Tiga Pria dan Seni Kentrung Jepara di Tepian Zaman

'Kentrung itu seni bertutur diselingi tabuhan terbang (rebana). Yang main biasanya dua orang, yang satu bercerita.'
Ahmadi (60) seniman Kentrung Jepara. (Foto: Tagar/Padhang Pranoto)

Jepara, (Tagar 21/1/2019) - Benarkah seni Kentrung asal Jepara berada di tubir kepunahan? Faktanya kini hanya tiga seniman yang masih menggeluti kesenian tutur tersebut. Tagar News menyambangi seorang pelakonnya Ahmadi (60), yang masih bersemangat dan bertekad mewariskan satu-satunya "kekayaan" yang dimilikinya pada generasi muda.

"Kentrung itu seni bertutur diselingi dengan tabuhan terbang (rebana). Yang main biasanya dua orang, yang satu bercerita tentang kisah-kisah seperti Menak Jinggo, Hikayat Murtosiyah, Amar Muhammad Ngerum (Romawi) atau Anjasmara Ngarit, sambil memukul terbang. Sementara yang satu lagi nyenggaki (bermain pantun). Yang penting didalamnya ada muatan agamanya (Syiar Islam)," tutur Ahmadi atau yang kondang dengan sebutan Mbah Madi.

Saat disambangi, ia tengah bersantai di teras rumahnya, di Desa Bawu RT 16 RW 3, Kecamatan Batealit, Jepara. Ditemani seorang tetangganya, ia tengah asyik mengobrol bersanding dengan gelas berisi teh.

Ia tampak bersahaja, duduk diatas bale-bale kayu. Sementara di halaman rumah kayu beralas tanah itu, dipenuhi dengan ayam-ayam kampung peliharaan yang terkurung dalam kandang-kandang besar. Selain sebagai peliharaan, unggas tersebut merupakan rezeki tambahan bagi pria yang telah beruban itu.

Setelah mengungkapkan maksud kedatangan, Madi lantas bercerita mengenai seni kentrung di Bumi Kartini. Ia membenarkan, kini pengentrung sudah semakin menyusut dan hanya menyisakan hitungan tiga ruas jari.

Selain dirinya, ada Suparmo (65) dan Suyat (65) yang kini menjadi kompatriotnya. Adapun seniman yang telah meninggal dunia adalah, Subari, Sutawi, Karisman dan Murdi.

"Sebelumnya rekan saya adalah Parmo (Suparmo) selama 25 tahun lebih, namun karena ada ketidakcocokan akhirnya saya bermain dengan Suyat. Sebelum dengan Suyat, saya bermain bersama Watir (50), namun ia meninggal dunia. Jadi sekarang, pemain (profesional) kentrung ya tinggal saya, Parmo dan dia (Suyat) yang belum lama belajar kesenian ini," urainya.

Dijelaskannya, para seniman Kentrung awalnya berasal dari Desa Ngasem, Kecamatan Batealit. Namun di daerah kelahirannya, justru para pengentrung sudah tinggal nama. Padahal menurutnya, Desa tersebut menjadi semacam pesantren bagi seniman Kentrung yang ada di Jepara.

Dikisahkan Madi, ia belajar seni tersebut sejak tahun 1972 ketika masih SMP, di bawah asuhan gurunya Subari. Setelah lima tahun belajar, ia lantas berani berpentas pada tahun 1977.

Saat belajar ia dituntun secara lisan oleh sang guru. Setelah benar-benar hapal kisah cerita dalam seni kentrung, ia lantas diizinkan untuk melihat buku panduan kentrung.

"Bukunya itu kini sudah dimuseumkan di Jakarta, bentuk sampulnya kulit binatang rusa, didalamnya terdapat kisah-kisah kentrung bertulis huruf Jawa. Pakem dari seni ini adalah dakwah, namun menggunakan kisah dan bahasa yang dekat dengan keseharian orang kita," ungkap Madi.

Namun ia bersyukur, di tengah susutnya seniman kentrung, masih ada saja orang yang memanggilnya pentas. Dalam waktu enam jam, ia dan rekannya dapat mengantongi uang ratusan ribu hingga sejuta rupiah, dari pemilik hajatan seperti sunatan, atau upacara bersih desa.

"Alhamdulilah, kalau sedang banyak ya banyak sekali, sampai saya harus membaginya dengan Parmo. Namun kalau tidak ya sepi, nanti tanggal 26 Januari saya pentas di dekat Pemkab Jepara," kata Mahdi.

Regenerasi Kentrung

Baik Madi, Parmo dan Suyat memang memiliki keturunan, namun sayang di antaranya nampak belum ada ketertarikan akan Kentrung. Hal itu diakui bukan hanya oleh Madi, tetapi juga Parmo yang kami temui akhir tempo 2017 lalu.

"Ya belum ada, dari lima anak saya belum menunjukkan ketertarikan. Cucu saya ada yang minta diajari, tapi ketertarikannya naik turun, kadang mau kadang tidak. Intinya saya tidak mau memaksakan kepada anak-anak saya, kalau iya (dipaksa belajar) takutnya malah melenceng dari jalurnya," tegas Madi.

Namun, hal itu tidak lantas memupuskan harapannya. Pada tahun 2018, ia sempat mengajari dua orang anak muda berumur 17 an tahun. Mereka adalah dua anak SMA PGRI Jepara.

"Namanya Daniel dan Bayu. Satu di antaranya si Daniel itu, kemampuannya berpidato (bertutur) bagus. Mudah-mudahan dirinya bisa memiliki krenteg (niat) dan kemauan untuk ngentrung," tambah Madi.

Menurutnya, untuk mengajarkan seni itu tidak sulit. Hanya saja, dibutuhkan daya ingat luar biasa untuk menghapalkan isi cerita kentrung, lantaran tak ada buku panduan.

Untuk mengajar keduanya, saat itu Madi dan Parmo menggunakan metode hapalan. Sementara untuk teknik menabuh terbang, dilakukan setelah hapalan lancar.

"Bagaimanapun, saya tetap akan memerjuangkan kentrung agar dapat lestari. Itu sesuai wejangan guru saya, kalau saya sudah tak mampu lagi, embuh kepriye (tidak tahu caranya bagaimana) kentrung tetap ada," sebut Madi sambil mengingat pesan almarhum gurunya, Subari.

Di sisi lain, Pemerintah Kabupaten Jepara melalui Dewan Kesenian Daerah (DKD) melakukan berbagai terobosan. Satu di antaranya dengan menjadikan kesenian itu sebagai ekstrakulikuler di sekolah.

Sekretaris DKD Jepara Rhobi Sani menyebut, selain usaha itu, pihaknya juga sempat mengangkat kentrung berbalut festival teater Jepara. Dalam kegiatan itu, disyaratkan agar peserta teater yang kebanyakan dari Sekolah Menengah Atas mengangkat unsur bahasa jeporonan dan mengadopsi kesenian Kentrung dan Emprak.

"Dalam teater modern ada musik, penceritaan dan akting, begitu pula dengan Emprak dan Kentrung, terdapat unsur-unsur tersebut," jelas Rhobi beberapa saat lalu. []

Berita terkait
0
Video Jokowi 'Menghadap' Megawati Sangat Tidak Elok Dipertontonkan
Tontonan video Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) yang sedang bertemu dengan Ketua Umum PDIP, Megawati Soekarno Putri, sangat tidak elok.