Tempatkan Perempuan dan Anak dengan HIV/AIDS Populasi Kunci Dorong Stigma dan Diskriminasi

Perempuan dan anak-anak bukan pelaku aktif perilaku bersiko tinggi tertular HIV/AIDS dengan kondisi mereka sebagai objek yang pasif
Ilustrasi. (Sumber: agenciaaids.com.br)

Renungan Hari AIDS Sedunia 2022

Oleh: Syaiful W. Harahap*

TAGAR.id - Data menunjukkan hampir setengah dari kasus infeksi HIV baru pada anak, dipastikan berasal dari ibu yang tidak menerima terapi ARV. Padahal perempuan dan anak dengan HIV merupakan populasi kunci yang seharusnya menjadi prioritas untuk mengakhiri epidemi AIDS. Ini ada dalam berita “UNAIDS: Terapi ARV Bagi Perempuan dan Anak Kunci Akhiri Epidemi AIDS” (republika.co.id, 27 November 2022).

Laporan di situs siha.kemkes.go.id (24/11-2022) menunjukkan dari tahun 1987 sampai 31 Maret 2022 jumlah kumulatif kasus HIV/AIDS di Indonesia sebanyak 466.978 yang terdiri atas 329.581 HIV dan 137.397 AIDS.

Pernyataan ini: “…. perempuan dan anak dengan HIV merupakan populasi kunci ….” tidak tepat karena mereka bukan pelaku aktif perilaku seksual bersiko tinggi tertular HIV/AIDS. Perempuan, dalam hal ini ibu rumah tangga, adalah objek yang pasif sebagai korban dari pasangan atau suami dengan perilaku seksual yang berisiko.

Penyebutan perempuan (baca: ibu rumah tangga) dan anak-anak dengan HIV/AIDS sebagai ‘populasi kunci’ akan menyuburkan stigma (cap negatif) dan mendorong diskriminasi (perlakuan berbeda). Ini jadi beban multi ganda bagi ibu rumah tangga dan anak-anak yang terjadi di ranah social settings.

1. Terapi ARV Langkah di Hilir

Di beberapa daerah anak-anak dengan HIV/AIDS ditolak belajar di sekolah formal. Kondisinya kian runyam karena ada pula terminologi ADHA (Anak dengan HIV/AIDS) yang kasat mata yang pada akhirnya menguatkan status HIV anak-anak tersebut yang bermuara pada stigmatisasi dan diskriminasi.

Secara empiris terapi ARV (antiretroviral) adalah kondisi di hilir yaitu diberikan kepada orang-orang yang sudah tertular HIV.

Sementara itu di hulu terus terjadi infeksi HIV baru, dalam hal ini pada suami, yang selanjutnya menularkan ke istrinya secara horizontal. Ini bermuara pada anak yang dilahirkan istri yang tertular HIV dari suami.

Bagaimana mungkin bisa mengakhiri epidemi HIV/AIDS hanya dengan program terapi ARV kepada perempuan dan anak yang dilahirkan. Ini omong kosong karena langkah ini ada di hilir (Lihat matriks program ARV langkah di hilir).

Matriks Program ART Bagi Perempuan dan Anak Penanggulangan di HilirMatriks: Program ART Bagi Perempuan dan Anak Penanggulangan di Hilir (Foto: Dok/AIDS Watch Indonesia/Syaiful W. Harahap)

Pertama, suami ibu-ibu hamil yang menjalani terapi ARV tidak otomatis menjalani tes HIV sehingga mereka jadi mata rantai penyebaran HIV di masyarakat, terutama melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah (lihat matriks penyebaran HIV/AIDS oleh suami ibu hamil yang tidak jalani tes HIV).

Matriks Penyebaran HIVAIDS Jika Suami Ibu Hamil Tidak Jalani Tes HIVMatriks: Penyebaran HIV/AIDS Jika Suami Ibu Hamil Tidak Jalani Tes HIV. (Foto: Dok Pribadi/Syaiful W. Harahap)

Kedua, ada suami yang beristri lebih dari satu secara sah, terutama bedasarkan hukum agama tertentu, sehingga menambah jumlah perempuan yang berisiko tertular HIV melalui hubungan seksual di dalam nikah.

Ketiga, bisa jadi suami yang mengidap HIV/AIDS juga punya pasangan seks lain, pelanggan pekerja seks komersial (PSK) dan waria.

Keempat, tidak semua perempuan yang mengidap HIV/AIDS terdeteksi sehingga mereka tidak menjalani terapi ARV. Soalnya, wajib tes ibu hamil hanya di fasilitas pelayanan kesehatan (Fasyankes) pemerintah, sehingga ibu hamil yang jalani pemeriksaan kehamilan dan persalinan di Fasyankes swasta tidak menjalani tes HIV.

Itu semua terjadi di hulu. Maka, kalau hanya sebatas terapi ARV bagi perempuan pengidap HIV/AIDS dan anak yang dilahirkan dengan HIV/AIDS adalah hal yang mustahil mengakhiri epidemi HIV/AIDS.

Dalam berita disebut: Kasus infeksi baru ini sekitar 40 persen terjadi pada perempuan.

Persoalan bukan pada perempuan, dalam hal ini PSK dan ibu rumah tangga, tapi pada laki-laki yang menularkan HIV kepada PSK dan ibu rumah tangga.

2. Membalik Paradigma Berpikir

Membicarakan HIV/AIDS pada perempuan dan PSK itu ada di hilir. Yang jadi persoalan adalah di hulu yaitu laki-laki yang menularkan HIV kepada PSK dan ibu rumah tangga.

Di beberapa daerah ada regulasi yang mewajibkan perempuan hamil tes HIV, tapi banyak suami perempuan hamil yang justru menolak tes HIV.

Di Lebak, Banten, ketika seorang suami diberitahu bahwa istrinya yang baru melahirkan HIV-positif, maka suami itu kabur meninggalkan istri dan anak-anaknya.

Maka, pemerintah provinsi, kabupaten dan kota yang membuat regulasi yang mewajibkan ibu hamil tes HIV sejatinya membalik paradigma berpikir: yang diwajibkan tes bukan ibu hamil, tapi suami perempuan hamil. Jika suami HIV-positif baru istrinya yang hamil menjalani tes HIV.

Pernyataan lain: Sementara lebih dari 51 persen terjadi pada kelompok remaja usia 15 sampai 24 tahun dan 12 persen infeksi baru pada anak.

Terkait dengan infeksi HIV/AIDS pada kelompok remaja adalah hal yang logis dan realistis karena pada rentang usia itu libido mereka tinggi yang membutuhkan penyaluran melalui hubungan seksual penetrasi.

Persoalannya adalah: selama ini materi komunikasi, informasi dan edukasi (KIE) HIV/AIDS dibalut dan dibumbui dengan norma, moral dan agama sehingga fakta medis tentang HIV/AIDS tenggelam sedangkan yang sampai ke masyarakat hanya mitos (anggapan yang salah).

Seperti mengaitkan penularan HIV/AIDS dengan hubungan seksual sebelum menikah, pergaulan bebas, seks bebas, perselingkuhan, pelacuran dan homoseksual.

3. Materi KIE tentang HIV/AIDS Tidak Akurat

Padahal, penularan HIV/AIDS melalui hubungan seksual bukan karena sifat hubungan seksual (hubungan seksual sebelum menikah, pergaulan bebas, seks bebas, perselingkuhan, pelacuran dan homoseksual), tapi karena kondisi saat terjadi hubungan seksual yaitu salah satu atau keduanya mengidap HIV/AIDS dan laki-laki tidak memakai kondom. Ini fakta medis. (Lihat matrik sifat dan hubungan seksual)

Matriks Sifat Hubungan Seksual dan Kondisi Hubungan Seksual
Matriks: Sifat Hubungan Seksual dan Kondisi Hubungan Seksual Terkait Risiko Penularan HIV/AIDS. (Foto: Dok/AIDS Watch Indonesia/Syaiful W. Harahap)

Akibatnya, remaja tidak mengetahui cara yang akurat untuk mencegah penularan HIV/AIDS melalui hubungan seksual. Celakanya, penyaluran libido tidak bisa diganti dengan kegitan lain selain hubungan seksual penetrasi. Bisa juga melalui ‘seks swalayan’ yaitu onani pada laki-laki dan masturbasi pada perempuan.

Disebutkan: Untuk merealisasikan penghentian epidemi AIDS pada 2030, semua orang harus meningkatkan upaya pencegahan, semua orang dengan hasil tes positif harus segera menjalani treatment ARV, semua orang yang sedang menjalani pengobatan harus disiplin untuk mencapai viral load tersupresi.

Persoalannya adalah: karena materi KIE tentang HIV/AIDS selama ini tidak akurat, maka banyak orang dengan perilaku seksual berisiko menganggap dirinya tidak berisiko tertular HIV/AIDS. Disebutkan HIV/AIDS menulan melalui seks bebas yang dimasyarakat dimaknai sebagai melacur dengan PSK di lokalisasi pelacuran.

Nah, banyak laki-laki melakukan perilaku seksual bersiko bukan dengan PSK (langsung) dan tidak pula di tempat, lokasi atau lokalisasi pelacuran. Maka, mereka menganggap tidak ada risiko tertular HIV/AIDS.

Kondisnya kian runyam karena sebagian besar media massa dan media online situs kesehatan dan situs-situs lain mengumbar ciri-ciri, tanda-tanda-tanda dan gejala-gejala HIV/AIDS tanpa menyebut prakondisi yaitu pernah atau sering melakukan perilaku seksual berisiko agar hal itu terkait dengan HIV/AIDS.

Akibatnya, banyak orang, terutama laki-laki dewasa, dengan perilaku seksual berisiko tidak mengalami ciri-ciri, tanda-tanda-tanda dan gejala-gejala HIV/AIDS yang dipublikasikan media dan situs kesehatan sehingga mereka merasa aman dari infeksi HIV/AIDS.

“Penguatan multi-sektoral menjadi penting untuk dilakukan agar mendapatkan dukungan yang cukup program HIV. Negara juga harus prioritaskan pembiayaan program HIV. Maka begitu, saya yakin bahwa kita semua dapat akhiri AIDS pada 2030,” ujar UNAIDS Country Director Indonesia, Krittayawan Boonto, dalam keterangan tertulis, 26 November 2022, seperti yang dikutip republika.co.id.

Negara, dalam hal ini pemerintah, tidak bisa memutus mata rantai penyebaran HIV/AIDS karena penularan HIV/AIDS erat kaitannya dengan perilaku seksual berisiko orang per orang.

Maka, yang bisa memutus mata rantai penyebaran HIV/AIDS, terutama melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah, hanyalah warga yaitu orang per orang.

Masalahnya adalah infromasi tentang HIV/AIDS melalui KIE tidak objetif karena mengandung mitos yang membuat banyak orang tidak mengetahui cara-cara penularan dan pencegahan HIV/AIDS yang benar.

Itu artinya insiden infeksi HIV/AIDS akan terus terjadi di Indonesia sebagai ‘silent disaster’ (bencana terselubung) yang kelak bermuara pada ‘ledakan AIDS.’ (dari berbagai sumber). []

* Syaiful W. Harahap, Redaktur di Tagar.id

Berita terkait
Pemkot Tangerang Didesak Agar Segera Bentuk Komisi Penanggulangan AIDS Kota (KAPK) Tangerang
Sudah lebih satu tahun sejak Perda AIDS Kota Tangerang disahkan tapi Pemkot Tangerang belum bentuk Komisi Penanggulangan AIDS Kota Tangerang
0
Tempatkan Perempuan dan Anak dengan HIV/AIDS Populasi Kunci Dorong Stigma dan Diskriminasi
Perempuan dan anak-anak bukan pelaku aktif perilaku bersiko tinggi tertular HIV/AIDS dengan kondisi mereka sebagai objek yang pasif