UGM: Tanpa NU dan Muhammadiyah, Demokrasi Indonesia Tidak Berjalan Baik

Dunia akan tahu bahwa ternyata Islam bisa berbeda, tidak seperti di Iran dan Suriah yang perang tidak habis-habis itu.
Ilustrasi. (Foto: NU Online)

Yogyakarta, (Tagar 22/1/2019) - Pusat Studi Keamanan dan Perdamaian (PSKP) Universitas Gadjah Mada mewacanakan pengajuan nomine penghargaan Nobel perdamaian untuk organisasi Islam, Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah, karena dinilai berkontribusi besar menghadirkan nilai-nilai perdamaian, demokrasi, dan keadaban.

"PSKP mewacanakan pengajuan nominasi nobel untuk NU dan Muhammadiyah, tetapi memang belum menjadi keputusan universitas," kata Kepala PSKP UGM Najib Azca.

Hal itu disampaikan seusai peluncuran buku dan seminar Peran dan Kontribusi Muhammadiyah dan NU dalam Perdamaian dan Demokrasi di Kampus UGM di Yogyakarta, Kamis (17/1) dilansir kantor berita Antara.

Berdasarkan riset yang dilakukan Tim PSKP UGM, NU dan Muhammadiyah merupakan kunci sukses terwujudnya proses transisi demokrasi di Indonesia.

Kedua organisasi tersebut, selama ini juga cukup aktif menyemai pembinaan perdamaian di kancah nasional, regional, maupun internasional.

"Tanpa kehadiran NU dan Muhammadiyah saya rasa proses demokrasi kita tidak akan berjalan dengan baik," kata dia.

Menurut Najib, selain kontribusi yang telah dihadirkan dua organisasi Islam terbesar di dunia itu, diskursus mengenai pengajuan nobel untuk NU dan Muhammadiyah, juga memiliki misi mempromosikan corak Islam Indonesia yang damai, berkeadaban di mata internasional.

Profil Islam Indonesia yang direpresentasikan NU dan Muhammadiyah, kata dia, penting untuk dinarasikan di tengah krisis dan citra Islam yang buruk dan buram di pentas global yang sebagian didominasi oleh tindakan kelompok ekstremisme kekerasan dan konflik sektarian berdarah berkepanjangan, khususnya di Timur Tengah.

"Kalau pengajuan Nobel ini berhasil, maka masyarakat internasional akan tahu bahwa ternyata Islam bisa berbeda, tidak seperti di Iran dan Suriah yang perang tidak habis-habis itu," kata dia.

Menurut dia, apabila wacana pengajuan Nobel dari PSKP UGM itu disetujui dan menjadi keputusan rektorat UGM, dokumen pengajuan nomine itu tidak akan dideklarasikan karena mekanismenya memang tertutup.

"Jadi dokumen hanya dikirim dan diajukan ke panitia Nobel, sudah. Bahkan panitia Nobel akan merahasiakan dokumen itu selama 25 tahun. Siapa yang terpilih memenangkan Nobel tahun ini dan apa alasannya itu menjadi rahasia panitia Nobel," kata dia.

Dalam kesempatan yang sama, Guru Besar Antropologi Universitas Boston Amerika Serikat Robert W Hefner bahkan mengaku secara personal telah mengirimkan dokumen pengajuan nomine penghargaan Nobel perdamaian untuk NU dan Muhammadiyah kepada panitia pada awal Januari 2019.

Bagi Hefner, peran besar Muhammadiyah dan NU yang terabaikan di luar negeri kini mulai diperhatikan bahkan keduanya disebut cukup layak mendapat Nobel karena kontribusinya dalam membangun demokrasi dan perdamaian di Indonesia.

Indonesia, kata Hefner, tidak sekadar dipandang sebagai negara paling demokratis di Asia Tenggara.

Bahkan, Indonesia disebut negara paling demokratis di antara negara-negara dunia ketiga (nonblok).

"Level itu merupakan buah dari perjuangan Muhammdiyah dan NU. Reformasi pendidikan Islam yang diimpikan dari sebagian besar Muslim dunia, sudah kedua lembaga itu lahirkan di Indonesia sejak lama," kata dia. []

Berita terkait