusutnya jumlah mahasiswa potensial yang berbanding lurus dengan reputasi universitas-universitas Jepang di tingkat dunia.
Pada bulan Juli, majalah Times Higher Education (THE) merilis peringkat 100 institusi terbaik tahun 2023 dan hanya ada dua universitas Jepang yang masuk ke dalam daftar tersebut.
Universitas Tokyo menduduki peringkat ke-39 dalam daftar, yakini turun dari peringkat ke-35 pada tahun sebelumnya, sementara Universitas Kyoto turun peringkat ke-68 dari peringkat ke-61 pada tahun lalu.
Turunnya peringkat universitas Jepang di urutan dunia tersebut menjadi kekecewaan besar bagi pemerintah saat ini. Sepuluh tahun yang lalu, kementerian pendidikan Jepang menetapkan target untuk memiliki setidaknya 10 universitas di peringkat 100 besar dalam satu dekade berikutnya.
"Penurunan peringkat universitas-universitas di Jepang berakar pada reformasi yang dilakukan oleh kementerian pendidikan sekitar 30 tahun yang lalu dan mengubah universitas-universitas nasional menjadi organisasi administratif yang independen, yang berarti bahwa secara efektif mereka harus membiayai diri mereka sendiri secara finansial," ujar Yakov Zinberg, seorang profesor hubungan internasional di Universitas Kokushikan, Tokyo.
Dukungan keuangan ikut menyusut
Zinberg, yang telah mengajar di perguruan tinggi Jepang selama hampir 20 tahun itu juga mengatakan bahwa, "ketika dukungan pemerintah mengering, baik secara finansial maupun sumber daya, para profesor menghabiskan lebih banyak waktu untuk mencari sponsor daripada melakukan penelitian atau menulis makalah akademis."
Banyak universitas di Jepang yang secara aktif mulai menargetkan mahasiswa asing pada tahun-tahun awal abad ke-21. Dan banyak universitas di Jepang yang bisa bertahan berkat siswa dari China yang percaya bahwa kualifikasi perguruan tinggi di Jepang akan menguntungkan karir mereka, jelas Zinberg.
"Namun, peringkat ini menunjukkan bahwa universitas-universitas Jepang mengalami penurunan dalam peringkat dunia, sementara universitas-universitas China mengalami peningkatan, sehingga para mahasiswa asing cenderung tidak datang ke sini lagi," tambahnya.
"Tak dapat dihindari lagi, saya melihat standar telah menurun di tempat saya mengajar," kata Zinberg. "Hal ini disebabkan oleh kurangnya dukungan finansial dan para profesor yang terlalu sibuk mencari dana sehingga mereka tidak lagi memiliki waktu untuk melakukan penelitian dan menulis makalah."
Yoko Tsukamoto, seorang profesor di Universitas Ilmu Kesehatan Hokkaido, mengatakan bahwa dia juga mendeteksi adanya penurunan kemampuan mahasiswa Jepang yang baru memulai program sarjana.
"Jumlah anak kini lebih sedikit sehingga persaingan untuk masuk ke perguruan tinggi menjadi lebih sedikit dibandingkan beberapa tahun yang lalu, dan menurut pengalaman saya, ada banyak profesor yang menghabiskan banyak waktu untuk mengejar mahasiswa seperti anak SMA," katanya kepada tim DW.
"Mereka sering kali belum dewasa dan para profesor kelelahan untuk membantu serta mengajar mereka," kata Tsukamoto. Tren lain yang diamati olehnya dalam beberapa tahun terakhir adalah kurangnya keinginan mahasiswa Jepang untuk belajar di luar negeri.
"Mereka tidak tertarik untuk memperluas wawasan mereka, sebagian karena hal itu terlalu menantang bagi mereka," kata Tsukamoto, yang menyelesaikan program doktoralnya di Universitas Stanford, California.
Tsukamoto juga mengatakan bahwa, "sebenarnya cukup mengejutkan bagi saya, banyak siswa tahun pertama yang hanya pernah keluar dari Hokkaido sekali atau dua kali, dan kemudian melakukan perjalanan sekolah ke daerah lain di Jepang. Sebagian besar bahkan tidak memiliki paspor."
Lebih banyak peluang di luar negeri
“Kurangnya dana untuk penelitian juga sangat kontras dengan insentif keuangan yang tersedia di negara lain,” terang Tsukamoto.
"Jika Anda seorang profesor yang baik dan ingin melakukan penelitian yang baik, mengapa Anda harus tetap tinggal di Jepang?" tanyanya. "Ada banyak kesempatan bagi orang-orang seperti itu di belahan dunia lain."
Pada akhirnya, kata Tsukamoto, akan ada lingkaran setan di mana lebih sedikit universitas berkualitas tinggi di Jepang yang berlomba-lomba untuk mendapatkan siswa yang tidak perlu terlalu khawatir tentang nilai mereka, karena Jepang mengalami kekurangan tenaga kerja yang memburuk dan mereka secara efektif dijamin mendapatkan pekerjaan segera setelah mereka lulus.
Pada saat yang sama, para akademisi memiliki lebih sedikit waktu dan sumber daya, untuk melanjutkan studi mereka dan mencari peluang yang lebih baik di universitas lainnya.
"Hal ini sangat mengkhawatirkan, karena menurunnya standar akademis akan segera tercermin dalam tenaga kerja yang kurang cakap untuk negara ini," tambah Tsukamoto. (kp/hp)/dw.com/id. []